Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengintip 9 Gagasan Internasional tentang Sekolah Pasca Pandemi

28 Agustus 2021   23:49 Diperbarui: 29 Agustus 2021   17:06 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Pasca Pandemi (Ilustrasi: Pixabay.com)

Sekolah tatap muka pelan-pelan mulai dibuka. Mendikbud-Ristek telah memberi lampu hijau untuk wilayah level 1 sampai level 3 untuk mengadakan sekolah tatap muka. Sambil menunggu dinamika pembukaan wilayah sekolah secara merata, sepertinya asyik kalau mengintip gagasan dunia internasional, mengenai cara mereka merespons keadaan pendidikan untuk masa depan, ketika pandemi covid-19 berakhir.

Komisi internasional dari UNESCO, bernama International Commission on the Futures of Education (akan disingkat: ICFE), telah melaporkan sembilan gagasan untuk memulihkan dunia pendidikan pasca  COVID-19. Gagasan tersebut dilaporkan dalam buklet digital bertajuk Education in a post-COVID World, yang telah rilis pada tahun 2020.

Komisi yang terdiri dari 19 pemikir dari dunia akademisi, sains, pemerintahan, bisnis dan pendidikan itu, menelurkan 9 poin anjuran bagi masyarakat dunia.  

Saya mencoba mengintip gagasan-gagasan tersebut  dan menuangkannya pada uraian berikut.

 Education in a post-COVID world: (Sumber: en.unesco.org)
 Education in a post-COVID world: (Sumber: en.unesco.org)

1. Pendidikan sebagai Kebaikan Bersama: Dari kebiasaan kompetitif menjadi semangat kolaboratif

Para pemikir internasional  dari UNESCO ( ICFE) tersebut menegaskan pada poin pertama, bahwa pendidikan harus menjadi kebaikan bersama sebagaimana kesehatan umum.

Permasalahan sejak lama yaitu kesenjangan sosial, mencuat berlipat ganda tatkala pandemi covid-19 melanda dunia. Masalah sosial meluas, dari ketimpangan ekonomi hingga kesehatan masyarakat. Menurut ICFE, pendidikan akan menjadi benteng melawan permasalahan-permasalahan sosial tersebut.

Komitmen tersebut menekankan pendidikan yang bersifat inklusif, penuh solidaritas, yang mendukung perkembangan individu dan kolektif. Kesadaran para pegiat atau praktisi pendidikan pelan-pelan akan berubah dari kebiasaan kompetitif menjadi semangat kerja sama atau kolaboratif.

Pendidikan juga harus berkaitan erat dengan masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran yang melibatkan masyarakat dan pembelajaran yang berpusat pada masyarakat merupakan komponen kunci. Kemerataan kualitas pendidikan bagi masyarakat umum harus segera dilakukan.

Secara umum, poin ini menggarisbawahi bahwa pentingnya dunia pendidikan tak ubahnya seperti layanan kesehatan. Oleh karena itu, dunia pendidikan dan dunia kesehatan harus berkolaborasi. Sebagaimana ungkapan yang dikutip pada laporan tersebut,

"Public health and public education are closely interconnected as they show the undeniable necessity of collaboration, solidarity and collective action for the common good." (Hlm 11.)

2. Perluasan Hak Dasar Pendidikan: Membuka lebar daya akses dan sirkulasi ilmu pengetahuan

Sebagai penguat komitmen pendidikan sebagai kebaikan bersama, pada poin kedua ini, ICFE mendorong eksplorasi  dalam memperlakukan ilmu pengetahuan. Menurut ICFE, ilmu pengetahuan harus menjadi milik bersama / global.

Gagasan tersebut mengharuskan perluasan dan pemerataan cara ilmu pengetahuan diakses. Selain itu, cara-cara bagaimana sirkulasi ilmu pengetahuan  menjadi hak dasar dalam pendidikan. Apakah dalam bentuk hak untuk meneliti atau kewajiban pengabdian di masyarakat.

Walau demikian, pada poin ini, ICFE begitu menggarisbawahi perihal jaringan/konektivitas, keterjangkauan aplikasi atau platform pembelajaran. Kuota gratis dan pembelajaran melalui media TV menjadi inspirasi dalam pembahasan ini. Hal tersebut, menurut ICFE telah memperluas jangkauan ilmu pengetahuan.

