Parkir sembarangan bak spora jamur yang kian merebak terbawa angin. Tak lagi di kota-kota besar, kini di daerah perkampungan bahkan gang yang hanya dapat dilalui satu mobil secara bergantian pun sudah mengalami fenomena yang dulu hanya pemilik kendaraan menengah atas.Â
Bukan saja di perumahan tapi di lingkungan pendidikan mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi sekalipun sudah terjangkit fenomena parkir sembarangan.Â
Mulai dari parkir di bahu jalan, di depan pintu pagar rumah orang lain, di tikungan jalan atau di tempat vital fasilitas umum, seperti sarana pendidikan, sarana peribadatan, sarana layanan masyarakat dan lainnya.Â
Bahkan depan kantor pihak berwenang kota pun banyak parkir sembarangan yang terpampang rambu-rambu dilarang parkir, yang nampaknya sulit ditertibkan.
Aturan
Aturan perihal parkir sembarangan ini sudah kita miliki dan sudah banyak sekali di bahas tentang pasal, bunyi dan penjelasannya di banyak artikel.Â
Perlu kita pahami aturan adalah tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan seperti tertuang dalam KBBI Kemendikbud. Permasalahan utamanya bukan pada terciptanya peraturan, melainkan apakah aturan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya di lapangan?Â
Apakah aturan dibuat dengan pengecualian kepada siapa peraturan akan diterapkan? Ada aturan pasti ada sanksi; apakah pelanggar aturan ini dikenakan sanksi atau ada pelanggar tertentu yang kebal sanksi?
Aturan parkir sembarangan sudah ditetapkan dalam bentuk aturan resmi atau Undang-undang. Sebelum diterbitkannya undang-undang, bukankah kita punya norma.Â
Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima, dikutip dari  website kbbi.kemendikbud. Norma dalam bermasyarakat dahulu kala terutama tradisi Jawa, jangan lagi parkir sembarangan, kita mendahului saja mengucap permisi dan membungkukan badan dengan tangan ke depan.Â
Norma seperti ini sudah sangat langka. Merapatkan kedua tangan dan berucap terima kasih, melambaikan tangan dan berucap maaf, begitu bukan seharusnya jika kita parkir sembarangan. mengucap terima kasih dan maaf. Harusnya disadari tanpa perlunya peraturan tertulis atau undang-undang.
Bukan hanya negara kita saja yang memiliki aturan. Di negara Australia tepatnya di New South Wales juga memiliki aturan dalam berkendara khususnya parkir, baik parkir di jalan raya ataupun di permukiman.Â
Dikutip dari web pemerintahan New South Wales, nsw.org, bahwa mereka lebih menekankan kepada keselamatan dan kesejahteraan bersama.Â
Adanya pembatasan, area yang boleh parkir atau tidak, ada juga aturan berapa lama boleh parkir di area itu, juga sanksi yang diberikan. Pastinya dimanapun kita berada, kita harus pahami bahwa parkir sembarangan itu ibarat numpang di rumah orang, harus tahu diri!
Pernah mendengar ucapan buat apa ada aturan? Ah.. kan cuma sebentar! Ah, toh garasinya kosong berarti orangnya tidak ada di rumah bisalah parkir sebentar di depan pagarnya!Â
Nampaknya rumah ini kosong bolehlah parkir disini kan kita cuma sebentar! Ini kan jalan umum siapa aja boleh parkir! Ini jalan umum kan akte tanah jalan ini bukan milik mu kan?! Emang kamu beli rumah atau ruko sekaligus dengan slot parkirnya, gak kan?! Lebih tau hukum siapa, kamu atau saya?Â
Cuma sebentar aja jemput anak, cuma sebentar aja beli gorengan, mobilnya di parkir di tikungan. Beberapa contoh kalimat tersebut membuat gemes, jika ada contoh kalimat lain silahkan ditambahkan di kolom komentar. Dapatkah karakter demikian didisiplinkan dengan peraturan undang-undang?Â
Haruskah ucapan kalimat-kalimat diatas dijawab dengan penjelasan? Jika diperhatikan mayoritas pengguna jalan dengan parkir sembarangan ini adalah wanita dan yang berucap kalimat-kalimat diatas juga wanita.Â
Pria tidak akan parkir sembarangan hanya karena masalah sepele, karena pria menggunakan logikanya untuk berpikir bukan menggunakan perasaannya dan pria sangat terbiasa dan paham berkendara di jalan umum.Â
Namun, tidak menutup kemungkinan pria tidak parkir sembarangan. Terlepas pria atau wanita, perlu diperhatikan adalah kesadaran diri. Kesadaran mereka didapat dari karakter atau watak.
Karakter atau watak yang ada dalam diri manusia sulit untuk diubah. Apa yang mereka rasa benar ya sudah benar menurutnya tanpa mempertimbangkan parkir sembarangan, tidak masalah untuk dirinya, mempermudah aksesnya meskipun menganggu akses keluar masuk pemilik rumah atau pengguna jalan lain.Â
Belum lagi kaum hawa yang parkir sembarangan, makin ditegur makin drama. bukan lagi meminta maaf menyadari kesalahannya, galakkan yang salah, kata orang-orang.Â
Ditambah dengan posisi, jabatan, harta yang dimilik kaum hawa ini, rasanya watak itu tidak ada obatnya, watuk bisa disembuhkan dengan obat batuk.
Aturan perundangan parkir sembarang berlaku di jalan raya, sedangkan di kompleks atau perumahan berlaku aturan kelompok. Mari kita hubungkan aturan atau norma tidak tertulis dalam kelompok sesuai dengan kesepakatan bersama.Â
Parkir sembarangan dalam komplek sesuai kesepakatan bersama, misal tidak parkir di depan pintu pagar rumah orang lain. Pahami dengan baik kalimat tersebut, artinya ada ataupu tidak mobil atau pemilik rumah tetap tidak boleh parkir di depan pintu pagar orang lain. Tidak boleh parkir di pertigaan atau tikungan atau bahu jalan di dalam kompleks karena membahayakan pengguna jalan lain.Â
Meskipun sudah dibuat aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, sudah ada rambu-rambu dilarang parkir, tetap saja ada yang parkir di bawah rambu-rambu dilarang parkir. Ini perkara penegakkan aturan dan sanksi atau watak karakter pengguna jalannya yang harus diperbaiki?Â
Sudah diberi garis berwarna untuk tempat parkir, tetap saja ada yang parkir diluar garis atau parkir sama sekali tidak sesuai garis.Â
Karakter yang menganggap remeh atau merendahkan ataupun menormalisasi kesalahan kecil yang terus dikembangbiakan akan sangat sulit diperbaiki.Â
Parkir Sembarangan malah bawa pihak berwenang
Cerita nyata di kompleks mobil parkir sembarangan di depan pintu pagar rumah orang lain. Selain hal fisik garasi (sudah) penuh, penuh akan mobil atau dikosongkan atau untuk peruntukkan yang tidak sebagaimana mestinya. Karakter seseorang sangat perlu dijadikan pertimbangan.Â
Sebut saja Pak Joko, hari tertentu beberapa kali dalam seminggu dan rutin ada mobil parkir sembarangan depan pintu pagar Pak Joko, awalnya Pak Joko hanya memaklumi ketika si sopir wanita ini turun dari mobil tanpa senyum ataupun memandang wajah Pak Joko. Dan terjadi selama beberapa bulan, Pak Joko memang tidak tinggal dirumah tersebut karena sedang di renovasi.Â
Setiap pagi Pak Joko selalu ke rumah itu bersama tukangnya karena rumah sedang dalam renovasi. Renovasi pastinya depan rumah Pak Joko banyak kayu-kayu kaso berpaku dan puing-puing lainnya keperluan renovasi mengganti atap kayu dengan baja ringan.Â
Adakalanya juga Pak Joko membeli bahan keperluan bangunan. Jika diperhatikan mobil parkir sembarangan ini berdurasi 2 - 3 jam, selama 2 hari dalam seminggu. Pak Joko memaklumi mungkin saja pemilik mobil itu ibu-ibu sekitar tapi sepertinya tidak kenal.Â
Selang satu minggu mobil ini tidak lagi parkir depan rumah Pak Joko yang sedang direnovasi. Bagai jatuh ketimpa tangga, di rumah yang saat ini Pak Joko tinggali sementara, di datangi sekelompok pihak dan petugas keamanan kompleks.Â
