Mohon tunggu...
Khudori Husnan
Khudori Husnan Mohon Tunggu... Freelancer - peminat kajian-kajian budaya populer (https://saweria.co/keranitv)

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia (Mungkin) Tak Lagi Yatim Piatu

7 Juli 2014   14:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:10 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sedang teringat salah satu tulisan B. Herry Priyono di harian Kompas Kamis, 28 Mei 2009 lampau. Seperti biasa tulisan-tulisan versi populer  B. Herry Priyono (BHP) selalu memikat lantaran  kerap menyelipkan  metafor-metafor keren dan akurat dalam menerangkan istilah-istilah teknis konseptual tertentu. Selain itu tulisan BHP juga seringkali menggugah rasa ingin tahu pembaca termasuk saya.

Oiya BHP selain seorang penulis mumpuni ia juga seorang penceramah ulung. Bagi siapa saja yang pernah menyaksikan langsung ceramah-ceramah BHP dan membaca tulisan-tulisannya nyatalah bagi BHP  tulisan adalah sebuah cara berucap yang dikemukakan dalam gaya berbeda. Ya, BHP selalu menulis dengan gaya.

Yang paling saya ingat dari tulisan berjudul "Neoliberalisme" dari BHP  ialah seputar anjurannya  untuk membaca  buku David Harvey,

mahaguru geografi dan ekonomi politik, berjudul "A Brief History of Neoliberalism" (2005). Sebuah anjuran yang saat itu langsung  saya ikuti.

Beruntung, atas budi baik inernet versi PDF buku tersebut dapat dengan mudah saya dapat. Memang, "A Brief History of Neoliberalism," sebuah buku yang menarik dan top markotop. Bukan saja karena gaya bahasanya cukup mudah dicerna tapi lantaran buku itu berhasil mengusut secara terperinci   perjalanan sebuah gagasan ekonomi politik, ekonomi yang pada tingkat praktik tak bisa tidak berkait erat dengan gerak-gerik keputusan politik si penguasa, hingga  dampak-dampak sosial politik dan kultural yang ditimbulkan. Dalam buku itu seingat saya Harvey menunjuk penguasa diktator  Augusto Pinochet (Chili) sebagai contoh terbaiknya.

Setiap gagasan tentu saja tanggapan atas gejala sosial politik yang ada pun halnya neoliberalisme. Pada mulanya isme ini semacam formula atau rumusan jalan ke luar dari kubangan krisis ekonomi. Walhasil neoliberalisme  tak ubahnya resep dokter bagi seorang pasien yang sedang menderita sakit parah. Karena pertama kali mencuat di belahan Eropa maka neoliberalisme adalah paham yang lahir sebagai buah  dari tatanan perekonomian dunia sana yang tengah alami goncangan ekonomi hebat, dikenal dengan istilah "depresi besar," paska perang berkepanjangan dan menelan biaya teramat besar pada periode 1930-an hingga 1940-an.

Secara teoritik (cie teoritik nih yee), neoliberalisme adalah respon atas kebuntuan yang dialami dua paham ekonomi cukup berpengaruh pertama yang melulu mempercayakan gerak ekonomi pada orang per orang dari pihak swasta dan kedua paham ekonomi yang memandatkan perkara ekonomi semata  pada pemerintah di mana keduanya, setidaknya menurut kepercayaa orang-orang pinter jaman itu, dianggap gagal dan lebih parah lagi menyumbang pada carut-marut tata ekonomi yang berujung pada depresi habis-habisan.

Neoliberalisme lahir mencoba mengatasi kemacetan dua modus berpikir ekonomi tersebut. Kekhasan neoliberalisme bila dibandingkan dua aliran pemikiran swasta dan atau negeri (pemerintah maksudnya) terletak pada keimanannya pada anggapan bahwa pihak-pihak non pemerintah  layak diberi kekuasaan penuh untuk mengatur seluruh tata ekonomi dalam sebuha negara. Akibatnya, dalam neoliberalisme sejauh segala hal di negara tertentu  bisa diambil keuntungan secara finansial maka berkreasilah dan berlomba-lombalah mencari peruntungan dan jangan ada kekhawatiran berlebih ihwal aturan-aturna pemerintah sebab nanti pemerintah dapat jatah juga.

Dunia menjadi medan kontestasi raksasa mencari  peruntungan. Planet bumi menjelma  pasar besar.  Produksi  dan konsumsi menjadi kata kunci andalan dalam semangat  ekonomi neoliberalisme. Kemalasan pun dikesankan serupa neraka di bumi dan dianggap biang keladi kemelaratan. Tapi, tunggu dulu ada yang unik.

Pada neoliberalisme orang dikondisikan untuk selalu produktif, bahkan untuk itu dihadirkanlah motivator-mtovator kesohor. Anehnya, pada saat bersamaan orang juga dituntut untuk konsumtif. Lah iya, kalo terus menerus produksi tanpa  ada konsumsi bandar tekor dong. Nah, untuk menyeimbangkan sudut produksi dan konsumsi dihadirkanlah rayuan-rayuan maut dalam rupa iklan-iklan menggugah hati.

Anda ingin gemuk minumlah secara rutin  susu A. Jika Anda merasa kelebihan berat badan berolah raga lah dengan alat ini hanya dalam hitungan Minggu Anda pasti langsing, misalnya seperti itu iklannya. Dengan hanya menjadikan iklan dan promosi yang membekas di hati berhari-hari, timbangan produksi  dan konsumsi tak akan mengalami apa yang disebut Vicky Prasetyo sebagai "labil ekonomi" tapi sebaliknya akan tercipta  "konspirasi kemakmuran".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun