Mohon tunggu...
YOAN NATALIA
YOAN NATALIA Mohon Tunggu... Dokter - General Practicioner

Penulis adalah seorang Dokter Umum lahir di Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mutu Kerinduan, Mutu Doa dan Mutu Matiraga menurut St. Montfort; dalam Pandangan Awam

13 Juni 2021   21:20 Diperbarui: 13 Juni 2021   21:26 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Santo Louis-Marie Grignion de Montfort (lahir 31 Januari 1673 – meninggal 28 April 1716 pada umur 43 tahun) adalah seorang imam dan santo Katolik dari Prancis. Ia lahir pada tanggal 31 Januari 1673 di sebuah kota kecil bernama Montfort-sur-Meu. Ia ditahbiskan menjadi imam pada bulan Juni 1700 dan meninggal dunia di Saint-Laurent-sur-Sèvre pada tanggal 28 April 1716. 

Ia dikenal sebagai seorang pengkhotbah di masanya dan sebagai seorang penulis yang buku-bukunya masih banyak dibaca hingga hari ini termasuk Buku Cinta Sang Kebijaksanaan Abadi, dimana saya akan mencoba mengulasnya dari sudut pandang seorang awam. St Montfort dianggap sebagai salah satu pendukung awal Mariologi seperti yang dikenal saat ini.

Latar belakang saya sebagai Tenaga Medis , tentu di dalam kehidupan duniawi ini, terutama dalam kehidupan pekerjaan , saya mengenal yang namanya "Mutu" yaitu Mutu Pelayanan Klinis (suatu indikator mutu pelayanan dengan definisi operasional yang jelas, ada target, sehingga pelayanan yang dimaksud menjadi bermutu dan sesuai standar, contoh : Indikator Mutu Unit Gawat Darurat (UGD) - Respon Time < 5 menit). Tak dinyana, dalam buku CKA ini (Cinta Sang Kebijaksanaan Abadi) ini juga membahas tentang Mutu. 

Mutu yang dimaksud adalah :

A. Mutu Kerinduan

     (CKA 182) Kerinduan akan Sang Kebijaksanan merupakan suatu karunia besar dari Allah.

      Kerinduan hanya ditujukan kepada Sang Kebijaksanaan , melepaskan dari cinta duniawi - kesia-siaan. Dalam pengalaman hidup doa, seringkali kita memohon agar diberikan hikmat bijaksana. Hikmat bijaksana menurut pandangan saya setelah membaca buku CKA ini tak lain dan tak bukan adalah Sang Kebijaksanaan itu sendiri. Dengan memahami sikap hidupNya, ajaran-ajaranNya, yang diterapkan dalam hidup dan berkehidupan, maka nyatalah hikmat bijaksana tersebut. Bagi saya, secara ajaib, dikenalkan dengan buku CKA ini, yang bicara tentang Kebijaksanaan Abadi, ke"bijaksana"an - tepat seperti yang dimohonkan dalam doa.

B. Mutu Doa

     Ada 3 indikator Mutu Doa

       (CKA 185) 1. Untuk memiliki Sang Kebijaksanaan, hendaklah kita memintanya, postulet.

            Kita meminta karunia ini dengan iman yang teguh, tanpa ragu ragu.

       (CKA 186) 2. Kita memohonnya dengan iman yang murni

       (CKA 188) 3. Kita memohon dengan tekun (memintanya siang dan malam, tanpa lelah, tanpa menjadi putus asa)

      Hal tentang mutu doa ini telah ada dalam tulisan saya terdahulu

C. Mutu Matiraga

     (CKA 194) Non reperitur Sapientia in terra suavitur viventium - "Kebijaksanaan tidak didapati di negeri orang hidup". Sang Kebijaksanaan , kata Roh Kudus, tidak ditemukan di antara manusia yang hidupnya santai, yang memenuhi apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya dan panca inderanya. "Karena mereka yang berjalan menurut keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah"

Ada 6 Indikator Mutu Matiraga

 (CKA 197) 1. Pertama-tama kita harus melepaskan secara nyata harta duniawi, seperti yang telah dilakukan oleh para rasul, para murid, kaum Kristen perdana dan kaum biarawan-biarawati. 

 (CKA 198) 2. Janganlah kita menyesuaikan diri dengan mode lahiriah dari orang-orang duniawi.

(CKA 199) 3. Kita tidak boleh mempercayai atau mengikuti patokan patokan dasar dunia.

(CKA 200) 4. Pertemuan pertemuan orang duniawi bersifat membinasakan dan membahayakan.

(CKA 201) 5. Melakukan matiraga terhadap tubuh, bukan hanya dengan menanggung dengan sabar penyakit-penyakit tubuh, buruknya cuaca dan kesulitan-kesulitan yang muncul karena perbuatan orang lain dalam hidup ini; tetapi juga dengan melakukan tindakan silih dan matiraga seperti puasa, jaga malam, dan aneka bentuk tapa lain.

(CKA 202) 6. Supaya matiraga lahiriah dan sukarela ini berguna, kita perlu tentu saja, menggabungkannya dengan matiraga dalam berpendapat dan berkehendak melalui ketaatan suci.

Ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan (kalimat terakhir di CKA 197). 

Maka mengenai matiraga, saya akan membahas sedikit tentang matiraga yang ke 5, khususnya dalam hal puasa. Menurut hemat saya , matiraga juga telah diatur oleh Gereja Katolik tentang hal puasa dan pantang saat masa prapaskah. Yaitu puasa makan kenyang satu kali  dan pantang pada Rabu Abu dan setiap Jumat sampai dengan Jumat Agung. Hal lain tentang arti matiraga nomor 5 dalam arti sempit, namun dapat menjadi sungguh berarti adalah matiraga seperti halnya puasa,  dapat dilakukan pada kondisi tertentu yang dipilih, contoh saat sedang melakukan pekerjaan dengan beban berat, dan hasilnya adalah dikuatkan untuk menerima apapun hasilnya atau seberat apapun keadaan, kita pun dimampukan olehNya, Sang Kebijaksanaan. Maka matiraga dalam skala apapun, perlu dilakukan agar mata batin kita boleh terbuka , tidak saja indra yang terbuka.

yoancka-60c612108ede4846a5076442.jpg
yoancka-60c612108ede4846a5076442.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun