Mohon tunggu...
Dr PrantiSayekti
Dr PrantiSayekti Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Negeri Malang

Saya adalah dosen dari Departemen Seni dan Desain pada Program Studi Desain Komunikasi Visual. Saya menyukai keilmuan terkait Desain Komunikasi Visual serta ilmu-ilmu sosial humaniora lainnya yang dalam implementasinya saya ekspresikan pada tulisan-tulisa/karya ilmiah terkait keilmuan tersebut

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengguncang Paradigma: Iklan Post Kolonial dan Perjuangan Identitas Budaya

6 Oktober 2024   13:52 Diperbarui: 8 Oktober 2024   07:05 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI Haiper pada tahun 2024. 

Dalam era globalisasi yang semakin cepat, iklan menjadi salah satu medium paling berpengaruh dalam menyampaikan pesan budaya. Namun, di balik visual dan narasi yang memikat, iklan sering kali memuat konflik identitas yang tidak terlihat. Terutama di negara-negara bekas jajahan, fenomena ini menjadi semakin rumit. Iklan postkolonial menjadi ruang pertarungan antara nilai-nilai lokal dan pengaruh budaya Barat yang mendominasi. Bagaimana sebuah iklan dapat mengguncang paradigma dan melibatkan perjuangan identitas budaya dalam masyarakat yang masih mencari jati dirinya setelah pengalaman kolonial?

Jejak Kolonial dalam Iklan Modern

Dalam iklan-iklan modern, jejak kolonial kerap hadir dalam bentuk visual atau pesan tersirat yang mengedepankan gaya hidup dan nilai-nilai Barat.

Misalnya, penggunaan model berpenampilan Barat, bahasa asing, atau produk-produk yang mencerminkan gaya hidup konsumerisme global menjadi contoh nyata bagaimana warisan kolonial tetap hidup.

Di sisi lain, masyarakat lokal sering kali diposisikan sebagai pengikut atau pengagum budaya asing, alih-alih menjadi pusat dari narasi budaya mereka sendiri.

Pengaruh ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang dominasi ekonomi dan budaya yang ditinggalkan oleh penjajahan. Masyarakat postkolonial sering kali terjebak dalam ambivalensi, antara menerima modernitas dan melestarikan identitas asli mereka. Iklan menjadi salah satu wacana yang memperkuat atau, dalam beberapa kasus, meruntuhkan narasi dominan tersebut.

Kontestasi Identitas Budaya

Iklan postkolonial di negara-negara berkembang menghadirkan medan pertempuran antara kekuatan budaya lokal dan global. Kontestasi ini tidak hanya berlangsung dalam visualisasi produk, tetapi juga dalam nilai-nilai yang diusung.

Beberapa iklan secara terang-terangan menampilkan estetika lokal, seperti pakaian tradisional, motif etnik, atau bahasa daerah, sebagai bentuk perlawanan terhadap homogenisasi budaya Barat (Sayekti, 2022).

Namun, kontestasi ini tidak selalu terjadi dalam bentuk yang mudah dikenali. Banyak iklan yang secara halus menggabungkan elemen-elemen lokal dan Barat untuk menciptakan bentuk hibriditas budaya.

Hibriditas ini mencerminkan bagaimana masyarakat postkolonial beradaptasi dengan kekuatan globalisasi, sambil tetap mempertahankan identitas mereka.

Contoh nyata dari strategi ini adalah iklan makanan atau minuman yang menggabungkan bahan lokal dengan teknik pemasaran dan presentasi ala Barat (Fanon, 1963).

Strategi Hibriditas dan Resistensi

Dalam iklan postkolonial, hibriditas sering kali muncul sebagai strategi resistensi terhadap hegemoni budaya. Dengan memadukan elemen-elemen Barat dan lokal, pengiklan menciptakan ruang untuk dialog budaya yang lebih setara (Bhabha, 1994). Misalnya, iklan produk kecantikan di Asia atau Afrika kerap memadukan standar kecantikan Barat dengan representasi lokal yang lebih inklusif, merayakan warna kulit dan fitur fisik khas masyarakat setempat.

Selain itu, beberapa pengiklan mengambil langkah lebih jauh dengan menciptakan narasi perlawanan yang menegaskan kembali identitas budaya lokal. Iklan-iklan ini, misalnya, mengangkat nilai-nilai kearifan lokal, sejarah perjuangan, atau kebanggaan atas warisan budaya (Spivak, 1988).

Dalam konteks ini, iklan berfungsi sebagai alat perjuangan identitas yang memperkuat ikatan emosional antara produk dan konsumen, sekaligus merespons tuntutan terhadap representasi yang lebih otentik.

Iklan sebagai Medium Kebangkitan Identitas

Meski iklan sering dikritik sebagai agen kapitalisme global yang memperlebar ketimpangan sosial, di era postkolonial, iklan juga memiliki potensi untuk menjadi medium kebangkitan identitas budaya (Hall, 1997). Melalui penggambaran yang lebih inklusif dan autentik, iklan dapat mendukung revitalisasi nilai-nilai lokal yang selama ini terpinggirkan.

Misalnya, kampanye iklan yang menonjolkan keindahan alam, kerajinan tangan, atau festival-festival tradisional dapat menghidupkan kembali kebanggaan budaya yang hilang (Said, 1978). Produk lokal yang dipromosikan dengan mengedepankan cerita dan makna budaya dapat mematahkan dominasi produk global yang tidak berakar pada konteks sosial setempat.

Tantangan Masa Depan

Meski demikian, perjalanan menuju iklan yang sepenuhnya mendukung identitas budaya lokal tidaklah mudah. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti tekanan dari perusahaan multinasional yang ingin mempertahankan gaya iklan seragam, atau resistensi dari masyarakat yang telah terpengaruh oleh narasi global selama bertahun-tahun (Ashcroft, Griffiths, & Tiffin, 1989).

Namun, harapan tetap ada. Semakin banyak perusahaan lokal yang berusaha memperkuat iklan dengan unsur-unsur budaya yang otentik, menolak homogenisasi global.

Generasi baru pengiklan dan konsumen di negara-negara postkolonial mulai sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan antara modernitas dan tradisi, menciptakan ruang bagi iklan yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun jati diri (Steger, 2003).

Kesimpulan

Iklan postkolonial menjadi medium penting dalam pergulatan identitas budaya, menawarkan peluang untuk mengguncang paradigma yang telah lama mendominasi. Melalui strategi hibriditas, perlawanan, dan kebangkitan identitas lokal, iklan dapat menjadi alat yang kuat untuk mengungkapkan kompleksitas budaya dalam era globalisasi.

Masa depan iklan di dunia postkolonial bergantung pada sejauh mana para pengiklan mampu memahami, merayakan, dan mempertahankan kekayaan budaya yang ada, sambil tetap beradaptasi dengan perubahan dunia modern.

Referensi

  • Ashcroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (1989). The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures. Routledge.
  • Bhabha, H. K. (1994). The Location of Culture. Routledge.
  • Fanon, F. (1963). The Wretched of the Earth. Grove Press.
  • Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. SAGE.
  • Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
  • Sayekti, P. (2022). Visual Branding and Cultural Identity: The Case of Laweyan Batik Labels. Journal of Cultural Studies.
  • Spivak, G. C. (1988). Can the Subaltern Speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the Interpretation of Culture (pp. 271-313). University of Illinois Press.
  • Steger, M. B. (2003). Globalization: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun