Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengungkapkan salah satu penyebab gizi buruk di Asmat akibat pola pengasuhan dari orang tua yang salah. Ibu Menkes sempat berbincang dengan orang tua pasien di RSUD Agats dan yang mengaku tetap memberikan ikan kepada anak mereka. "Rupanya mereka tidak mendidik anaknya dengan baik, kalau makan dengan tangan tidak pernah cuci tangan. Habis main lumpur langsung makan, ya cacingan. Cacing memakan habis makanan kita," kata Menkes.
Dari pengamatan singkat kami, banyak warga pedalaman Asmat menjual ubi jalar hijau, ikan dan kepiting hasil tangkapan mereka di pasar. Â Uang hasil dagangan mereka belikan beras dan mie instan untuk makanan sehari-hari. Bahkan ada yang memakan mie instan mentah. Padahal makanan orang kota ini sangat sedikit proteinnya.
Kearifan lokal berupa bahan pangan yang ratusan tahun lalu diajarkan nenek moyang mereka, mulai ditinggalkan. Tidak banyak lagi warga pedalaman yang mencari sagu di hutan dan mengkonsumsinya. Begitu juga aktivitas mencari ikan dan kepiting yang kaya akan protein.
Warga pendatang dari etnis Bugis, Jawa, Toraja dan lainnya, ada yang menggunakan pot plastik  untuk menanam sayur-sayuran di halaman rumahnya. Mereka menggali tanah di bawah rawa-rawa sebagai media tanam. Cara semacam ini bisa diajarkan kepada warga pedalaman yang kerap kali kesulitan bahan makanan.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek juga menyinggung pola hidup masyarakat Asmat yang masih bergantung kepada alam sebagai peramu dan tinggal tidak tetap (nomaden). Begitu alam menyediakan makanan dia tinggal, namun begitu habis dia pindah. "Namun ada hal-hal lain yang membuat mereka tidak lagi menghasilkan dari meramu ini dan mulailah terjadi gizi buruk. Ini akibat kekurangan makanan," ujarnya.
Selain pendekatan kultural, perlu juga dilakukan solusi kelembagaan, yaitu bagaimana meningkatkan  kapasitas Pemerintah Kabupaten Asmat di bidang kesehatan. Menurut Menteri Nila Moeloek, upaya memperkuat itu antara lain dalam hal sumber daya manusia, pengelolaan anggaran dan penyaluran bantuan kesehatan, khususnya bagi ibu hamil, bayi dan anak-anak.
Memang, sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, tanggung jawab awal harus dilakukan oleh pemerintah daerah. Karena desentralisasi layanan dasar ada pada pemerintah daerah dimana untuk kesehatan sudah ada anggaran di APBD termasuk alokasi tenaga kesehatan.
Ibu Nila Moeloek menilai, KLB campak dan gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Asmat itu merupakan sebuah hilir dari berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya masalah kesehatan. Pada bagian hulunya, terdapat sejumlah faktor.
Antara lain kebersihan dan kesehatan lingkungan dengan tidak tersedianya akses sanitasi dan air bersih, infrastruktur yang belum terbangun untuk memudahkan proses upaya kesehatan, ketersediaan energi untuk kebutuhan tindakan medis serta penyimpanan obat-obatan. Selain itu, aspek ketahanan pangan yang berpengaruh pada status gizi masyarakat di daerah tertentu.
Kasus KLB di Asmat mengingatkan kita, pemerintah dan masyarakat, untuk bersama-sama menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta mengalokasikan anggaran dan tenaga kesehatan di daerah secara maksimal. Â
Saya bersyukur dipercaya oleh Kementrian Kesehatan menjadi bagian tim Flying Health Care (FHC) di Kabupaten Asmat.  Kami, para dokter memang harus terus menerapkan  sumpah dokter Indonesia yang pertama, dari 12 sumpah, yaitu: "Demi Allah saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan."