Seperti kolak dan buah kurma, pawai sahur selalu menjadi fenomena ketika ramadan tiba. Walau di tengah musim wabah covid -19, rupanya pawai sahur ini tetap dapat saya temui di lingkungan saya tinggal. Hampir tiap sekitar pukul 03.00 pagi saya dapat menikmati pawai sahur yang lewat di depan rumah.
Peralatan-peralatan yang tak semestinya dijadikan alat musik itu ditabuh sekenanya oleh mereka. Semua personel pawai sahur itu merupakan anak-anak usia sekolah, dari SD, SMP dan hingga terkadang usia SMA. Saya tak mengetahui pasti sejak kapan ini dimulai, yang jelas kegiatan pawai sahur ini terus berulir begitu saja hingga ke generasi selanjutnya di lingkungan saya tinggal.
Menariknya, pada ramadan ini saya sempat mendengar ungkapan mars dari mereka yang cukup berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu “Bangunin sahur diomelin! Gak dibangunin kesiangan!” bernada tegas dengan tabuhan se-berisik mungkin. Ungkapan yang begitu sensimentil itu mengingatkan saya tentang adanya warga yang dulu memboikot kami tatkala berada di posisi pawai sahur itu.
Keluhan warga terhadap kegiatan ini mungkin juga menimpa mereka dan kemungkinan besar juga terjadi di tempat lain. Tiba-tiba saya jadi bertanya-tanya sendiri, apa sebenarnya alasan yang menyebabkan keluhan itu timbul? Para kompasianer yang punya jawaban mengenai hali ini mungkin bersedia tinggalkan komentar.
Terlepas dari alasan terganggunya warga non-muslim atau pun warga yang sedang sakit, sebetulnya saya masih belum menemukan alasan lain yang cukup melegakan.
Terlebih ketika warga muslim yang menyatakan keberatan karena merasa keberisikan. Akan tetapi, saya cukup senang untuk menyelisik tentang penyebab anak-anak itu gemar sekali menjalankan kegiatan pawai sahur dan apakah ada faedahnya bagi kepribadian mereka.
Personel pawai sahur di tempat tinggal saya biasanya berjumlah kurang lebih sepuluh anak. Tampaknya dari tiap anak memiliki kecenderungan peranan masing-masing. Saya pikir mereka dapat digolongkan menjadi tiga tipe berdasarkan kecenderungan peran mereka.
Pertama, yaitu si leader. Anak tipe ini tanpa sadar menjadi pemantik gagasan, yang mendorong teman-temannya untuk menjalankan pawai sahur. Ketika pawai berlangsung anak-anak jenis ini pun dominan memberi arahan perihal alur jalanya pawai, seperti “dari gang ini ke gang itu”, “ lewat rumah pak ini atau rumah ibu itu”, dan “belok ke sini lalu ke situ”.
Kedua, yaitu si kreator. Sejak selepas ibadah tarawih, biasanya anak tipe ini sudah ngoceh tentang bagaimana lagu yang akan dibawakan. Walau tanpa mandat dari teman-temannya , anak - anak tipe ini kerap kali berinisyatif membuatkan alat-alat pawai dan komposisi mars.
Ketiga, yaitu si koordinator. Anak tipe ini boleh dibilang yang paling semangat walau dalam diskusi perencanaan ia cenderung pasif atau ikut saja arahan teman-teman lainnya. Namun, anak ini menjadi begitu penting tatkala waktunya tiba. Karena anak ini paling cepat bangun, maka terkumpulnya peserta pawai dapat dikatakan berkat anak ini gigih mendatangi rumah teman-temannya.
Simulasi tipe anak peserta pawai sahur tersebut saya kira dapat menjadi cerminan karakter anak dalam pergaulan, yang mungkin saja akan memberi warna kepribadian mereka dalam lingkup sosial yang lebih luas nantinya. Ketika dunia anak-anak se-usia mereka selalu tentang kesenangan dan main-main, lantas pada aktivitas pawai sahur di lingkungan kampung yang mereka lakukan itu jangan-jangan bukan sekedar kesenangan.
Sebab, apabila terdapat anak yang enggan untuk ikut serta kegiatan ini karena baginya pawai sahur hanya membuat lelah dan mengantuk, maka ada sesuatu yang unik pada anak yang ikut serta. Terlebih, di kampung kami pawai sahur bukanlah kegiatan resmi. Semua berjalan apa adanya tanpa organisir dan dominasi orang dewasa/tua maupun karang taruna.
Sebegitu organiknya kehendak anak-anak untuk melakukan pawai sahur ini saya kira merupakan tanda bahwa “hasrat heroik” dalam diri mereka itu ada. Hasrat yang mendorong anak-anak itu begitu menghendaki ruang untuk bermanfaat. Ruang yang jarang mereka temukan di hari-hari biasa.