*****.
Pesan singkat dari bidan Nurhalija yang dinas di Distrik Atsj, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua kembali masuk ke telepon seluler saya. "Mlm dokter... kami sudah pimpin persalinan hampir 1,5 jam  dokter tetapi kepala bayi masih tinggi dan sudah teraba kaputdi kepala bayi. His tdk adekuat ketuban hijau mekoneum," isi short message service (SMS) yang dikirim pada hari Minggu 28 Januari 2018 pukul 20.19 Waktu Indonesia bagian Timur (WIT).
Saya, yang saat itu bertugas sebagai spesialis Kandungan Tim FHC Kemenkesdi Rumah Sakit Umum Daerah Agats, di Ibu Kota Kabupaten Asmat menyarankan kepada bidan agar pasien, segera dibawa ke rumah sakit. Dengan dibantu perawat dan tenaga medis lainnya, kami menyiapkan ruang bersalin  untuk segera mempersiapkan pasien bila sudah datang, untuk dikirim ke kamar operasi guna melakukan operasi sesar terhadap pasien berusia 28 tahun itu.
Sekitar beberapa jam sebelumnya, bidan Nurhalija mengirim SMS, berkonsultasi ke saya tentang kondisi pasiennya. Tekanan darah Hilda Weyai tinggi 150/90, kondisi kandungannya sudah pembukaan 8-9 cm, ketuban positif dan letak kepala.
Dia menjelaskan apakah boleh melahirkan di Distrik Atsj karena kalau ke RSUD Agats harus naik speedboatdengan waktu tempuh 2,5 sampai 3 jam dan biaya sewa perahu cepat itu mahal.
Karena hampir pembukaan lengkap dan tersedia obat penurun tekanan darah nipedipin dan antikejang, maka kami sarankan coba dilahirkan di Atsj. Bila lancar persalinannya dalam dua  jam mestinya sudah pembukaan lengkap dan lahir spontan.
Lebih dari dua jam berlalu dan terjadi pembukaan lengkap, ternyata bayinya belum lahir. Nurhalija kembali kirim SMS dan curiga bayinya besar karena kepala bayi masih tinggi dan mulai ada tanda-tanda kaput. Ini adalah benjolan pada kepala bayi karena menyesuaikan dengan jalan lahir yang merupakanindikasi bayinya lebih besar dari panggul ibu. Kami sarankan untuk segera dibawa ke Agats.
Ditemani bidan Nurhalija, pukul 21.00 WIT, Hilda Weyai dan keluarganya dibawa dengan speedboat menuju RSUD Agats. "Dokter kami dlm perjalanan pakai speed 85," pesan SMS Nurhalija. Mereka menyusuri sungai besar, menembus malam yang pekat. Nurhalija terus mengirimkan SMS ke saya, menjelaskan kondisi pasien dan perjalanan.
Alhamdulillah, air laut sedang pasang sehingga sungai terdekat dengan RSUD Agats dapat dilalui. "Dokter kami sudah di kali potong agats ini...," pesan SMS. Â Saya balas, "Baik..di ugd sudah disiapkan..telpon mobil ambulance."
Sesampainya di RSUD Agats, Asmat, pasien dipersiapkan di kamar bersalin untuk kemudian  dibawa ke kamar operasi. Selain saya spesialis kandungan dari RSAB Harapan Kita Jakarta, ada dokter anestesi dan dokter spesialis anak dari RS Sardjito yg tergabung dalam tim FHC Gelombang 2 yang membantu kami. Operasi sesar berjalan dengan lancar. Alhamdulillah pukul 02.00 WIT lahir bayi laki-laki dengan berat 4,5 kg. Ini masuk kategori bayi berukuran besar (makrosomia).
Ibunya sehat, namun bayi itu mengalami asfiksia ringan-sedang karena kurang oksigen selama perjalanan naik speedboat yang makan waktu tiga jam. Setelah dirawat selama tiga hari, luka bekas operasi Ibu Hilda Weyai mulai sembuh dan tekanan darah normal. Bayi juga sehat dan bisa dipulangkan ke Distrik Atsj.
Kami, tim dokter, bersyukur kepada Allah SWT, karena Ibu Hilda Weyai cepat dibawa ke RSUD Agats, Asmat  yang memiliki fasilitas operasi sesar.  Rumah sakit lain ada di Timika, namun harus ditempuh dengan kapal selama 12 sampai 14 jam dengan ombak Laut Arafura yang ganas.
*****.
Pada Kamis, 24 Januari 2018, Â Ibu Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr.Nila Djuwita Anfasa Moeloek. Sp.M (K) datang ke Kabupaten Asmat untuk meninjau penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk. Beliau didampingi Dirjen Pelayanan Kesehatan dr Bambang Wibowo SpOG(K), MARS, Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Maura Linda Sitanggang dan Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Usman Sumantri.
Satuan Tugas Kemanusiaan di Asmat mencatat  korban meninggal akibat campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat berjumlah 69 orang. Ada 92 orang yang ditangani RSUD Agats dan tenaga kesehatan di Gereja Asmat.
Kunjungan Ibu Menkes Nila Moeloek menindaklanjuti petunjuk Presiden Joko Widodo agar dilakukan kajian awal untuk mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya masalah campak dan gizi buruk tersebut.
Menteri Kesehatan telah meminta para kepala dinas kesehatan di Papua untuk melakukan pengobatan. Â "Kami kerja sama dengan TNI, polisi, Kementerian Sosial secara terpadu. Kami membuat program 10 hari pertama ini sudah, 10 hari dilakukan beberapa kegiatan sampai tiga kali, sampai satu bulan," ujar Ibu Menteri Kesehatan kepada pers.
Memang, sejak awal Ibu Menteri Kesehatan langsung melakukan tindakan untuk menangani KLB di Asmat. Selain mengirimkan 1,2 ton obat-obatan, juga memberangkatkan tim Flying Health Care (FHC) yang terdiri dari 30-40 tenaga kesehatan. Terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, Â perawat, penata anestesi, dan tenaga kesehatan yaitu ahli gizi, kesehatan lingkungan dan surveilens.
Tim FHC gelombang pertama bertugas pada 13---23 Januari 2018. Untuk gelombang kedua, bertugas pada 23 Januari hingga 1 Februari 2018. Sementara gelombang ketiga pada 1---11 Februari 2018. Kementrian Kesehatan menyiapkan sembilan gelombang FHC yang berlangsung lebih kurang tiga bulan. Timnya berganti secara berkala untuk menjaga stamina tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan disebar di masing-masing distrik dengan membawa obat-obatan dan vaksin.
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta, merupakan salah satu rumah sakit yang diminta Kementrian Kesehatan untuk menyiapkan tenaga kesehatan. Saya, yang sudah bertugas sebagai dokter kandunganselama 18 tahun, mengajukan diri. Kegiatan pengabdian masyarakat sudah banyak saya lakukan di berbagai daerah. Antara lain di Puskesmas Teluk Pinang Tembilahan, Indragiri Hilir Riau.Sejak remaja memang saya aktif  sebagai anggota pramuka penggalang dan penegak di Kwartir Cabang Pramuka Jakarta Selatan.
Tugas di Kabupaten Asmat menjadi tantangan tersendiri bagi saya yang menyelesaikan program sarjana kedokteran di Universitas Gadjah Mada (lulus tahun1992), spesialis kebidanan dan kandungan di Universitas Indonesia (tahun 2000), Konsultan FER di Universitas Padjajaran (tahun 2013) serta program doktor di Universitas Indonesia (tahun 2015).
Saya menjadi bagian tim FHC gelombang dua, satu-satunya dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Rekan sejawat lainnya adalah 4 dokter spesialis anak (dari RS Sardjito Yogyakarta, Â RS Sanglah Bali, RS Hasanuddin Makasar dan RSUD Sorong), satu dokter spesialis anestesi dan penyakit dalam (RS Sardjito) dan 8 dokter umum, perawat,ahli gizi, promosikesehatan, ahli imunisasi, surveilens serta ahli sanitasi lingkungan.
