Sejak tanggal 29 Juli hingga tanggal 19 Agustus 2018 rangkaian gempa besar telah terjadi di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat yang menimbulkan korban jiwa ratusan warga dan ribuan rumah hancur. Menurut beberapa pakar geologi dan penjelasan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) rangkaian gempa tersebut diakibatkan aktivitas Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrust) dan dipicu deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik.Â
Bagi awam, mungkin penjelasan ilmiah tersebut bisa dipahami sebagai pergerakan dan dorongan lapisan kulit bumi yang berasal dari wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur yang mengguncang segala sesuatu yang ada di permukaannya. Sacara lebih detail, salah satu pakar gempa bumi yang menjabat Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan bahwa rangkaian gempa yang terjadi di Lombok Utara dan Lombok Timur merupakan bentuk multigempa (multiple earthquake) yang memunculkan dua atau lebih gempa dengan kekuatan, lokasi dan kedalaman yang relatif sama dan berdekatan (Lombok Utara dan Lombok Timur) serta terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama (5 Agustus dan 19 Agustus 2018).Â
Kedua gempa besar tersebut diikuti oleh ratusan gempa susulan (aftershocks) dengan kekuatan yang bervariasi, namun tidak lebih besar dari gempa utamanya. Gempa kembar inilah yang menyebabkan kerusakan luarbiasa pada semua bangunan yang berada di daerah terdampak. Bangunan yang masih bertahan pada akhirnya roboh juga diguncang oleh gempa susulan yang bertubi-tubi.Â
Ketakutan MasyarakatÂ
Bagi masyarakat Lombok, khususnya di wilayah yang terdampak serius, gempa yang sangat merusak ini tentunya menimbulkan ketakutan yang luar biasa. Suasana psikologis masyarakat sejak mengalami goncangan gempa pertama pada tanggal 29 Juli sampai dengan saat ini dipenuhi kecemasan dan ketakutan luar biasa karena ketidakpastian yang dihadapi.Â
Kebanyakan korban yang selamat dan rumahnya hancur, tentusaja tidak ada pilihan lain kecuali tinggal ditenda tenda pengungsian baik yang mereka bangun secara mandiri dengan perlengkapan seadanya atau yang dikelola dan dibantu oleh pemerintah dan lembaga sosial lainnya. Kecemasan yang sama juga terjadi di daerah yang tidak terlalu terdampak seperti di ibukota provinsi NTB, Mataram. Dari pengamatan penulis dan kesaksian dari banyak pihak, kebanyakan masyarakat di kota Mataram lebih memilih bermalam di tenda yang digelar di beberapa lapangan dan halaman halaman kantor pemerintah, seperti kantor Gubernur NTB, daripada tidur di dalam rumah mereka namun tidak bisa merasa tenang.
Pengaruh Informasi Hoax
Kecemasan masyarakat di Lombok selain dipicu ketidakpastian situasi juga dipicu oleh banyak berita palsu (hoaxes) yang beredar melalui media sosial (medsos). Entah maksud dan tujuannya apa, yang jelas berita palsu tersebut telah menciptakan kepanikan baru ditengah masyarakat di pulau Lombok. Beberapa sumber menyebutkan bahwa hampir setiap saat berita palsu tersebut beredar dan sampai ketangan masyarakat melalui smartphone atau sms yang mereka terima.Â
Berita palsu tersebut bervariasi, dari yang bersifat sederhana, tidak masuk akal dan mudah dibantah, sampai yang lebih detail dengan mengutip beberapa sumber namun dipotong sedemikian rupa dan dirangkai untuk menciptakan kepanikan. Semisal,berita palsu (hoax) yang seolah olah berasal dari lembaga pemantau gempa resmi atau mengutip penelitian asing, lengkap dengan beberapa istilah asing yang bisa memancing kepercayaan publik yang menerimanya. Parahnya berita palsu seperti ini justru banyak dipercaya ketimbang penjelasan pemerintah yang berusaha menenangkan masyarakat dengan menyampaikan penjelasan yang sebenarnya (counter-hoax).
Meskipun jika dicermati sebenarnya tidak ada kaitan sama sekali antara tiap bencana yang dikutip kaitan sama sekali antara tiap bencana yang dikutip dalam berita hoax tersebut. Lalu kenapa masyarakat cenderung lebih percaya berita hoax ketimbang penjelasan resmi pemerintah dan mereka berbondong bondong mengungsi ke perbukitan mengantisipasi kemungkinan kejadian pada hari minggu, tanggal 26 Agustus 2018.Â
Beberapa jawaban sederhana yang berasal dari masyarakat menyebutkan bahwa (kebetulan saja) dua gempa besar di Lombok terjadi bertepatan pada hari minggu malam, yakni tanggal 5 Agustus dan hari minggu malam tanggal 19 Agustus 2018. Dua kejadian ini rupanya sempat menjadi rujukan masyarakat dengan menandai kejadian gempa besar setiap hari minggu malam. Dalam situasi yang penuh kecemasan sepertinya masyarakat lebih susah menerima penjelasan pemerintah yang menghimbau untuk tidak perlu cemas terhadap ramalan hoax tersebut, karena faktanya memang tidak ada satupun pakar didunia yang bisa meramalkan kapan akan terjadi gempabumi.
Strategi Melawan Hoax
Fakta kejadian yang membuktikan salahnya ramalan hoax barangkali menjadi hal yang membuat masyarakat batal percaya kepada hoax dan kembali mempercayai himbauan pemerintah. Namun jika menyangkut hal yang belum terjadi dan salam situasi penuh ketidakpastian, tampaknya masih diperlukan cara lain untuk mengemas informasi dan himbauan resmi pemerintah supaya lebih dipercaya masyarakat ketimbang berita hoax. Sebagai contoh, kalimat yang sering dipergunakan untuk melawan ramalan gempa hoax dengan menggunakan kalimat "Sampai dengan saat ini tidak ada seorang pakar pun didunia yang mampu meramal kapan akan terjadi gempabumi".
 Disatu sisi, hal ini merupakan fakta ilmiah yang belum terbantahkan namun disisi lain, kalimat tersebut juga menyisakan makna adanya "ketidakpastian" yang tetap menimbulkan kecemasan akan apa yang akan terjadi. Jika tidak bisa diramal, bukankah hal itu juga berarti tidak ada satupun yang tahu apa yang akan terjadi. Akankah gempa besar akan terjadi lagi esok, ataukah bumi akan kembali tenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H