Pengalaman interaksi pendidikan formal dengan pendidikan alternatif publik tersebut, niscaya membuat bentuk-bentuk "kaku" atau sifat formalitas pendidikan akan mengalami pencairan sedemikian rupa. Konteks pembelajaran serta pendekatan-pendekatan pengajaran yang cair pun harus  terus dieksplorasi. Seperti yang dikutip pada ungkapan berikut,

"We should consider ways that the right to education might need to be broadened to encompass fluidity, capillarity and the changing contexts of contemporary societies." ( hlm 12)

3. Pengutamaan Profesi Pendidik: Otonomi bagi para pendidik, untuk aktif berinovasi dan berkolaborasi

Krisis akibat pandemi covid-19 menunjukkan kesulitan bagi setiap lembaga formal dalam birokrasi yang terpusat. Kendati demikian institusi pendidikan telah menunjukkan ketangguhannya. Menurut ICFE, kekuatan paling hebat untuk merespons dan berinovasi dalam kondisi tersebut adalah dunia pendidikan.

Kekuatan tersebut terletak pada inisiatif para pendidik bersama dengan orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu, ICFE menganjurkan pembuat kebijakan yang menghargai kerja keras para pendidik. 

Salah satunya misalnya dengan menciptakan kondisi yang otonomi dan fleksibel bagi guru untuk bertindak secara kolaboratif dengan pelajar dan setiap elemen masyarakat. 

Pada poin ini,  ICFE juga menekankan terjadinya perluasan tentang hak pendidikan, yang bukan sebatas pemerataan jaringan/konektivitas dan akses terhadap informasi ilmu pengetahuan. Namun  perubahan-perubahan radikal yang mencakup kecenderungan konten pembelajaran. 

Ilmu pengetahuan akan berubah, beradaptasi sesuai dengan kondisi masyarakat global. Pendidik harus terlibat dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang relevan dengan era terkini. 

Baik melalui penelitian  maupun keterlibatan dengan masyarakat dan wacana-wacana lokalitasnya. Kapasitas pendidik untuk berinisiatif, meneliti, dan berinovasi selama pandemi harus dijaga keberlanjutannya.

ICFE menerangkan bahwa fungsi pendidik bukanlah untuk menjalankan teknologi  yang sudah disiapkan sebelumnya. Para pendidik, guru atau pun dosen, akan sepenuhnya mengambil peran mereka sebagai pihak yang menghidupkan dan memandu perkembangan ilmu pengetahuan. Hubungan langsung antara pendidik dan pelajar pun otomatis harus terjadi. Sebagaimana ungkapan pada kutipan berikut,

"The centre of any educational process is the human relationship between a student and a teacher." (Hlm 13)

4. Perhatian Khusus untuk Pelajar dan Kaum Muda:  Pemberian hak dan keterlibatan mereka dalam transformasi pendidikan 

Di dunia pasca pandemi, akan ada kebutuhan besar untuk menyembuhkan perpisahan yang muncul sebagai akibat dari karantina dan pembatasan jarak. 

Pada poin ini, ICFE menganjurkan perhatian khusus pada dampak-dampak psikologis pelajar atau anak-anak. Sebagaimana pada ungkapan yang dikutip dalam laporan ini yang berbunyi,

" The mental health and well-being of children and  youth have been greatly endangered, and in ways  that could have lasting repercussions." (Hlm 14)

Yang perlu dirancang oleh pemangku kepentingan pendidikan adalah cara  tepat untuk menghubungkan kembali pelajar dengan masyarakat dalam bingkai pendidikan. 

Menurut ICFE,  otoritas pendidikan formal harus memberi kepercayaan bagi pelajar dan  kaum muda. Misalnya, dengan memberdayakan mereka untuk berpikir dan bertindak bersama untuk memulai kembali pendidikan secara langsung.

Partisipasi pelajar, anak-anak dan pemuda dalam musyawarah kebijakan publik tidak dapat diabaikan. Sebagai salah satu contoh, siswa harus diberi suara terdepan dalam merancang peluang belajar dan komunitas belajar,  ketika sekolah dibuka kembali.

Gagasan ICFE dalam poin ini, pada dasarnya memberi keleluasaan bagi pelajar mengenai karakteristik pendidikan seperti apa yang nantinya menurut mereka paling tepat.