Pihak yang terdiri dari beberapa orang ini adalah pihak berwenang dari satuan sektor setempat. Pihak berwenang mengutarakan sambangnya perihal bersilahturami sambil menanyakan apakah mengetahui mobil yang di parkir di depan rumah Pak Joko? Apakah ada pihak pemilik rumah (Pak Joko) yang tidak senang dengan mobil itu lalu "ngempesin" ban mobil?Â
Lucunya lagi pihak berwenang tidak mengetahui nama pemilik rumah (Pak Joko), pihak berwenang berkali-kali menanyakan nama pemilik rumah dan identitas lainnya, juga meminta bukti bahwa Pak Joko tidak terlibat dengan ban kempes. Ternyata, sebelumnya rumah yang sedang di renovasi milik Pak Joko sudah digerudug oleh sekelompok orang "titipan" dan pihak berwenang jam 08.00 pagi.
Singkat cerita, pemilik mobil yang parkir sembarangan di depan rumah Pak Joko mengalami kempes ban. Mencurigai Pak Joko selaku pemilik rumah yang melakukan tindakan kempes ban. Pihak berwenang yang seharusnya membawa bukti saat menggerudug rumah Pak Joko.Â
Bukan meminta bukti dan menginterogasi. Bagaimana aturan dapat ditegakkan jika karakter orang yang parkir sembarangan lalu mengalami kempes ban malah melaporkan si pemilik rumah yang mana depan rumahnya diparkiri sembarangan.Â
Pak Joko pun menanyakan siapa pemilik mobil itu, ternyata pemiliknya adalah pejabat tinggi negara, yang rumahnya selalu dijaga oleh pihak berwenang sektor setempat dan kondisi garasinya tidak mencukupi untuk parkir mobil, bahkan mobilnya luber ke jalan, meskipun jalan tersebut gang buntu.Â
Pak Joko adalah korban dari sekelompok orang yang ingin divalidasi status sosial dan jabatannya untuk mendapat permakluman dan meniadakan kesalahan.
Bagaikan landak menunjukkan durinya, dia yang salah parkir sembarangan, malah dia yang lapor ke pihak berwenang karena ban mobilnya kempes, minta maafpun tidak, tegur sapa karena telah parkir sembarangan pun tidak.Â
Ban mobil kempes bisa saja terjadi mengingat depan rumah Pak Joko banyak puing dan kayu kaso berpaku. Dan kapan kempesnya dan dimana, mengapa sangat yakin kempes di rumah Pak Joko.Â
Apapun itu aturan atau undang-undangnya. Beruntungnya Pak Joko mendapat pembelaan dari "malaikat tak bersayap", yang menurut Beliau, pejabat setinggi apapun, selama kejadiaannya berada dalam lingkungan warga artinya dia tetap menjadi warga." Malaikat tak bersayap yang ingin diberi apresiasi oleh Pak Joko pun menolak. Semoga malaikat tak bersayap ini selalu sehat dan diberkahi.
 Tak perlu kalimat "sebaiknya pejabat tinggi memberikan teladan" atau " janganlah menjilat kepada yang kaya dan pemilik jabatan", kembali lagi pada karakter atau watak individu masing-masing.Â
Karakter yang baik dimanapun, siapapun kita, apapun jabatan kita, apapun strata sosial kita dan latar pendidikan kita, seberapa kayapun kita, akan sangat menentukan dan berperan penting bagi masyarakat lain.Â
Aturan tidak dapat mengubah watak atau tabiat tidak terpuji orang lain. Namun dengan kesadaran diri akan mencerminkan karakter dan status pendidikan kita sebagai manusia berakhlak yang Tuhan ciptakan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H