Ketika di Asmat, Ibu Menteri Kesehatan juga mengunjungi RSUD Agats. Beliau bercakap-cakap dengan para pasien dan menggendong bayi laki-laki, anak dari Paulina Sasi, yang ditolong kelahirannya melalui operasi sesar oleh dr Tansya SpOG, anggota tim FHC gelombang dua. Menteri Kesehatan berpesan kepada ibu-ibu warga Asmat untuk senantiasa memperhatikan tumbuh kembang bayi dan anak-anak melalui pemberian gizi yang seimbang.
*****.
Alhamdulillah, selama 8 hari bertugas di RSUD Agats, Asmat, ada 6 pasien yang melahirkan spontan dan satu dengan operasi sesar, yaitu Ibu Hilda Weyai. Kami juga memeriksa sejumlah ibu-ibu hamil yang berobat di rumah sakit. Sebagian besar ibu hamil memiliki kadar hemoglobin yang rendah. Ada empat pasien yang terinfeksi malaria tropikana dan dua pasien terinfeksi penyakit kelamin, sifilis. Rekan kami dokter internis menjumpai empat kasus HIV dan satu kasus AIDS dengan komplikasi infeksi paru. Pasien lain yang dirawat di RS Agats ada yang menderita cacingan (filariasis) dan infeksi TBC.
Daerah pesisir di Asmat merupakan salah satu kawasan endemis tinggi malaria. Wilayahnya yang berawa-rawa menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Anopheles, pembawa penyakit malaria.Penyakit filariasis terkait dengan sanitasi dan perilaku warga. Mereka tinggal di atas rawa-rawa yang kebanyakan kotor dan berbau tak sedap. Mereka sulit mengakses air bersih dan hanya mengandalkan hujan. Sangat minimUD sarana mandi, cuci, dan kakus.
Untuk mandi dan buang hajat dilakukan di sungai, termasuk minum yang berasal dari air kali.Bahan makanan, termasuk sagu dan ikan dicuci dengan air kali yang keruh dan berlumpur. Telur-telur cacing yang menempel dari air keruh tak mati karena ikan dan sagu sering disajikan setengah matang.
Anak-anak yang sering main di sungai berlumpur rentan terhadap masuknya telur cacing ke tubuhnya. Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengatakan cacing ini turut menggerogoti gizi anak-anak Asmat. "Perut anak-anak di sana buncit-buncit tapi isinya cacing," katanya pada wartawan.
Bagaimana dengan penyakit kelamin yang diidap sejumlah ibu hamil? Boleh jadi fenomena ini terkait dengan perilaku seks pada usia dini dan mungkin seks bebas. Ada kabar juga bahwa bisnis prostitusi merambah ke Asmat setelah surut di kota Timika dan Merauke.
Warga di pedalaman Asmat biasanya tinggal di bivak atau rumah tanpa sekat-sekat kamar. Anak-anak dapat melihat orang tuanya melakukan hubungan seksual di dalam rumah maupun di kebun. Memori melihat adegan-adegan tersebut memacu para remaja meniru-niru dan melakukannya dengan lawan jenisnya.
Selama sepuluh hari di Kabupaten Asmat, tim FHC gelombang kedua melakukan pengobatan dan tindakan operasi kepada pasien di RSUD Agats. Ada pula diantara mereka yang disebar ke berbagai distrik untuk membantu di Puskesmas.
Selain itu kami melakukan sejumlah penyuluhan bekerja sama dengan pastor, suster, ustad dan guru. Lokasinya di sekolah Kristen SMP YPK dan SMP Yapus (Yayasan Pendidikan Islam). Kami menyuluh tentang bahaya penyakit infeksi, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Penyuluhan harus terus dilakukan karena mengubah perilaku hidup bersih dan sehat merupakan proses yang panjang. Hal ini menyangkut kultur masyarakat yang sudah ratusan tahun menjadi kebiasaan. Antara lain mengenai buang hajat, kebersihan lingkungan, kebutuhan biologis, mendidik anak, cara mengolah makanan (memasak) dan lainnya.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengungkapkan salah satu penyebab gizi buruk di Asmat akibat pola pengasuhan dari orang tua yang salah. Ibu Menkes sempat berbincang dengan orang tua pasien di RSUD Agats dan yang mengaku tetap memberikan ikan kepada anak mereka. "Rupanya mereka tidak mendidik anaknya dengan baik, kalau makan dengan tangan tidak pernah cuci tangan. Habis main lumpur langsung makan, ya cacingan. Cacing memakan habis makanan kita," kata Menkes.