5. Melindungi Ruang Sosial  dalam Transformasi Pendidikan: "Perkawinan" sekolah tatap muka dan sekolah daring

Poin ke lima ini, secara umum menjelaskan "dualitas" bentuk pendidikan. Pertama, dunia pendidikan harus tetap menekankan bahwa sekolah sebagai ruang "fisik" sangat diperlukan. Kendati demikian, sekolah sebagai ruang-waktu yang terpisah, yang menjanjikan kehidupan kolektif, spesifik dan berbeda dari ruang belajar lainnya juga harus dilestarikan.

Pengalaman pendidikan formal masyarakat bukan lagi perihal mengantarkan anak-anak pergi  ke sekolah pada waktu yang tetap. Menurut ICFE, waktu yang dihabiskan saat ke sekolah belum menunjukkan pencapaian pembelajaran. Oleh karena itu, pendidikan harus  menemukan bentuk yang fleksibel, komitmen kebersamaan, dan pemahaman tentang cara pembelajaran yang tersebar luas di masyarakat kontemporer.

Penjelasan dari ICFE tersebut sepertinya cara lain untuk menyebut bahwa sekolah daring atau digital harus tetap dijaga eksistensinya. Secara eksplisit mereka menyebut bahwa bentuk  pembelajaran (campuran) hybrid akan menjadi kebutuhan nantinya.

Sarana dan metode yang dianjurkan oleh ICFE antara lain: studi individu, kerja kelompok, pertemuan secara privat antara pengajar dan pelajar, proyek penelitian, dan pengabdian masyarakat. Selain itu, keterlibatan "pihak luar" pada ranah pendidikan formal dianggap penting. Pengajar atau guru bukanlah lagi satu-satunya sumber belajar atau pengantar pembelajaran.

Boleh jadi, ini dimaksudkan agar praktisi kerja atau profesional di luar sekolah akan mendapat peran dalam pendidikan formal. Sebagaimana ungkapan pada laporan ini yaitu,

"Schools are also places where we can encounter others not like our selves, others whom we learn from and with, others who expand our understanding of the global tapestry of ways of being human." ( Hlm, 16.)

6.  Teknologi Pendidikan:   Sumber/alat belajar yang terbuka dan gratis untuk pengajar dan pelajar

Pada poin ke enam, ICFE menyerukan kolaborasi global di antara pemerintah, organisasi nirlaba, dan tokoh-tokoh filantropis. Pihak-pihak tersebut harus mengembangkan dan mendistribusikan teknologi dan platform digital sebagai sumber pendidikan yang terbuka dan gratis.

Pendidikan dalam karakter digital/edutech, tidak dapat berkembang dengan konten siap pakai yang dibangun di luar ruang pedagogis. 

Jika pendidikan dengan sistem edutech akan menjadi bentuk baru setelah pandemi berakhir, maka sekolah tidak dapat bergantung pada platform digital yang dikendalikan oleh perusahaan swasta.

"Public education cannot be dependent on digital platforms provided by private companies" (Hlm, 17)

Poin penting dalam gagasan ini ialah bahwa banyak platform dan teknologi semacam itu masih ekslusif di tangan perusahaan swasta. Oleh karena itu, dunia pendidikan harus mengambil haknya, sebagai upaya menumbuhkan minat dan keterampilan pelajar.

7. Meninjau Ulang Sistem Pendidikan : Penguatan literasi sains dalam kurikulum pendidikan 

Pandemi COVID-19 membatasi dimensi pendidikan humanistik yang luas dan penting untuk berkembangnya perdamaian, demokrasi dan pemahaman antarbudaya. Krisis saat pandemi ini membuat dunia pendidikan terpaksa mengikuti fungsi teknologi.

Bahayanya, dimensi ini dapat dikalahkan oleh penekanan pada keterampilan teknis, modularitas kurikulum dan penilaian numerik, sebagai tanda kemajuan dan tolok ukur.

Hal itu memang alami dari budaya pendidikan digital. Kendati demikian,  ICFE menganjurkan hal yang tak kalah penting dan esensial.

Menurut ICFE, literasi sains dalam kurikulum sangat diperlukan. Ini adalah waktu yang tepat untuk merenungi kembali  tentang kurikulum. Menurut ICFE, dunia pendidikan harus berjuang melawan penolakan pengetahuan ilmiah ( sains) dan secara aktif melawan buruknya budaya informasi.

