Tidak terasa dunia pendidikan Indonesia telah menjalani bentuk pembelajaran jarak jauh selama kurang  lebih 1 tahun ini. Segala yang terjadi selama distance learning satu tahun lebih itu tentu akan meninggalkan residu bagi dunia pendidikan kita. Lantas, bagaimana dampak yang tersisa dari pendidikan masa covid -19 ?
Pada  Konferensi  Forum Rektor Indonesia, 27 Juli 2021 lalu, Presiden RI,  Joko Widodo,  menyampaikan sejumlah aspirasi mengenai pendidikan Indonesia khususnya bagi pendidikan tinggi ( Perguruan Tinggi).  Dalam pidato sambutan sekitar 12 menit, Presiden Jokowi menyampaikan  tumpukan PR  bagi dunia pendidikan kita, yang telah mengalami disrupsi akibat pandemi covid-19.
Secara umum, Presiden Jokowi juga menyampaikan spirit program Kampus Merdeka dan program Merdeka Belajar sebagai instrumen mengatasi dampak terpaan pandemi pada dunia pendidikan. Oleh karena itu, aspirasi tersebut penting untuk dicerna oleh kita para guru, dosen, mahasiswa, siswa dan bahkan orang tua.
Kecenderungan sistem edutechÂ
Sejumlah poin penting yang disebut oleh Presiden Jokowi adalah bahwa  masa pandemi berdampak pada lini teknologi pendidikan. Teknologi telah menjadi kekuatan utama dari perubahan besar-besaran dalam dunia pendidikan. Segala inovasi, pembaharuan, dan cara baru yang bermunculan di masa pandemi ini harus dijaga dan dikembangkan untuk pendidikan Indonesia di kemudian hari.
Presiden Jokowi menyebut bahwa, "  dunia pendidikan telah terdisrupsi besar-besaran oleh edutech. Lembaga pendidikan tinggi mau tidak mau harus memperkuat posisinya sebagai edutech institution."  Kemunculan dan merebaknya sistem edutech merupakan  salah satu poin  yang perlu digarisbawahi.  Bukan hanya kampus, dosen, atau rektor, tapi sebagai guru kita juga perlu mencerna apa dan bagaimana itu edutech.
Bukan hanya Perguruan Tinggi, dunia sekolahan setahu saya juga sedang rajin berkenalan dengan konsep dan teknis edutech. Mungkin kita sebagai guru sempat mengikuti sosialisasi dan pelatihan yang bernafaskan edutech tersebut. Yang dalam bahasa sederhana kita berlatih menggunakan aplikasi atau platform digital. Â
Terdapat sejumlah langkah yang membuat kita sebagai pengajar kerap kali terpeselet pada fenomena edutech itu. Â Kita merasa selesai ketika menjalakan distance learning dengan gawai atau pun laptop kepada mahasiswa atau siswa. Â Digitalisasi Pendidikan, atau digitalisasi sekolah kerap kali menjadi slogan kegiatan pelatihan tersebut. Yang rupanya, itu belumlah goal dari edutech.
Digitalisasi pendidikan dan upgrade skill para pendidikÂ
Tujuan utama edutech atau edukasi teknologi adalah bagaimana peserta didik dapat menerapkan teknologi digital di kehidupan sehari-hari untuk produktivitas kehidupan mereka. Seperti yang disampaikan Presiden Jokowi dalam sambutan Konferensi Forum Rektor Indonesia tersebut, bahwa " digital learning bukan hanya untuk memfasilitasi pengajaran oleh dosen internal kampus kepada mahasiswa, yang juga sangat penting adalah memfasilitasi mahasiswa untuk  belajar kepada siapapun juga, dimana pun juga, tentang apa pun juga."
Secara esensial, kita dapat merasakan  paradigma connectivisme learning dalam aspirasi tersebut.  Sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Presiden Jokowi, bahwa hybrid skill-hybrid knowledge atau interdisiplin ilmu dan lintas keterampilan akan menjadi keutamaan dalam esensi pendidikan tinggi nantinya.
Secara teknikal, gerak-gerik dunia pendidikan yang akan berubah, tentu dapat menjadi senjata makan tuan. Salah satunya mengenai posisi guru / pengajar dan peserta didik. Â Bagi peserta didik terlebih yang sebagian besar adalah digital savvy, menggunakan teknologi, internet, dan segala inovasi dari itu semua bukanlah hal sulit. Mereka begitu mandiri dan cepat dalam mempelajari itu.
Permasalahan yang mungkin muncul adalah ada pada kita para pengajar, khususnya  bagi kita berjarak dengan teknologi mutahkhir khas "milenial".  Para pengajar akan dituntut untuk upgrade skill dan  meremajakan diri untuk relevan dengan dunia peserta didik di era terkini.
Menyisir keterampilan dan pengetahuan yang usang
Perubahan dan perkembangan dalam cara mengajar tentu akan sangat berkaitan dengan pemanfaatan teknologi digital. Namun itu saja belum tentu menampung seluruh inti dari pergolakan ensensial pendidikan. Â Sebab, PR yang juga tidak enteng dari perubahan warna pendidikan nantinya adalah mengenai konten/ilmu yang akan kita ajarkan. Â Perihal apa yang diajarkan oleh dosen atau oun guru rupanya memerlukan adaptasi kembali.Â
Sebagaimana yang juga terjadi di dunia secara global yang terjadi sejak gejolak industri 4.0, bahwa teknologi-teknologi  baru yang lahir dalam nafas kecerdasan buatan (Artificial Intelegence) telah melahirkan sejumlah pengetahuan dan keterampilan baru.  Hal tersebut membuat karakter pekerjaan di masyarakat dunia berubah.Â
Dalam hal itu, Presiden Jokowi menyampaikan, bahwa disrupsi pada masa pandemi juga memberi dampak, bukan hanya pada tataran teknologi pendidikan namun juga pada kecenderungan pekerjaan di masyarakat. Oleh karena itu, apabila kita sepakat untuk memaknai pendidikan sebagai jalan untuk mencapai dunia pekerjaan, maka upgrade konten dalam pendidikan atau pengajaran itu menjadi penting.
Presiden Jokowi menyebut, " jangan sampai pengetahuan dan keterampilan mahasiswa itu justru tidak menyongsong masa depan. Pengetahuan dan keterampilan yang hebat di masa kini bisa jadi sudah tidak dibutuhkan lagi dalam lima tahun, atau sepuluh tahun ke depan." Berkaitan dengan itu, otomatis banyak pekerjaan yang hilang, diiringi dengan tipe pekerjaan baru yang kian bermunculan.
Para ahli/ ilmuwan Indonesia mungkin perlu diskusi panjang lebar, atau pun melakukan riset tentang pekerjaan-pekerjaan yang dimaksud. Pihak orang tua terutama, perlu mendapatkan informasi tentang pergeseran karakter dunia kerja yang dimaksud. Jangan sampai terjadi silang pemahaman antara dunia pendidikan formal dengan wacana keluarga.
Poin terpenting  dari penjelasan tersebut adalah  bahwa terdapat pengetahuan dan keterampilan yang akan dianggap usang, sehingga tidak relevan untuk zaman ini dan nanti. Universitas dan mungkin juga sekolah, akan berlaku untuk zaman yang dominan, beserta industri yang dominan.  Seperti yang disampaikan Presiden Jokowi, " dunia perguruan tinggi sangat membutuhkan kolaborasi dengan para praktisi dan pelaku industri. Palaku industri juga membutuhkan talenta dan inovasi dari perguruan tinggi. Ajak industri untuk ikut mendidik mahasiswa  sesuai dengan kurikulum Indsutri, bukan kurikulum dosen."
Pernyataan tersebut kurang lebih sarat dengan nafas Link and Match pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Revolusi besar-besaran tentang paradigma pendidikan Indonesia boleh jadi akan terjadi bukan hanya  bagi kampus tapi sekaligus bagi sekolahan umum.
Menangani sisi kemanusiaan dan masalah sosialÂ
Pada konsentrasi lain, kita tidak dapat memungkiri bahwa tugas pendidikan bukan sekedar arena mahasiswa atau siswa untuk menuju lapangan pekerjaan. Akan tetapi, dunia pendidikan juga harus mendorong bangsa ini menjadi pencipta lapangan pekerjaan, sekaligus  menyelesaikan masalah sosial.Â
Presiden Jokowi menyatakan, "Lembaga Pendidikan tinggi harus bekerja untuk kemanusiaan dan kemajuan bangsa. Memecahkan permasalahan sosial dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan inovasi secara keberlanjutan." Â Pernyataan tersebut mengandung tugas paling universal dari pendidikan yaitu terkait masalah kemanusiaan dan sosial.
Kita tak akan selesai dalam waktu dekat untuk merumuskan  masalah sosial dan kemanusiaan yang terjadi pasca pandemi.  Walau demikian, semangat untuk mengatasi permasalahan ekonomi masyarakat tampaknya menjadi fokus. Pendidikan Tinggi ( universitas) dititipkan mandat untuk mencetak mahasiswa-mahasiswa yang berdaya juang dalam dunia industri. Â
Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa mahasiswa harus dididik dalam semangat Socio Techno Entrepreneur. Mahasiswa akan menjadi agen pembawa solusi masalah sosial dengan memanfaatkan teknologi secara inovatif dan kewirausahaan. Hal tersebut merupakan PR atau tugas yang sudah cukup berat bagi para pendidik di  Indonesia nantinya. Walau itu belumlah mencakup seluruh "cedera" di dunia pendidikan akibat pandemi.
Permasalahan kemanusiaan  sejatinya  begitu luas. Dalam konteks pendidikan menengah di masa pandemi setidaknya telah menghasilkan dua angkatan atau lulusan. Dampak-dampak psikologi sosial pada mereka bukan berarti tidak ada.  Kecemasan sejumlah pengamat dan ahli pendidikan dunia maupun di Indonesia mengenai lost generation akibat  lost learning pada anak-anak sekolah, dapat menjadi wacana menarik untuk diperdalam.
Jika lost generation itu benar-benar terjadi,pada anak-anak atau siswa maka akan timbul gejolak yang lain lagi di pendidikan tinggi nantinya. Oleh karena itu, pendidikan tinggi boleh jadi akan mendapat tugas untuk merumuskan bagaimana perubahan cara berpikir serta karakter lulusan SMA di  era pandemi covid-19. Sebab mereka  yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi  sebagai mahasiswa.
Marendra Agung J.W
( 2-4 Â Agustus 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H