[caption id="attachment_356692" align="aligncenter" width="505" caption="sumber pribadi"][/caption]
Klarifikasi pemberitaan media massa yang belakangan marak beredar mengenai tuduhan kongkalikong antara dokter dan perusahaan Obat yang konon dibongkar oleh mantan medical representatif (medrep) pada surat kabar tribbun news dan ditayangkan beberapa waktu lalu. Kasus seperti ini jika benar terjadi tentunya sudah melanggar sumpah dan kode etik kedokteran. Namun sayangnya berita yang disajikan juga sarat muatan adu domba antar profesi dan sudah jauh dari kode etik jurnalistik yang semestinya. Maaf saya bukan orang pers namun sedikit banyak tahu fungsi dari kode etik pers itu sendiri.
Sebelumnya saya ingin mengutip tulisan dari seorang jurnalis senior sekaligus juga seorang dosen pengajar di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. "Perlunya Kode etik jurnalistik sangatlah jelas karena pers memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat. Bahkan, pengaruh pers itu tidak saja bersifat positif bagi masyarakat, tetapi bisa pula sebaliknya bersifat negatif. Pengaruh negatif itu misalnya bisa berbentuk ADU DOMBA antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, menyudutkan suatu kelompok masyarakat atau keyakinan tertentu, menghina atau mencemarkan nama baik perorangan, maupun kelompok yang tanpa disertai alasan bukti nyata, menyebarluaskan paham yang menyesatkan, menyebarluaskan pornografi, dan lain sebagainya."
Sayangnya saat ini Kode etik jurnalistik sudah banyak dilanggar oleh beberapa oknum wartawan yang ngakunya IDEALIS tapi yang terjadi adalah adanya praktek provokasi dan adu domba. Sama halnya kami (dokter) yang baru-baru ini (lagi-lagi) jadi pemberitaan panas dan seolah di adu domba dengan profesi lain (MedRep-Apoteker-dan Pasien). Padahal sejatinya kami dan profesi-profesi tersebut sejatinya adalah mitra yang saling bahu membahu untuk menyelenggarakan layanan kesehatan yang lebih baik. Walau saya akui pastinya ada saja OKNUM yang tak bertanggung jawab memanfaatkan profesinya untuk hal yang tidak baik. Namun jelas hal itu tak bisa di generalisasi bahwa semua orang yang berada di dalam profesi itu adalah tidak baik.
Yang paling memilukan adalah perang antar media ketika pilpres kemarin, bahkan sampai hari ini berita-berita mereka yang terkait prabowo dan jokowi masih sering memicu panas telinga dan debat yang tak berkesudahan bahkan setelah pilpres usai. Terlihat sekali oknum media ini ingin oplah penjualan media mereka meningkat, kunjungan ke web site mereka naik, sehingga akan banyak pesanan IKLAN yang masuk. Well akhirnya mereka kejar tayang menayangkan berita2 kontroversial yang tak memenuhi kaidah jurnalistik yang dimaksud.
Kalau menurut saya hal demikian yang dilakukan oleh segelintir oknum jurnalis kuranglah etis. Mau cari berita (duit) kok begitu. Dalam kasus ini begitu tendensiusnya mereka menuduh dokter memanfatkan profesinya utk berjualan obat demi materi. Padahal didalam profesi jurnalis itu sendiri saya lihat ada juga oknum jurnalis yang menggadaikan idealisme profesi mereka utk menuliskan berita-berita provokatif, adu domba dan tak jarang fitnah.
Merujuk dari judul tulisan kami diatas, Benarkah Tudingan Dokter Kongkalikong Dengan Perusahaan Obat? jika boleh jujur kami pun mengakui kalau memang barangkali ada beberapa oknum dokter yang meresepkan obat demi materi. Kami tidak menyangkal dan tak juga anti kritik. Tapi kalaupun kondisi tersebut benar lalu siapa yang rugi? yang paling dirugikan jelas pasien dokter itu sendiri yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari karena saya yakin pasien sekarang juga sudah cerdas, tapi kalau wartawan berjualan berita (provokatif) yang jadi korban siapa? bisa jadi ratusan, ribuan bahkan seluruh pembacanya yang hanya memakan berita mereka secara mentah-,mentah dan terlebih akhirnya mereka ikut menyebarkan berita fitnah.
Yang juga patut disayangkan selama ini tak pernah ada jurnalis yang menuliskan atau menguak akan kebobrokan dunia mereka sendiri, tapi kelihatannya mereka hanya gemar menyoroti profesi lain diluar mereka sendiri. Kalau kata pepatah sih “Gajah di pelupuk mata tak tampak. Semut di seberang lautan nampak”.
Tulisan ini sejatinya tidak mutlak merupakan pembelaan terhadap pemberitaan yang selama ini beredar mengenai pengakuan mantan med-rep, ataupun apoteker tersebut yang menceritakan bahwa ada kongkalikong antara dokter dengan perusahaan obat. Karena sekali lagi tak bisa kita pungkiri bahwa OKNUM pastilah ada, orang baik dan kurang baik itu pasti ada di semua profesi termasuk disini adalah profesi dokter / tenaga kesehatan. Namun kalau boleh sesekali anda bertanya pada med-rep yg masih aktif justru hidup mereka sangat tergantung dari peresepan obat oleh dokter. Begitu pula dokter juga terkadang membutuhkan referensi obat yang bagus dari med-rep.
Perlu diketahui juga golongan, jenis dan merk obat itu bermacam-macam. Ada obat murah dan ada obat yang sangat mahal bahkan dari golongan yang sama dengan merk berbedapun harganya bisa terpaut jauh. Dari segi kualitas? yah secara logika aja, suatu barang ada nilai/harga yang berbeda pasti beda pula kualitasnya walau jenisnya sama. Sama halnya dengan obat generik atau paten menurut saya pribadi untuk beberapa jenis obat tertentu sangat berbeda kualitasnya.
Nah skrg pertanyaanya kenapa masih ada obat mahal? silahkan barangkali anda para jurnalis / wartawan tanyakan pada pemerintah terkait, KENAPA PAJAK BEA CUKAI MASUK OBAT-OBATAN & ALAT-ALAT KESEHATAN KE INDONESIA NILAINYA SANGAT BESAR HAMPIR SAMA DENGAN PAJAK BARANG MEWAH!? belum lagi proses administrasinya yang sangat ribet dan berbelit-belit, sehingga harganya sangat mahal dan tak terjangkau bagi pasien terutama kelas menengah kebawah. Seharusnya hal seperti inilah yang juga perlu dikritisi oleh rekan2 wartawan, kenapa biaya berobat yang "(LAYAK)" dalam tanda kutip itu akhirnya menjadi sangat mahal.
Saya yakin sebenarnya dokter juga tak dirugikan sedikitpun dengan pemberitaan semacam ini. Toh mereka para dokter yg sering dituding menjual obat mahal itu juga sampai hari ini tak pernah sepi dari pasien bahkan antrinya luar biasa. Sebaliknya justru disisi lain yang saya kuatirkan imbasnya akan banyak calon pasien yang makin takut berobat ke dokter karena sudah SUUDZON duluan.
Kalau sudah takut ke dokter yang terjadi banyak diantara pasien beralih ke alternatif atau justru membiarkan sakit mereka tanpa berobat krn ketakutan-ketakutan atas apa yang mereka baca. Mending kalau di alternatif mereka sembuh, tapi kalau justru habis uang lbh besar dan penyakit tambah parah bagaimana? masih ingatkan korban klinik alternatif tongfang? klinik abal2 metropole? klinik alternatif UGB yang justru uangnya habis tapi kesembuhan tak didapat. Kenapa hal itu bisa terjadi? karena kepercayaan mereka pd dokter semakin luntur shgga lbh memilih ke alternatif lantaran pemberitaan2 yg kurang bertanggung jawab semacam ini.
Kenyataan lain kenapa media baik cetak maupun elektronik lbh sering memberitakan berita2 negatif seputar dunia kedokteran? padahal setiap hari banyak berita positif mengenai penemuan ilmiah, keberhasilan pengobatan pada pasien, updates ilmu kedokteran terbaru yang bisa dikabarkan pada masyarakat, tp kenapa berita semacam itu tak pernah diliput ? kenapa prinsip "bad news is a good news" lbh ditonjolkan?
Yang kami lihat justru ada beberapa media yang lbh sering menayangkan acara2 pengobatan alternatif. bahkan durasinya acara bisa berjam-jam setiap minggunya, wooww bayangkan berapa puluh juta harga yang harus dibayar pengiklan utk acara2 semacam itu? Maaf disini kami tak menganggap bahwa pengobatan alternatif itu semua tidak baik, byk kok teman2 pelaku pengobat alternatif yang memang benar punya keahlian dan sertifikat shgga turut membantu kesembuhan pasien.
Berikut ini adalah beberapa tulisan yang seolah ditujukan seolah bahwa dokter itu telah melakukan kejahatan berat dengan menuding bahwa mereka melakukan praktek kongkalingkong dengan perusahaan obat demi materi semata.
- Rame juga di kaskus: http://www.kaskus.co.id/thread/5472c402dc06bd35488b456a/pengakuan-mantan-medrep-banyak-apoteker-tertawa-melihat-resep-si-dokter/
Pada akhirnya tulisan semacam ini dibaca mentah2 dan diamini oleh masyarakat seolah benar 100% padahal sesungguhnya mereka hanya melihat dari satu sisi sudut pandang saja. Di sisi lain masih banyak dokter yang mengabdi di puskesmas, rumah sakit milik pemerintah, di daerah terpencil yang di wajibkan meresepkan obat yang sudah di tentukan oleh askes sekarang BPJS sehingga tidak ada terbesit keinginan untuk apa yang namanya kongkalinkong dengan perusahaan farmasi itu sendiri karena memang kebanyakan obat yang dipakai untuk pasien adalah obat generik.
Sekali lagi tulisan ini tidak ada maksud sedikit pun utk membela diri apa lagi merasa bahwa profesi saya lbh baik dari profesi yg lain. tulisan ini juga tak ada niat utk mengundang permusuhan pada profesi apapun. Hanya saja marilah kita gunakan etika profesi kita sebaik-baiknya, supaya tidak ada lagi yang merasa dirugikan oleh profesi yang kita tekuni.
Ada baiknya pembaca atau calon pasien pun diharapkan jg utk tidak kuatir berlebihan dan mudah percaya berita yang belum tentu kebenarannya, Ketika berobat anda juga berhak untuk memilih atau memilah dokter yang anda inginkan. Selain itu anda juga berhak menolak atau tak menebus resep sekiranya obat itu menurut anda mahal. Disisi lain pemerintah jg telah menyediakan fasilitas berobat murah bahkan gratis di Rumah sakit umum daerah, puskesmas yang bisa anda manfaatkan. Namun tentunya harap maklum jika pelayanannya barangkali tak 100% seperti yg anda ingingkan, Namun yang pastiitu bisa jadi pilihan bagi anda yang tidak mau kesulitan masalah biaya berobat.
salam,
dr. Wahyu Triasmara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H