Stasiun Radio Trax FM resmi berhenti mengudara hari Kamis lalu. Trax FM tak dapat didengar lagi di 101.4 FM. ( Kompas.com 1/12/2022)
Berita Kompas.com di awal bulan Desember itu membawa saya pada kenangan tentang radio persegi hitam. Sebab, melalui radio bentuk persegi berwarna hitam itulah bunyi intermezo "101.4 FM, the now generation," kerap terdengar di kamar.Â
Radio yang kini mengisi pojok ruang tamu rumah itu merupakan benda bersejarah bagi saya. Sebab ia pernah mengisi momen personal di masa pubertas saya. Entah sejak kapan dia ada di rumah. Radio itu saya sadari telah ada di kamar sejak saya duduk di bangku SMP.
Saya tak tahu apakah waktu itu (sekitar 2008-an) menjadi tahun keemasan radio atau tidak. Sebab televisi dan VCD Player sudah menjadi idaman masyarakat, termasuk kedua orang tua saya.Â
Tatkala mereka makin setia menyaksikan sinema elektronik (sinetron). Ketika itulah remot TV dikuasai oleh mereka, lantas radio persegi hitam itu tercampakan dan singgah di kamar saya.Â
 "Radio, radio, radio.....When i've got the music, I've got a place to go."
Lagu berjudul Radio karya Billy Joe Armstrong itu match bagi nostalgia saya. Lagu cadas yang dipopulerkan oleh band Rancid tersebut kudengar pertama kali lewat radio persegi hitam.Â
Lagu yang memberi makna pada saya waktu itu, bahwa asalkan ada radio dan musik di kamar, saya tetap dapat melampaui ruang dan menjangkau banyak kisah dari luar. Lagi pula, apa faedahnya, bermain game ular sepanjang malam di layar Nokia 3100?Â
Berkenalan dengan Kompak Kampus dan Trax FM
Lewat radio persegi hitam, saya dengar musik lokal hingga mancanegara. Melaluinya pula saya mendengar suara orang berbicara. Ada yang menyampaikan berita terkini, ada yang mengisahkan cerita horor, ada yang berceramah, hingga ada yang ngobrol ringan ala pergaulan. Yang terakhir itulah yang paling berkesan karena berkaitan dengan radio Trax FM.Â
Perihal dari mana refrensi channel radio Trax FM? Jawabannya tidak ada. Semua terjadi begitu saja.Â
Ada radio persegi hitam yang tak terpakai. Saya tekan tombol power, kemudian putar-putar tuning frekuensinya, mencari suara-suara yang relevan dengan gejolak perasaan. Terjadilah pertemuan tak sengaja dengan program Kompak Kampus di stasiun radio Trax FM.
Suara Jimi dan Buluk pun mengudara lantas menyelinap masuk ke kamar saya. Suara mereka selalu berhasil membuat saya membiarkan tanda frekunsei radio berhenti di antara angka 100 dan 104, yang kemudian saya tahu kalau itu "101.4 FM".
Radio sebagai Penghubung Lintas Ruang
Pengalaman saya dengan siniar radio tersebut terjadi di masa transisi, beranjak dari SMP menuju SMA. Dimulai sekitar pukul 7 malam, radio persegi hitam itu rutin saya nyalakan. Buku tulis telah terbuka, dengan dalih mengerjakan PR, sekedar akting untuk jaga-jaga kalau orang tua menyidak ke kamar.Â
Kehadiran radio persegi hitam di kamar saya itu seperti "konjungsi", penghubung lintas ruang, bagi saya yang remaja rumahan. Remaja tanggung yang dilarang "nongkrong" atau keluar rumah malam-malam, karena harus kerjakan PR dan bangun pagi untuk sekolah esok hari.Â
Berkat radio persegi hitam di kamar, rupanya saya tetap dapat merasakan gelombang pergaulan dari mereka yang jauh lebih dewasa dari saya. Program Kompak Kampus itu mungkin membuat pendengar seperti saya merasa punya "abang-abangan" ( senior), sebagaimana tradisi pergaulan di tongkrongan kampus.Â
Tema-tema yang diangkat dalam program tersebut pun cenderung fresh, jarang ditemukan di lingkungan pergaulan sebaya saya. Jimi dan Buluk juga kerap membahas fenomena urban, kisah cinta, kesenian, gaya hidup, pop kultur hingga subkultur. Tak jarang pula obrolan kritis tentang musik dan perkara sosial ibu kota terdengar dari candaan mereka.Â
Bunyi Radio Masih TerdengarÂ
Sensasi semacam itulah yang saya maksud dengan "tongkrongan telinga". Tempat kongko imajiner, yang memungkinkan saya menemukan informasi yang melampaui pergaulan seusia saya.Â
Saya jadi teringat ketika di sekolah waktu itu, dengan semangat saya bertanya kepada teman-teman, "Semalam dengar kompak kampus gak? Radio Trax FM?" Saya tak menemukan jawaban "iya".Â
Barulah lima tahun kemudian, sensasi "tongkrongan" itu saya temukan secara langsung ketika duduk lama-lama di kampus, bersama kawan-kawan selepas kuliah. Anak muda, mahasiswa, di ibu kota, dengan segala keusilan pikiran dan sikapnya pun tak membuat saya kaget. Betapa saya merasa beruntung sebagai remaja yang sempat menikmati siniar radio.Â
Kehadiran radio persegi hitam di kamar saya itu bukan sekadar menemani dan meramaikan, namun juga memantik kedewasaan. Dari momen itu saya terbawa pada pengalaman "mendengarkan". Suatu aktivitas yang kemudian menjadi salah satu kompetensi penting dalam komunikasi sosial dan juga literasi.Â
Kini radio persegi hitam hampir tak pernah saya hidupkan. Fungsinya mulai beralih menjadi pajangan. Ponsel pintar memang telah hadir menjawab semua kebutuhan media informasi dan hiburan.Â
Masuk akal jika tidak sedikit stasiun radio berhenti mengudara. Akan tetapi, kenyataan itu belum tentu menandakan bahwa radio sudah tidak relevan untuk zaman ini. Karena tanpa saya sadari, belakangan ini saya tetap mendengarkan suara radio berbunyi setiap pagi, dari bengkel motor yang baru buka, di sebelah rumah.Â
Marendra Agung JW. 8/12/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H