Dari pengamatan singkat kami, banyak warga pedalaman Asmat menjual ubi jalar hijau, ikan dan kepiting hasil tangkapan mereka di pasar. Â Uang hasil dagangan mereka belikan beras dan mie instan untuk makanan sehari-hari. Bahkan ada yang memakan mie instan mentah. Padahal makanan orang kota ini sangat sedikit proteinnya.
Kearifan lokal berupa bahan pangan yang ratusan tahun lalu diajarkan nenek moyang mereka, mulai ditinggalkan. Tidak banyak lagi warga pedalaman yang mencari sagu di hutan dan mengkonsumsinya. Begitu juga aktivitas mencari ikan dan kepiting yang kaya akan protein.
Warga pendatang dari etnis Bugis, Jawa, Toraja dan lainnya, ada yang menggunakan pot plastik  untuk menanam sayur-sayuran di halaman rumahnya. Mereka menggali tanah di bawah rawa-rawa sebagai media tanam. Cara semacam ini bisa diajarkan kepada warga pedalaman yang kerap kali kesulitan bahan makanan.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek juga menyinggung pola hidup masyarakat Asmat yang masih bergantung kepada alam sebagai peramu dan tinggal tidak tetap (nomaden). Begitu alam menyediakan makanan dia tinggal, namun begitu habis dia pindah. "Namun ada hal-hal lain yang membuat mereka tidak lagi menghasilkan dari meramu ini dan mulailah terjadi gizi buruk. Ini akibat kekurangan makanan," ujarnya.
Selain pendekatan kultural, perlu juga dilakukan solusi kelembagaan, yaitu bagaimana meningkatkan  kapasitas Pemerintah Kabupaten Asmat di bidang kesehatan. Menurut Menteri Nila Moeloek, upaya memperkuat itu antara lain dalam hal sumber daya manusia, pengelolaan anggaran dan penyaluran bantuan kesehatan, khususnya bagi ibu hamil, bayi dan anak-anak.
Memang, sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, tanggung jawab awal harus dilakukan oleh pemerintah daerah. Karena desentralisasi layanan dasar ada pada pemerintah daerah dimana untuk kesehatan sudah ada anggaran di APBD termasuk alokasi tenaga kesehatan.
Ibu Nila Moeloek menilai, KLB campak dan gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Asmat itu merupakan sebuah hilir dari berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya masalah kesehatan. Pada bagian hulunya, terdapat sejumlah faktor.
Antara lain kebersihan dan kesehatan lingkungan dengan tidak tersedianya akses sanitasi dan air bersih, infrastruktur yang belum terbangun untuk memudahkan proses upaya kesehatan, ketersediaan energi untuk kebutuhan tindakan medis serta penyimpanan obat-obatan. Selain itu, aspek ketahanan pangan yang berpengaruh pada status gizi masyarakat di daerah tertentu.
Kasus KLB di Asmat mengingatkan kita, pemerintah dan masyarakat, untuk bersama-sama menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta mengalokasikan anggaran dan tenaga kesehatan di daerah secara maksimal. Â
Saya bersyukur dipercaya oleh Kementrian Kesehatan menjadi bagian tim Flying Health Care (FHC) di Kabupaten Asmat.  Kami, para dokter memang harus terus menerapkan  sumpah dokter Indonesia yang pertama, dari 12 sumpah, yaitu: "Demi Allah saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan."
***/selesai/asÂ
Oleh Dr. dr Agus Supriyadi, SpOG(K), M.Kes, MPH
KSM Obgin di RSAB Harapan Kita, Jakarta.
Keterangan foto:
- Kunjungan Menkes Nila Moeloek ke RSUD Agats pada 24 Januari 2018
- Tim Flying Health Care (FHC) sedang menyiapkan operasi sesar di RSUD Agats
- Tim FHC sedang kunjungan ke pasien
- Tim FHC sedang melakukan penyuluhan di SMP YPK Agats.
- Tim FHC sedang memeriksa ibu hamil menggunakan USG portable yang dibawa dari RSAB Harapan Kita Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H