Mohon tunggu...
Dr PrantiSayekti
Dr PrantiSayekti Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Negeri Malang

Saya adalah dosen dari Departemen Seni dan Desain pada Program Studi Desain Komunikasi Visual. Saya menyukai keilmuan terkait Desain Komunikasi Visual serta ilmu-ilmu sosial humaniora lainnya yang dalam implementasinya saya ekspresikan pada tulisan-tulisa/karya ilmiah terkait keilmuan tersebut

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Simbolitas Unik Etiket Batik Laweyan

26 November 2023   23:18 Diperbarui: 26 November 2023   23:21 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 32.  Penggunaan ilustrasi wanita berkebaya dengan mengenakan mahkota pada visual branding etiket batik Laweyan sebelum tahun 1970-an. Dok. Sayekti (Foto: Sayekti, 2020)

Laweyan sebelum tahun 1970 memiliki beragam etiket batik unik yang menampilkan simbol-simbol bermakna. Dua contoh etiket batik Laweyan yang unik diantaranya wanita berkebaya dengan mengenakan mahkota dan tiga dara. Kita ketahui bahwa sejak tahun 1930an wanita Laweyan memegang peran utama dalam industri perbatikan, yang dikenal dengan sebutan Mbok Mase. Sosok mbok mase dengan kepiawaiannya terkait manajerial usaha di bidang perbatikan divisualisasikan dalam visual branding etiket batik dengan wujud seorang wanita berkebaya dan bersanggul serta memakai mahkota di kepalanya.

Tampilan visual branding etiket di atas menunjukkan ketidaklaziman dalam masyarakat pribumi di Surakarta. Wanita berkebaya menggunakan mahkota mirip milik Ratu Elizabeth yang dikenakan pada saat dirinya berusia 27 tahun di Istana Buckingham pada tahun 1953 (https://www.liputan6.com). Lihat kemiripan ilustrasi batik di atas dengan gambar berikut ini:

Gambar 33. Mahkota Girls of Great Britain and Ireland (Sumber: New Royal Day Discussion, 2016)
Gambar 33. Mahkota Girls of Great Britain and Ireland (Sumber: New Royal Day Discussion, 2016)
Perpaduan antara busana tradisional Jawa dengan mahkota (unsur budaya asing) merupakan interaksi dua budaya yakni antara budaya Timur dengan budaya Barat. Mahkota biasanya digunakan oleh para ratu/raja sebagai simbol kekuasaan suatu kerajaan tertentu. Interaksi antara dua budaya dalam wujud penggunaan atribut-atribut budaya tersebut nampaknya ditujukan untuk merepresentasikan peran besar wanita dalam suatu sistem sosial. Simbol sebagai perempuan yang memiliki peran besar dan memiliki kekuasaan besar serta akses yang luas dalam industri perbatikan diwujudkan sebagai ratu berkebaya.

Interaksi budaya antara Timur dengan Barat juga ditampilkan pada etiket batik Laweyan dengan menggunakan ilustrasi tiga perempuan yang mengenakan pakaian dengan karakter yang sangat berbeda (menunjukkan interaksi dua budaya yang berbeda). Etiket ini terinspirasi dari film “Tiga Dara”. Etiket menggunakan ilustrasi sosok tiga gadis dengan penampilan yang berbeda dan menggunakan nama judul film “Tiga Dara” sebagai nama brand. Bisa dimungkinkan hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan ketidakasingan masyarakat terhadap film tersebut sehingga hanya melalui ilustrasi dan nama tersebut masyarakat dapat dengan mudah mengenalnya karena menjadi trending topic pada masa tersebut (era 1950 – 1960).

Gambar 34.  Judul film “Tiga Dara” digunakan sebagai ilustrasi visual branding etiket batik Laweyan tahun 1950 – 1960. Dok. Sayekti (Foto: Sayekti, 2020)
Gambar 34.  Judul film “Tiga Dara” digunakan sebagai ilustrasi visual branding etiket batik Laweyan tahun 1950 – 1960. Dok. Sayekti (Foto: Sayekti, 2020)
Film “Tiga Dara” merupakan sebuah film musikal karya Usmar Ismail yang sedang trend pada tahun 1957. Film yang diproduksi pada tahun 1956 tersebut dibintangi oleh Chitra Dewi (sebagai Nunung berbusana kebaya) bersifat pendiam, Mieke Wijaya (sebagai Nana mengenakan busana gaya aktris film Hollywood tahun 1950-an) berkarakter centil dan menyukai pesta, sedangkan Indriati Iskak (sebagai Nenny berpakaian kasual gaya anak remaja yang eksperimental pada masa tersebut) bersifat bandel dan lincah. 

Film Tiga Dara terinspirasi dari film Amerika Serikat “Three Smart Girls” (1936) dan menjadi yang sangat populer.[1] Kepopuleran film tersebut hingga menembus perdagangan luar negeri. Pada tahun 1960 ditayangkan di Nugini Belanda (Irian Jaya) dan juga diekspor ke Malaya (Malaysia). Dalam acara ECAFE (Konferensi Economic Social Survey of Asia and Far East di Yogyakarta pada tanggal 30 Oktober 1957 film tersebut juga ditayangkan. Bahkan diputar pula di Istana dan disaksikan oleh Sukarno. Kesuksesan film ini di pasar mencapai keuntungan hingga Rp 10.000.000,00 dan memberikan keuntungan kepada Perfini sebesar Rp 3.000.000,00 (https://www.sisternet.co.id).

 Kepopuleran film yang melegenda tersebut dimanfaatkan oleh pengusaha batik Laweyan untuk dijadikan sebagai brand batik. Tindakan praktis yang dilakukan pengusaha batik tersebut merupakan strategi dagang untuk memperkenalkan produk dengan menggunakan suatu nama yang sedang menjadi trending topic dan sebagai legendaris film dengan tujuan ketika masyarakat mengingat sebuah film ternama maka secara diharapkan secara otomatis mengingat produk yang menggunakan nama tersebut.

Penulis: Pranti Sayekti

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun