Pada mulanya, Komplek Vermai yang lokasinya curam dan menurun dari dataran Kampung Atas itu merupakan sawah dan rawa tepian sungai. Tempat warga Kampung Atas memberi makan kerbau, bertani, jaipongan dan menjala ikan.Â
" Mpok! itu lohan punya siapa?" Â Bayangan Mang Sukur terus berlanjut. Empok Hayat sedang menegaskan kembali pertemuannya dengan Mang Sukur malam tadi. Ia bersukur, ikan louhan pemberian menantu Pak Ableh tujuh bulan lalu ternyata akan menghasilkan uang. "Nah, yang begini nih yang dia cari, Mpok!"Â
Percakapan dengan Mang Sukur terus diputar ulang dalam benaknya. Empok Hayat mencoba mengingat apa-apa saja yang dikatakan Mang Sukur tentang ikan itu. Tapi benaknya tak menjangkau tentang corak lohan tertentu yang diomongkan Mang Sukur.Â
Intinya, melalui Mang Sukur, ikan louhan Empok Hayat akan dibeli oleh Koh Liauw, salah seorang warga Komplek Vermai juga. "Dia bilang berani bayar 700 ribu untuk yang kayak ini. Lusa saya ke sini lagi ya, Mpok!" Empok Hayat masih ingat bagaimana gerak-gerik Mang Sukur saat mengucapkan kalimat itu, sambil mengeluarkan gawai dari saku, lantas memotret ikannya dari berbagai sisi.Â
Empok Hayat merasa seperti dibuai oleh bayangan-bayangan dalam benaknya. Diiringi bunyi hujan dan hawa dingin yang tak biasa, kesadarannya kian tak terjaga. Ia pun tertidur pulas.Â
***
"Mpok! Mpok Hayat!" Karena terhalau bunyi hujan, teriakan dari luar rumah tak sedikit pun mampir ke telinga Empok Hayat. Tapi, bunyi gedoran pintu menyadarkan Empok Hayat dari tidurnya.Â
"Kenapa Beh ?" Sebelum pertanyaannya terjawab, Empok Hayat langsung mengerti apa yang terjadi. Ia dapati tetangganya membopong tas besar beserta bergumpal-gumpal kain.Â
Di balik tetangganya itu, nampak air kali dari tepian rawa yang membatasi tanggul sungai Komplek Vermai mengalir ke arahnya. Sesuatu yang tidak pernah diduga Empok Hayat.
"Lihat Mpok! air sudah tembus rawa. Air kali Cikeas juga masih deras, ini tak seperti biasanya!"
" Kita kamana, Beh?"