"Curricula should be increasingly integrated and based on themes and problems that allows us to learn to live in peace with our common humanity and our common planet." (Hlm, 18)

ICFE ingin mengingatkan bahwa hubungan antara pengetahuan dan kebenaran perlu dieksplorasi secara terbuka. Terlebih, isu literasi sains telah mendapatkan visibilitas dan urgensi yang besar di era pandemi ini.

Oleh karena itu, sistem pendidikan atau kurikulum begitu penting untuk mampu memberi hubungan antara fakta dan pengetahuan. 

Selain itu, kurikulum harus memiliki potensi yang mengarahkan siswa untuk memahami dan menempatkan diri mereka di dunia yang kompleks.

8. Melindungi Pembiayaan Pendidikan:  mengamankan agenda SDG 4 pendidikan 2030

Pada poin ke delapan, ICFE mendorong pemerintah nasional, organisasi internasional, serta semua mitra pendidikan dan pembangunan, harus menyadari bagaimana melindungi pembiayaan pendidikan masyarakat.

Krisis ekonomi yang muncul menyebabkan hilangnya pekerjaan dan menjadi jelasnya tingkat ketimpangan sosial yang tak terlihat beberapa dekade belakangan.

Hal ini akan berdampak drastis pada kemampuan anak-anak dan remaja dalam meningkatkan pendidikan mereka. Pemerintah dan warga negara sama-sama harus didorong untuk merespon masalah ini, baik dalam kesehatan masyarakat maupun dalam pendidikan publik.

Pemerintah dan organisasi internasional harus mengoordinasikan upaya untuk memastikan kesinambungan pembelajaran dan melindungi pembiayaan pendidikan domestik dan internasional.

"Governments and citizens a like should be  encouraged to demand strong responses both in public health and in public education." (Hlm, 20)

ICFE menekankan prinsip-prinsip keadilan redistributif. Sumber daya harus diarahkan kepada mereka yang paling terdampak secara ekonomi, sosial dan pendidikan. 

Menurut ICFE, itu semua dapat membantu proyek pembangunan internasional lainnya. Khususnya, dalam  mempertahankan komitmen agenda internasional tentang SDG 4 Pendidikan 2030. 

9. Solidaritas Global: Mengatasi ketimpangan ekonomi di dunia

Poin terakhir ini cenderung membahas permasalahan ekonomi.  Pada gagasan ini, ICFE begitu bersemangat menyerukan solidaritas global. Seolah-olah mereka adalah satu-satunya sumber, sebagai  pemberi formula solusi untuk ketimpangan sosial di dunia.

Menurut ICFE, setiap pemerintahan di belahan dunia harus  berkomitmen pada multilateralisme. Aktor-aktor di dunia pendidikan harus merevitalisasi kerja sama internasional dan solidaritas global.

Menurut ICFE, kita telah dipaksa untuk mengakui bahwa banyak pekerjaan penting yang dilakukan oleh masyarakat yang bergaji rendah selama pandemi ini. Mereka  yang dimaksud adalah pekerja  di bawah kontrak yang  tidak menentu dan tidak tetap.

Hubungan yang eksploitatif dan tidak seimbang harus didobrak, di mana pun itu berada. Tentu tidak dapat dipungkiri, bagi para pendidik seperti guru dan dosen, dalam lingkup kerja seperti itu harus diperhatikan masalah ekonominya.

Selain itu, pada poin ini ICFE juga menyatakan pembelaan terhadap permasalahan gender. Khususnya yang dianggap mengalami ketidakadilan ekonomi. Sebagaimana ungkapan pada kutipan berikut,

 "An expanding solidarity is necessary because COVID-19  has also shown us the extent to which our societies exploit gender inequalities and power imbalances. "(Hlm, 21)

Sembilan poin gagasan tersebut saya kira dapat menjadi  bayangan, atau bahan diskusi bagi masyarakat, pelajar, mahasiswa, atau pun para pendidik di mana pun kita berada. Khususnya di Indonesia, sepertinya kita akan  terlibat dengan poin-poin gagasan internasional tersebut. 

Marendra Agung J.W

21-28 Agustus 2021

Sumber: Buklet Education in a post-COVID World tersebut dapat dibaca di sini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun