Dokter Agoesdjam (Agusjam) adalah mertua dari Prof. dr. Soeharso, pahlawan nasional yang berjasa mendirikan Pusat Rehabilitasi Profesor Dokter Suharso, serta teman dari dr. Soetomo, tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia (Tim Museum Kebangkitan Nasional, 2018) . Dokter Agusjam lahir dari kalangan bangsawan pada tanggal 28 Januari 1888 di Pacitan (saat itu Karesidenan Madiun). Ayahnya bernama Raden Atmowidjojo dan menurut silsilah keluarganya masih keturunan dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (nama lahir Raden Mas Said) atau dikenal dengan julukan Pangeran Samber Nyawa, dari Keraton Mangkunegaran (Solo/Surakarta).
Dokter Agoesdjam diterima di STOVIA pada tahun 1903 pada usia 15 tahun, memulai pendidikan dan tinggal di asrama STOVIA dengan pelajar dari berbagai suku, bangsa, agama dan derajat sosial keluarga. Pendidikan di STOVIA kala itu selama 9 tahun yang yang tebagi menjadi 2 tahun perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokteran (R. Tjahjo Peornomo, 2014). Kehidupan di asrama STOVIA selama 9 tahun yang penuh suka dan duka menumbuhkan rasa persaudaraan di antara sesama pelajar. Rasa persaudaraan inilah yang kemudian berkembang menjadi kesadaran bersama sebagai satu bangsa. Hal yang menarik adalah 5 dari 16 teman seangkatannya menjadi tokoh pendiri Boedi Oetomo antara lain dr. Soetomo (pahlawan nasional), dr. Soeradji Tirtonegoro (nama RS di Klaten), dr. Gunawan Mangunkusumo (adiknya Cipto Mangunkusumo/RSCM). Selain itu, terdapat pula teman seangkatannya dari Ambon yang menjadi pahlawan pejuang kemerdekaan yakni Prof. dr. Jonas Andreas Latumenten (nama RS TNI AD di Ambon) (R. Tjahjo Peornomo, 2014; Mayasari Sekarlaranti, dkk, 2014).Â
Tugas dan pekerjaan pertama sebagai dokter adalah di CBZ Semarang. Setelah bekerja 6 bulan di tempat, beliau pindah ke Rumah Sakit Lepra di Plantungan, Jawa Tengah. Pada tahun 1914 beliau menikah dengan R.A. Sujarah dari Magelang. Sebagai penganten baru, almarhum membawa istrinya ke Plantungan untuk memulai tugas baru yang berat tetapi mulia. Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang beliau merawat para pemderita kusta dan meringankan penderitaan mereka yang telah dilupakan dan dijauhi masyarakat. Beliau bekerja di RS Plentungan selama 1 tahun sampai tahun 1915 (Naskah RSUD dr. Agoesdjam, 1968).
Karena pengalamannya di Plantungan, beliau ditugaskan untuk 7 bulan ke Singkawang dan Sambas (Kalimantan Barat) dan mendapat tugas khusus memberantas penyakit lepra (kusta). Dalam rangka ini almarhum terus menerus mengadakan turne ke daerah pedalaman Kalimantan Barat, yaitu ke kampung Dayak di mana terdapat banyak penderita kusta. Untuk mencapai tujuannya, dr. Agoesdjam sering harus berjalan kaki berhari-hari atau naik perahu (Naskah RSUD dr. Agoesdjam, 1968).
