Hal demikianlah yang membuatnya terpaksa menjual baju-baju anaknya. Demi menyambung hidup. Lalu kemanakah suaminya?
Keluarga Amilah tinggal di daerah Merdeka, di mana banyak pemuda pemuda pribumi asli dalam pasukan geriliya. Ini berlangsung pada tahun 1949. Amilah merupakan mantan gadis tangsi. Semasa muda, ia hidup dari markas ke markas, menikahi prajurit Belanda dan hidup berpindah pindah barak, sampai akhirnya ia menikah dengan Kopral Paijan, seorang KNIL / NICA.
Suaminya yang seorang militer kompeni itu mati ditangan anaknya sendiri, yaitu Aman dan Canimin. Ironis memang. Namun tak dapat dielak lagi, atmosfir perjuangan sangat berapi-api. Tiga anak lelaki yang sempat dipaksa bergabung menjadi serdadu kompeni oleh Paijan ayah / suami Amilah itu, diam diam masuk ke dalam prajurit geriliya. Mereka yang muda menginginkan kemerdekaan, tegas dan berani menumpas ayah sendiri yang berada di pihak Belanda.
Sejak Aman ditangkap atas tuduhan pelopor ( pemimpin gerakan bawah tanah), penembak atau pembunuhan, ekonomi keluarga Amilah otomatis buyar. Salimah mengajukan diri untuk bekerja, menggantikan posisi abangnya, akan tetapi ini pun menyulut konflik dengan ibunya. Amilah yang mentalnya sedan tertekan makah mencaci Salamah, menghardik dan mencurigai, kalau anaknya itu akan menjual diri. Sebuah kenyataan yang pernah ia lakukan di masa hidup di tangsi.
Demi meredam konflik, Salimah kerap mengalah. Ia beruntung memiliki Darsono calon suami yang rela memerhatikan diri dan kekuarganya. Takmjarang terlibat untuk membantu finansial keluarga. Walau Darsono juga hanya seorang pekerja kasar.
Sementara, Amilah makin stres, ketika mendapat kabar koran bahwa anaknya Aman akan dihukum mati. Terlebih berita tentang Kopral Paijan suaminya yang juga mati ditangan Aman pun ikut tersiar. Puncak kehisterisanya adalah ketika mendengar bunyi letupan senapan bertubi-tubi, di sebuah penjara. Dan letuoan itu untuk anaknya. Aman.
Mirisnya, Amilah tidak mendendengar ketulusan dan kepatriotan anaknya. Yang iya tahu mungkin Aman hanya tukang beca, yang pulang ke rumah membawa uang untuk kekuarga.
Di penjara, Aman berbicara pada pesakitan lainnya.
” Saudara, aku akan ditembak mati, dosaku pun banyak. Lebih dari lima puluh orang kubunuh, kuhancurkan sumber penghasilan keluarganya, atas segala dosaku, aku serahkan semuanya itu kembali pada Tuhan ” Ucap Aman di dalam penjara, sambil kemudian melaksanakan Sholat.
Keteguhan Aman sebagai pejuang bawah tanah, membuatnya berkorban tanpa ampun. Ia menolak mengajukan permohonan maaf demi keringanan hukuman. Ia benar benar siap mati. Bagi Aman, yang ia lakukan takan disasali oleh bangsanya. Ia hanya berjuang melawan penjajah.
Dan, perngorbanan Aman juga merupakan pengorbanan keluarganya. Adik-adiknya terlantar, Amilah ibunya pun depresi, dicap gila dan mati tak lama setelah Aman dieksekusi. Kepala keluarganya pun Paijan, mati. Belum lagi Salimah, adik tertuanya itu tertipu oleh iming-iming sersan komopeni demi kebebasan Aman, sehingga hilang kegadisannya. Beruntung, Darsono calon suaminya legowo, menerima ia apa adanya, dengan konsisten tetap akan menikahinya.