Tepat pada tanggal 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama pasien yang terkonfirmasi positif covid-19 di Indonesia. Sejak saat itu, kehidupan kita berubah 180 derajat. Pembatasan sosial skala besar, bekerja dari rumah, sekolah jarak jauh hingga pemutusan hubungan kerja akibat hantaman efek dari covid-19 yang sangat menular harus dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Semua energi, sumber daya dikerahkan dalam mengatasi penyebaran covid19 yang sangat cepat.Â
Sejak diumumkannya kasus pertama terkonfirmasi positif covid-19 berbagai macam fenomena baru terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah peningkatan angka pernikahan dini selama pandemi covid-19. Kita dapat menengok berita dibeberapa daerah permohonan dispensasi nikah meningkat tajam.Â
Dalam catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdapat 34.000 permohonan dispensasi yang diajukan pada Januari hingga Januari 2020 meningkat dibandingkan tahun 2019 terdapat 23.700 permohonan. Meskipun tidak ada angka yang pasti peningkatan pernikahan usia anak di Provinsi Kalimantan Selatan selama pandemi, Data BPS tahun 2019 menunjukkan Kalimantan Selatan menjadi Provinsi dengan angka perempuan menikah sebelum usia 18 tahun tertinggi di Indonesia yaitu 21.2%. Angka yang tidak dapat dianggap remeh, mengingat Provinsi Kalimantan Selatan merupakan provinsi nomor satu dengan tingkat pernikahan usia anak di Indonesia. Lantas, bagaimana kita merespon data tersebut?
Faktor Pendorong Pernikahan usia Anak
Sejumlah faktor melatarbelakangi pernikahan dini apalagi dimasa pandemi seperti saat ini. Himpitan ekonomi menjadi alasan utama ditengah pandemi yang mendorong anak untuk dinikahkan segera meskipun belum sampai umur sesuai dengan undang-undang perkawinan. Norma agama, sosial dan budaya setempat ikut pula mendukung dalam terjadinya pernikahan usia anak. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Kepala DPPPA Kalsel Husnul Hatimah yang mengatakan di Kalimantan Selatan faktor budaya memiliki pengaruh dalam mendukung terjadinya pernikahan usia dini.Â
Hegemoni konsep masyarakat terhadap perilaku anak dengan menikahkan agar jauh dari dosa berkepanjangan menjadi dilema tersendiri bagi para pemangku kepentingan. Edukasi yang kurang terhadap kesehatan reproduksi serta dan kurangnya pemahaman edukasi dan penanaman nilai-nilai keluarga oleh kedua orang tua memperburuk situasi. Sehingga, jalan keluar dari permasalahan yang ada yaitu menikah muda dengan dalih agar jauh dari dosa yang berkepanjangan.
Edukasi dalam Keluarga Kunci Pencegahan Usia Anak
Memberikan pandangan baru kepada masyarakat terhadap pernikahan usia anak menjadi tantangan bagi kita Penyuluh KB yang fokus dalam kampanye pendewasaan Usia Perkawinan. Namun hal itu bukan menjadi kebuntuan dalam mengikis persepsi masyarakat dan memberikan edukasi yang mencerahkan bagi masyarakat. Meskipun, alasan untuk menjauhi dari dosa bagi remaja menjadi alasan kuat bagi keluarga dalam menikahkan anaknya diusia yang masih belia tapi menikahkan anak bukan menjadi satu-satunya cara dalam menyelesaikan persoalan.Â
Kita dapat melihat dampak yang ditimbulkan dari menikah usia anak diantaranya meningkatnya resiko kematian ibu dan anak akibat dari belum siapnya alat reproduksi perempuan dalam melahirkan, bayi lahir prematur, kecacatan pada anak karena tidak optimalnya perkembangan janin, serta problem sosial dan ekonomi yang akan terus menghantui pasangan yang "dipaksa" untuk menikah karena ketidak siapan fisik dan mental dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Apabila kita menengok resiko yang ditimbulkan akibat dari menikah diusia muda jelas keputusan menikahkan anak diusia muda jelas merugikan baik dari sisi kesehatan, sosial dan ekonomi.Â
Lantas, pilihan untuk menikahkan anak di usia muda (dibawah 19 tahun menurut UU No.19 tahun 2019) tidak akan tercetus oleh kedua orang tua yang melek akan resiko yang akan ditanggung oleh anak tersebut. Berbagai cara dilakukan oleh orang tua salah satunya dengan mensiasati dengan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Remaja dan anak-anak perlu diberikan pendampingan dan pemahaman dalam pergaulannya.Â
Memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi bisa menjadi pintu masuk dalam menyelami dunia remaja agar kita sebagai orang tua tetap memantau perkembangan remaja. Remaja putri yang mendapatkan menstruasi pertama wajib didampingi dan diberikan edukasi, sama halnya dengan remaja putra untuk dapat diberikan pemahaman terhadap perkembangan fisiknya yang berubah. Mendekatkan diri antara orang tua dengan anak yang tumbuh dewasa menjadi pekerjaan rumah tangga bagi sebagian besar keluarga di Indonesia.Â