Pandangan mata saya selalu tertuju pada baliho besar yang terpampang di area strategis pada setiap kali mobil saya berhenti di perempatan bangjo ( lampu merah) di suatu sudut di kota Yogya. Baliho itu berisi promosi kependudukan dengan slogan, “Dua anak lebih baik”. Slogan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) ini menggelitik benak saya dan memicu keusilan hingga menerbitkan plesetan yang saya simpan sampai saat saya menuliskan opini ini. Mumpung BKKBN sedang punya hajat besar dalam momentum Hari Keluarga Nasional (Harganas) XXII, saya ingin berbagi keusilan saya. Ah, kok plesetan sih, hari gini lebih keren disebut meme (baca : mim) saja. Slogan BKKBN tersebut bisa saya pelintir menjadi, “Dua anak lebih, (itu) baik”, jadi memiliki lebih dari dua orang anak itu hal yang baik dan menjadi anjuran BKKBN. Begitu?
Kita ketahui bersama BKKBN bertugas dalam pengendalian penduduk dan keluarga berencana, tentunya jumlah anak yang dianjurkan bukan lebih dari dua orang. Maaf, terus terang saya pikir slogan itu tidak tegas menetapkan batasan jumlah anak yang dianjurkan oleh badan kependudukan tersebut. Berkaca pada kekinian, zaman sekarang adalah era yang trend dengan pemelintiran kalimat demi mencapai keuntungan pribadi atau golongan, sehingga iklim damai sejahtera sentausa bisa berubah menjadi gersang sengsara nestapa. Kongkritnya, bagi warga masyarakat yang ingin memiliki lebih dari dua anak, ia akan berpikir bahwa slogan ini tak membatasi dan menghalangi keinginannya, dan keabu-abuan slogan ini dapat dianggap sebagai hal yang menguntungkan. Dari pembicaraan tentang slogan saja kita dapat merembet ke hal-hal tentang mentalitas bangsa (baca: saya) yang mengambil keuntungan dari suatu kalimat yang tidak tegas. Hal seperti ini contoh karakter buram yang tak perlu diwariskan bagi generasi penerus bangsa, yang idealnya memiliki karakter mental yang luhur yang mencirikan identitas asli bangsa Indonesia. Jadi, saya akui, saya sendiri telah ikut arus yang tak patut diteladani. Setidaknya saya jujur mengakuinya.
[caption caption="sumber gambar : beritasatu.com"][/caption]
Berkilas balik pada zaman Orde Baru, slogan BKKBN waktu itu adalah “Dua Anak Cukup”. Tak dipungkiri puluhan tahun Orde Baru berkibar, menyisakan berbagai kepahitan nasional, namun tak perlu malu kita akui bahwa slogan BKKBN pada masa itu cukup singkat, jelas dan pas dalam menggerakkan rakyat untuk mendukung Gerakan Keluarga Berencana (KB). Target gerakan ini adalah menekan lonjakan jumlah penduduk yang pada saat itu menjadi faktor yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dari suatu bangsa yang sedang tertatih melangkah menuju kesejahteraan. Kata “cukup” lebih cenderung berfokus pada apa yang sudah kita miliki dan tidak mengejar apa yang belum kita peroleh. Ketika berfokus pada apa yang sudah dimiliki, pendidikan karakter dan watak anak menjadi lebih penting dibanding kebanggaan memiliki banyak anak. Kebanggaan berkeluarga bukan sekedar persoalan jumlah anak, bukan juga masalah kuantitas materi. Seperti visi yang dicanangkannya, saya yakin BKKBN bukan saja ingin sekedar mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang, tetapi juga mengedepankan pencapaian kebangsaan yang bermutu. Untuk mencapai ini tentu dimulai dari membangun keluarga yang berkualitas.
Keluarga yang berkualitas tentu tak lepas dari intensitas orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Dan secara logika mengurus anak berjumlah banyak tentu akan lebih rumit dibanding dua anak. Berbagai faktor akan terlibat baik ekonomi, budaya, mental spiritual, dan idiologi orang tua. Duet peran antara ayah dan ibu saja tidak cukup untuk membesarkan seorang anak yang berkualitas. Apalagi dalam jumlah banyak. Diperlukan komitmen diri dalam menjalankan strategi berkeluarga yang terencana. Keluarga menjadi suatu media dimana orang tua berperan bak petani yang menyemaikan bibit unggul, memeliharanya untuk berakar kuat, bertumbuh subur dan menghasilkan buah-buah yang bermanfaat bagi lingkungan terdekat. Keluarga yang baik sangat berpotensi membentuk watak lingkungan. Bangsa yang unggul akan terbangun oleh lingkungan yang berwargakan pribadi-pribadi dengan karakter yang terpuji dan teruji.
Orang Tua yang Jujur
Tak perlu ditanya, semua tahu bahwa orang tua adalah role model bagi anak-anaknya, menjadi teladan yang bisa diikuti oleh anak-anak mereka. Tapi nanti dulu. Menjadi role model bukan sekadar omong doang. Bukan sekedar memberikan tutur maupun perbuatan yang baik di hadapan anak-anak tetapi mesti berani menyatakan keaslian diri sesungguhnya. Orang tua yang jujur terlebih dulu dibutuhkan sebelum memberikan teladan bagi anak. Karena menjadi role model tanpa kejujuran adalah pekerjaan sia-sia dan kasarnya menjadikan orang tua sebagai pribadi yang munafik. Bagaimana tidak, orang tua memberi pengertian tentang hal-hal yang baik dan yang buruk dan menganjurkan anak berbuat baik, tetapi sepak terjangnya di sosial media sungguh membuat pembaca mengelus dada. Menghujat pemimpin negara sendiri, merundung orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan hati, tetapi menyuruh anak menjadi pribadi yang sholeh dan sholehah yang taat beribadah dan patuh kepada orang tua, sang pemimpin keluarga.
Menjadi orang tua berpribadi jujur berarti membiasakan anak memandangnya sebagai sosok yang asli. Keaslian di sini bukan berarti pembiaran terhadap kejelekan dan kelemahan diri. Orang tua adalah pribadi yang dewasa, seperti halnya syarat menjadi orang tua yang ideal menurut BKKBN, adalah pada periode dewasa matang dengan golden period usia 21-35 tahun. Dan orang yang mengaku dewasa mestinya fasih membedakan mana yang baik dan yang buruk. Seorang ibu memodifikasi perannya menjadi wanita pekerja keras membantu menambah nafkah dan mengejar karir demi mewujudkan kesejahteraan keluarga tetapi melupakan suami sebagai imam keluarga dengan sepak terjang selingkuh dengan teman sekantor atau pimpinan di instansinya. Atau menjadi penulis yang giat menyuarakan keprihatinan terhadap masalah negara dengan berbagai kritikan terhadap pemerintahan tetapi setiap hari merusak jiwa dan raganya dengan menghirup narkotika.