Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konotasi Kurban, Definisi Guru, dan Penghinaan Sejarah Zaman

31 Juli 2020   18:10 Diperbarui: 31 Juli 2020   22:57 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
regional.kompas.com

Beberapa hari lalu, seseorang menyarankan ide tulisan tentang hengkangnya PGRI, NU, dan Muhammadiyah dari program organsiasi penggerak Kemendikbud 2020.  Saran itu saya terima tepat setelah tulisan saya tentang kontraproduktif  Virtual Learning bagi karakter siswa, terbit di sebuah media daring. Saya menjawab saran tersebut dengan ucapan "terima kasih".

Saya tak mampu menimbang apakah hengkangnya tiga ormas tersebut menyalahi sejarah atau tidak, dan bagaimana seharusnya sikap kemendikbud dalam hal ini, saya pun tidak yakin dapat tepat memahami masalah tersebut.  Sebagai tenaga pendidik saya adalah orang baru, pun sebagai pembelajar saya merasa belum sampai pada tingkat pakar maupun ahli dalam manajemen organisasi pendidikan seperti itu.

Hingga hari perayaan kurban menjelang, saran ide tulisan tersebut pun tak dapat saya tuliskan. Tapi menariknya, pada momen kurban ini, saya malah teringat pada bagian dialog tokoh guru dalam novel Bukan Pasar Malam dari Pramoedya Ananta Toer, beriktut ini :

"  Kalau di antara lima puluh orang cuma tiga yang ingin menjadi guru, siapakah yang akan mengajarkan anak-anaknya nanti? Kalau sekiranya kelak engkau jadi jendral, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tidak ada yang menjawab di antara mereka, kemudian aku nasehati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu.  Kataku: seorang guru itu adalah kurban, kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat. Membuka sumber kabajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak bangsa..."

Definisi guru sebagai kurban pada dialog tersebut begitu dalam. Konotasi "kurban" itu dapat dipahami sebagaimana kambing atau sapi ketika disembelih. Secara materialistik, penyembelihan itu memang terlihat nahas, tapi secara spiritual dan sosial, kambing yang disembelih memberi keutamaan bagi orang-orang banyak terlebih sebagai proses ritual atau ibadah.  Apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer tentang guru sebagai "kurban" dalam dialog novel tadi saya kira dapat dijadikan cerminan, tentang apakah reputasi guru saat ini masih serupa dalam novel tersebut.

Sebagian besar dari kita tentu menyadari tentang mencuatnya berita penghinaan pengguna medsos terhadap guru. Saya kira terlalu naif untuk meladeni individu yang bicara tentang "gaji buta", di tengah situasi yang mengharuskan sebagian besar guru harus mengajar dari rumah. Pada konteks masalah ini, kita mungkin dapat saja mencari riset, tentang berapa persen tingkat kesejahteraan guru-guru PNS, honorer, yayasan, guru bantu, di desa, di tepian kota, maupun ibu kota setelah dan sebelum masa pandemik covid -19. Kita juga mungkin dapat mencari riset tentang berapa persen masyarakat yang minat untuk menjadi guru dibanding pegawai kantoran.  

Tetapi, bukankah lebih baik kita mengukuhkan kembali pandangan kita terhadap guru. Apakah guru merupakan subjek perkembangan kebudayaan yang patut dihargai dan dihormati, atau guru hanya pelengkap laju zaman? 

Setahu saya, para guru tak mementingkan eksistensi sedahsyat apapun kemajuan zaman yang berkaitan dengan peranan mereka.  Yang jelas siapa pun saja tak akan dapat membuat status medsos tanpa dia pernah mengalami pembelajaran membaca dan menulis ketika kecil dahulu.  Bahkan medsos sendiri pun tak akan pernah ada tanpa pembuatnya pernah belajar matematika dan ilmu pengetahuan dasar ketika sekolah dulu. Maka, pengguna medsos yang viral tersebut bukan saja menghina  guru tapi juga menghina sejarah zaman. 

Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kini ada orang yang sudah enak hati membicarakan nilai "gaji" terhadap guru? Bukankan "uang" hanya dapat membayar transport dan waktu mengajar guru, tapi tidak dengan pengorbanan mereka? Apakah keikhlasan para guru sebagai manusia ingin diruntuhkan dengan "viralnya" berita tentang penghinaan pengguna medsos belakangan ini?

Saya mohon maaf, untuk menutup tulisan ini dengan menyatakan, bahwa para guru sepanjang yang saya kenal adalah panglima kesabaran masyarakat modern. Secara mental maupun material, para guru sudah berkali-kali "disembelih" sampai pada titik perasaan menjadi kebal. Para guru sudah terlatih untuk sabar menghadapi gerak-gerik siswa yang tidak mendapatkan perhatian baik dari orang tuanya. Mereka telah terlatih sabar dengan menjalani kebijakan-kebijakan dalam kurikulum yang kerap kali berubah-ubah. Para guru terlatih sabar untuk selalu beradaptasi dengan perubahan zaman dari waktu ke waktu. 

Yang terpenting juga untuk digarisbawahi, bahwa para guru sejauh yang saya tahu, juga sudah sangat siap untuk tidak dapat penghormatan, untuk sekedar disebut namanya dalam sambutan setiap pemimpin maupun tokoh besar dalam suatu pidato. Sebab, para guru memang sedang berkurban, berdedikasi dalam kehidupan.

Marendra Agung J.W. 

Idul Adha 2020. 31/7/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun