Mohon tunggu...
Vincentius Simeon Weo
Vincentius Simeon Weo Mohon Tunggu... Dokter - Sekedar ingin menulis dari lubuk hati.

Seseorang yang ingin mengurangi penderitaan dan memperpanjang usia sesama manusia...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pelaku Bom Boston Dihukum Mati, Kenapa Tidak Protes?

18 Mei 2015   10:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa hukuman mati terhadap pelaku bom Boston dapat diterima (walaupun belum tentu setuju) oleh banyak kalangan (termasuk tidak ada protes dari PBB dkk)?

Singkatnya, hukuman tersebut sudah memenuhi ambang batas kejahatan yang paling serius atau "most serious crime" dalam konvensi Hak Sipil dan Politik PBB 1976 yang juga sudah diratifikasi Indonesia dalam UU HAM nomor 39 tahun 1999.

Apa sebenarnya ambang batas kejahatan yang paling serius? Belum ada perilisan resmi dari NKRI mengenai definisi ini, tetapi jika kita tinjau melalui referensi internasional, kejahatan paling serius adalah tindakan atau perbuatan yang telah terjadi atau sedang terjadi secara langsung  dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa manusia. Hal ini tertuang dalam ECOSOC Resolution 1984/50, yang berbunyi “the scope of death penalty should not go beyond intentional crimes with lethal or other extremely grave consequences”.

Batasan tersebut penting untuk dapat membatasi penyalahgunaan hukuman mati, seperti halnya perlakuan terhadap kelompok homoseksual ataupun transgender. Disamping itu, terdapat beberapa hal lain yang tidak memenuhi ambang batas kejahatan paling serius, yaitu pelanggaran terhadap kode militer (termasuk pembelotan dan sabotase), kejahatan lain yang menyebabkan kematian tetapi bukan bertujuan untuk membunuh, dan kejahatan narkoba semata.

Hukuman mati terhadap kejahatan narkoba semata yang terjadi di Indonesia memiliki ketimpangan yang cukup berat terhadap ambang batas kejahatan yang paling serius. Ketimpangan tersebut terjadi karena tidak ada pembuktian dalam pengadilan mengenai hubungan antara korban meninggal akibat narkoba dan pelaku pengedar narkoba. Hal ini tidak disebutkan dalam UU Narkotika. Jika hubungan tersebut dapat ditegakkan secara fair dan adil, maka hukuman yang diberikan mungkin dapat diterima secara lebih luas. Oleh sebab itu, membawa jumlah korban ke dalam perdebatan mengenai hukuman mati di Indonesia tidak menjadi hal yang relevan karena tidak dibuktikan dalam pengadilan.

Lebih jauh ke dalam UU Narkotika, undang-undang ini merupakan hasil ratifikasi dari konvensi Narkotika PBB tahun 1961. Jika kita membedah isi dari konvensi tersebut, maka tidak ada satu bagianpun yang menyarankan hukuman mati sebagai bagian dari strategi untuk memberantas narkoba. Masalah narkoba adalah kejahatan yang serius tetapi bukan kejahatan yang paling serius. Hal ini juga sudah dituliskan oleh Badan PBB untuk Masalah Narkoba (UNODC) dalam penjelasannya mengenai tujuan dan isi konvensi narkotika tersebut.

Saya pribadi tidak setuju dengan hukuman mati, terutama karena hal tersebut bukan hal yang bersifat rehabilitatif dan lebih bermotif balas dendam. Walaupun demikian, jika motif hukuman adalah balas dendam, bukankah pelaku bom tersebut mencapai tujuannya dengan hukuman mati? Dengan hukuman seumur hidup, ada kesempatan untuk berubah dan memperbaiki hidupnya.

Perlu dicatat, penolakan terhadap hukuman mati bukan berarti menganggap enteng permasalahan tersebut apalagi membela tindakan kriminal yang telah dilakukan terdakwa. Hal ini semata berdasarkan prinsip nilai kemanusiaan dan profesi saya sebagai dokter yang memiliki filosofi dasar "memperpanjang umur dan mengurangi penderitaan manusia".

"an eye for an eye makes the world blind" Gandhi

Bacaan lebih lanjut:

Drug Policy Provisions from The International Drug Control Conventions pdf.

Convention 1961 pdf

Most Serious Crimes Final pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun