Sebab, dalam pandangan sang anak,  orang tuanya bukanlah  " subjek" sebagai penyebab rasa takut yang dalam pemahamannya adalah hantu.  Maka, ketika orang tua menghendaki sang anak melakukan sesuatu pada situasi yang lain ( tanpa iming-iming hantu) reaksi "ngeyel" pun muncul.
Oleh karena itu, ada baiknya " subjek" dalam kalimat rayuan untuk pulang, makan, dan aktivitas lainnya harus diubah. Khawatirnya, secara tidak sadar rasa takut anak itu semakin menjadi eksklusif, khusus untuk hantu.
Atau, metode komunikasi orang tua untuk merayu anak mungkin bisa diganti sama sekali, tanpa harus merayu dengan menakut-nakuti, terlebih dengan hantu. Terlepas dari pertanyaan awal  terkait fenomena ini, tanda tanya lain pun bisa saja muncul kembali.
Seperti misalnya,  mengapa dari "ribuan" kosakata terpilih kata " hantu " untuk menempati " subjek " pada redaksi rayuan orang tua? Apakah bagi orang tua  memang "hantu" yang pantas menempati posisi subjek pada kalimat itu? Apakah prang tuan menuturkannya dengan sadar? Atau hanya spontanitas?
Bekasi. 16 Juli 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H