Selain itu juga terjadi miss identifikasi pada sentinel 2A yang digunakan David, misalnya pada lokasi Perhutani di Madiun, Jawa Timur. Ada identifikasi areal bekas terbakar di lokasi ini, padahal yang terjadi adalah kondisi hutan jati sedang meranggas atau musim kering.
Jadi pada konteks metodologi riset, David cs tidak melakukan klarifikasi apapun dengan mengandalkan sumber daya manusia, semata hanya mengandalkan mesin. Semua yang panas bagi 'mesin' kemudian disimpulkan dalam riset David sebagai areal karhutla, karena riset hanya mengandalkan pengamatan visual atas objek bekas karhutla yg dikonversi menjadi algoritme tertentu, antara lain dNBR (Delta Normalized Burned Ratio), dan Random Forest. Semuanya diolah otomatis oleh mesin. Karena dilaksanakan secara otomatis, maka nilai pantulan objek yang serupa akan disimpulkan sama, tanpa memandang beberapa aspek asosiatif yang melatarbelakangi.
Maka tidak heran bila obyek seperti hutan jati yang meranggas; rumput mengering pada ekosistem savanna (NTB dan NTT); vegetasi terbakar/tertimbun abu vulkanik di sekitar kawah gunung api akibat erupsi; panen pada kebun tebu; _land clearing_; sampai pemangkasan rumput pada bahu landasan bandara pun bisa diklaim sebagai areal terbakar.
Sedangkan pemerintah pada titik yang sama melakukan klasifikasi kebakaran secara interpretasi visual, overlay data citra landsat, hotspot dan data lapangan. Untuk verifikasi lapangan dilakukan secara berlapis oleh tim Manggala Agni dibantu satgas.
Pentingnya Verifikasi Lapangan
Dalam analisis areal bekas kebakaran hutan dan lahan dikenal dua jenis informasi yaitu hotspot (titik panas) dan areal bekas kebakaran. Keduanya memiliki potensi kesalahan identifikasi bila hanya mengandalkan satelit.
Dislokasi medan panas, pantulan matahari pada sudut tertentu (air, aspal, atap seng), objek bersuhu tinggi (cerobong asap, kawah gunung berapi), bisa terdeteksi sebagai hotspot.
Sedangkan pembukaan lahan pada areal gambut, timbunan abu vulkanik, hutan musim yang meranggas seperti jati, atau rumput mengering (ekosistem savanna), dapat pula diidentifikasi sebagai areal bekas terbakar.
Disinilah letak penting verifikasi lapangan agar tidak terjadi kesalahan identifikasi. Ini akan sangat menentukan tindakan lanjutan seperti pemadaman, evakuasi, sampai pada level evaluasi kebijakan secara keseluruhan.
Kegiatan cek lapangan ini dilaksanakan dengan dua metode, yakni pada saat kejadian (kegiatan diikuti dengan pemadaman bilamana benar terjadi karhutla), dan setelah kejadian. Cek lapangan setelah kejadian ini dilaksanakan untuk memastikan penafsiran atau interpretasi citra satelit, yang berguna untuk materi pengambilan kebijakan berikutnya (Gakkum, rehabilitasi, dll).
Jika hanya mengandalkan satelit tanpa _ground check_ ke lapangan, maka beberapa contoh kejadiannya bisa begini: anggota pemadam bisa berbondong-bondong datang ke area yang disebut sedang terbakar oleh satelit, jauh blusak blusuk ke lokasi, semua peralatan siap tempur digotong manual di bawah panas terik, eh begitu sampai di lokasi ternyata yang ada bukan kebakaran, melainkan cuma pantulan panas objek atap seng pondok di kebun orang atau pantulan panas dari air sungai. Ini benar-benar pernah terjadi di Dumai.