Setelah tugas selesai, dr. Agoesdjam dipindah ke Ngawi dan tinggal di kota tersebut dari tahun 1916 - 1921. Selama di Ngawi, beliau memperdalam pengetahuan di bidang mata di bawah pimpinan Dr. Gerritaen sampai menjadi oogspecialist (ahli/spesialis mata). Pada tahun 1921, dokter Agoesdjam dipindahkan ke Pontianak sebagai dokter ahli mata yang bekerja sebagai Gouvernements Indisch Arts (Dokter Pemerintahan Hindia Belanda) (Naskah RSUD dr. Agoesdjam, 1968). Berdasarkan tulisan putrinya yakni Djohar Insiyah, bahwa ayahnya pada waktu-waktu tertentu berkeliling mengunjungi daerah pedalaman Kalimantan Barat dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter ahli mata. Putri juga sering ikut ayahnya ini bertugas naik kapal uap ke Sanggau, Tayan, Sintang, Ngabang, Teluk Air, dan perkampungan-perkampungan Dayak. Rumah dr. Agoesdjam di Pontianak dekat dengan pelabuhan dan sering menjadi tempat persinggahan para pegawai dari Jawa termasuk dokter dan guru. Salah satu tamunya yakni dr. Suharso, seorang ahli Bedah lulusan NIAS Surabaya yang ditugaskan di Rumah Sakit Ketapang (Naskah RSUD dr. Agoesdjam, 1968; Sutjiatiningsih, 1983).
Pada tanggal 7 September 1941, dokter Agoesdjam menikahkan putrinya yakni Djohar Insiyah dengan dokter Suharso, yang kelak menjadi Pahlawan Nasional dan namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Prof. Dr. R. Suharso di Solo, Jawa Tengah. Setelah menikah, putrinya pun ikut dr. Suharso di Ketapang. Beberapa bulan kemudian terjadi Perang Asia Timur Raya sebagai rentatan dari Perang Dunia kedua dan pada tanggal 19 Desember 1941 kota Pontianak diserang oleh pesawat udara Jepang. Kalimantan Barat pun jatuh ke tangan Penjajah Jepang (Sutjiatiningsih, 1983).
Pada tahun 1943, dokter Agusjam meninggalkan keluarganya di Pontianak dan berangkat ke Ketapang untuk menggantikan kedudukan menantunya yakni dr. Soeharso (dr. Suharso) yang pergi cuti ke Jawa. Pada suatu hari beliau kedatangan tamu yakni, teman-teman lamanya yang datang dengan sebuah perahu layar dari Jawa. Diperkirakan teman-temannya ini adalah para pejuang pergerakan kemerdekaan. Keramahtamahan beliau menerima tamu-tamu ini harus dibayar mahal. Sebab setelah teman-temannya berangkat, beliau dipanggil Kenpeitai-oho (Satuan Polisi Militer Jepang) dan tidak pernah kembali lagi ke rumah. Beliau didakwa ikut membantu gerakan subversi melawan balatentara dan Pemerintahan Dai Nippon (Penjajah Jepang) (Naskah RSUD dr. Agoesdjam, 1968).Â
Tidak ada catatan pastinya ke mana beliau dibawa oleh Penjajah Jepang. Dalam buku "Monumen Perjuangan Daerah Kalimantan Barat" dijelaskan bahwa pada zaman Penjajahan Jepang, tiap malam hari dilakukan penangkapan terhadap orang-orang yang kemudian diangkut dengan truk keluar kota (Lindsey, T, 2005). Kepala mereka diselubungi dengan kain hitam atau dalam istilah daerah disebut sungkup, disungkup dan kemudian dibunuh (Djamhari, SA, 1987). Â Pembunuhan dilakukan di beberapa tempat antara lain di Mandor, Sungai Durian, Pontianak dan Ketapang. Pembunuhan besar-besaran terjadi pada tanggal 28 Juni 1944. Beliau pun menjadi korban kekejaman Jepang antara tahun 1943-1944 bersama-sama ribuan penduduk Kalimantan Barat dari berbagai profesi mulai dari dokter, pengacara, jurnalis,guru, cendekiawan, pemimpin politik sampai pengusaha beserta keluarganya serta berbagai suku dan etnis antara lain Melayu, Dayak, Tionghoa, Jawa, Batak, dan Madura (Lindsey, T, 2005; Barbara Crossette, 1987). Akibat kekejaman Jepang pada tahun 1943-1944, Kalimantan Barat kehilangan satu generasi emasnya. Adik kandung nenek penulis juga menjadi salah satu korban penjajahan Jepang antara tahun 1943-1944 yang namanya (Tan A Tjui) tertulis dalam Makam Juang Korban Pembunuhan Jepang di Ketapang, Kalimantan Barat (Liem, SY, 2021).
Untuk mengingat jasa dokter Agoesdjam, maka namanya diabadikan sebagai nama RSUD di Ketapang. RSUD dr. Agoesdjam mendapatkan izin penetapan pendirian nomor: 44/1164/KESRA, tanggal 16 Juli 1984. Rumah Sakit Daerah Ketapang sebelumnya berada di Jalan Dokter Sutomo No.65, dekat Simpang Lima Ketapang. Terkait Simpang Lima, warga Ketapang tentu tahu nama jalannya di sekitarnya, namun belum banyak yang menyadari bahwa 3 dari 5 nama jalan di Simpang Lima adalah nama dokter yakni dr. Sutomo (temannya dr. Agusjam), dr. Suharso (menantu dr. Agusjam), dan dr. Setia Budi (pahlawan nasional). Maka tanggal 16 Juli diperingati sebagai hari ulang tahun RSUD dr. Agoesdjam. Sedangkan tanggal lahir sosok dokter Agoesdjam adalah 28 Januari (1888).
Selama 39 tahun RSUD dr. Agoesdjam berdiri, telah tercatat 15 orang yang pernah menjabat menjadi Direktur atau Kepala RSUD dr. Agoesdjam seperti yang tertera pada tabel di bawah ini:
Demikianlah riwayat hidup dr. Agoesdjam, teman dr. Soetomo dan riwayat singkat RSUD dr. Agoesdjam. Â Semoga kita generasi penerus bangsa senantiasa mengingat jasa dr. Agoesdjam dan para pendahulu kita yang telah berjuang demi bangsa dan negara serta kemajuan RSUD dr. Agoesdjam. Mari kita lanjutkan perjuangan para pendahulu kita ini.
Selamat Hari Ulang Tahun RSUD dr. Agoesdjam ke-39. Salam Paripurna!
Ketapang, 16 Juli 2023
dr.Simon Yosonegoro Liem, Sp.MK
Dokter Spesialis Mikrobiologi di RSUD dr. Agoesdjam
Lahir dan besar di Ketapang. Pernah diselamatkan nyawanya di RSUD dr. Agoesdjam
Referensi:
Tim Museum Kebangkitan Nasional, 2018, Buku Panduan Museum Kebangkitan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktoral Jenderal Kebudayaan Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta.
R. Tjahjo Peornomo, 2014, "Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926", Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Mayasari Sekarlaranti, Ananda Feria Moersid dan Agus Saryadi, 2014, "9 Tokoh Pendiri Boedi Oetomo", Museum Kebangkitan Nasional berkerja sama dengan Paguyuban Pengemban dan Penerus Cita-cita Boedi Oetomo, Jakarta, 2014.
Naskah RSUD dr. Agoesdjam, 1968, Dokter R. Agoesdjam, Dokumen Manajemen RSUD dr.Agoesdjam, Ketapang.
Sutjiatiningsih, 1983, Ny. Djohar Insiyah Suharso, Hasil Karya dan Pengabdiannya, Jakarta.
Lindsey, T., Pausacker, H., 2005, Chinese Indonesians: remembering, distorting, forgetting, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.
Djamhari, S.A, Soemardi, S. Buraidah A, dan Soenarno, 1987, Monumen Perjuangan Daerah Kalimantan Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejara dan Nilai Budaya, Jakarta.
Barbara Crossette, 1987, The Mystery in Borneo at 'The Massacre Place', The New York Times, New York.
Liem, SY. Agoesdjam, Dokter yang Terlupakan dalam Sejarah Perjuangan. Dalam "Riwajat", Majalah Sejarah Pertama di Kalimantan Barat, Edisi 2, Agustus 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H