Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi "Zaman Now" di Tengah Zaman "No"

28 Januari 2018   20:31 Diperbarui: 29 Januari 2018   13:26 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia hanya membutuhkan barang-barang murah untuk membuat resonator gitar, dengan kualitas suara sama sekali tidak beda dengan gitar resonator asli. Ia pun menjadi inovator. Bahkan ketika tampil di TV swasta 2017 lalu, bersama inovasinya itu iya berani membuka informasi harga yang berkali-kali lipat lebih murah dengan harga asli gitar tersebut pada umumnya. 

Aku juga dapat pelajaran dari teman zamanku yang pedagang. Ia "no" kepada kuliah, tapi "yes" dengan kerja keras dan berbakti kepada orang tuanya. Selepas SMA hingga sekarang, ia menjual daging di pasar bersama ayahnya. Pasar yang kerap disebut "tradisional" ini boleh bersaing secara umur dengan mal. Lagi pula aku sudah melihat sebuah mal bangkrut, lokasinya beberapa kilometer dari pasar temanku. Suatu ketika aku bertanya padanya. "Mengapa pasar selalu ramai tak kenal waktu, dan tiada matinya dari zaman baheula?", "harganya bisa ditawar bro. Pembeli jadi lega". Ya, barangkali pasar tidak mati karena cerdas memperlakukan "no" dan " yes". 

Aku kira kita bisa belajar dari pasar, mengenai negosiasi untuk penyesuaian diri. Di pasar terjadi interaksi antar manusia yang bermuara pada kenyamanan bersama ( kesepakatan harga). Jadi "yes" dan "no" harus berinteraksi aktif dalam ruang negosiasi dalam diri maupun sosial. Terlebih di zaman ini, yang apa-apa serba cepat, bahkan keputusan pikiran kita terkadang jadi ikut-ikut cepat tanpa menghitung "no" dan "yes" secara tepat. Kendati demikian, mengenai kultur "tawar-menawar" aku tetap optimis. Sebab teman zamanku yang driver pernah mengadu, "padahal tarif argonya hanya 8000, tapi ibu-ibu itu ngasih 20 rebu" Kisahnya. Itu hebat sekali bukan. Tanpa negosiasi, kenyamanan bisa terjadi, bahkan di tengah digitalisasi transportasi yang memiliki harga pasti. Tentu itu bisa terjadi pada pribadi yang matang sekali.

 Demikianlah teman zamanku. Bagaimana teman zamanmu?apa mirip dengan teman zamanku?

 Bekasi. 14- Januari 2017

( juga dimuat di Semaymedia.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun