F sendiri merasa bahwa perasaan takutnya sangat mengganggu kehidupannya sehari-hari maka mau tidak mau, walaupun ia sendiri sebetulnya enggan untuk berobat karena malu, akhirnya ia pergi juga untuk mencari pertolongan.
Jadi pada sesi awal, saya berfokus dalam menangani gejala cemas berlebih karena fobia F dengan obat anti depresan dan anti cemas. Serta saya meminta F melakukan terapi kognitif perilaku sederhana yaitu F harus membuat daftar benda-benda yang membangkitkan fobia dalam dirinya kemudian mulai berlatih melakukan relaksasi sambil membayangkan benda-benda ini dan dimulai dari benda yang paling mampu ia hadapi. Saya minta ia kontrol satu minggu kemudian.
Setelah satu minggu kemudian, F kembali ke ruang praktik saya masih bersama ayahnya. Ia merasa sudah ada perbaikan. Kecemasannya mulai berkurang ketika membayangkan benda tajam namun ia merasa belum mampu memegang benda tajam.Â
Dosis obat anti cemas saya turunkan setengahnya sambil melanjutkan obat anti depresan dan saya minta ia tetap berlatih dan saya menyarankan ia untuk latihan memegang benda-benda tersebut. Saya minta ia kontrol kembali dalam satu bulan.
Satu bulan kemudian ia masih kontrol ditemani ayahnya, kondisi F semakin perbaikan, ia sudah mampu memegang beberapa benda yang tadinya tidak mampu lagi ia sentuh seperti sumpit, pulpen, atau pensil. Jadi saya kemudian menghentikan obat anti cemasnya namun masih mempertahankan obat anti depresan dan tetap meminta F untuk melakukan latihan. Saya meminta F untuk kontrol kembali satu bulan kemudian.
Baru-baru ini saya kembali bertemu F di ruang praktik saya. Kali ini ia datang sendirian tanpa ditemani ayahnya. Wajahnya tampak sumringah dan ia mengatakan pada saya bahwa kondisinya sudah jauh perbaikan. Ia bahkan sudah dapat memegang pisau dan memasak kembali. Kebetulan ia hobi masak.Â
Pada pertemuan kali ini, ia menceritakan pada saya dalam pemeriksaan bahwa bagaimana dalam satu tahun terakhir hidupnya sebetulnya penuh tekanan. Rupanya ia sudah lulus kuliah selama setahun terakhir dan setiap kali melamar kerja ia menerima kegagalan dan penolakan. Ia berada dalam kondisi putus asa dan merasa gagal.
Hari ketika fobianya mulai muncul adalah hari ketika ia menerima interview kerja dan malam harinya ia menerima email pemberitahuan bahwa ia gagal dalam interview tersebut. Akhirnya saya mendapatkan sumber kecemasan F yang sebenarnya.Â
Saya masih meneruskan terapi anti depresan pada F dengan rencana dalam 3 bulan ke depan obat ini akan distop total. Saya meminta ia terus tetap melakukan latihan relaksasi, mengatur pola tidur dan makannya, serta latihan untuk menyetop pikirannya yang sering over thinking.
Demikianlah sedikit kisah tentang fobia yang dapat saya bagikan. Sebagian besar orang yang mengalami kondisi ini tidak merasa perlu mencari pertolongan karena ketika fobia sifatnya spesifik pada suatu benda tertentu saja, biasanya seseorang masih dapat mencoba melakukan penghindaran terhadap benda tersebut untuk menghilangkan kecemasan.Â
Seseorang dengan fobia baru mencari pertolongan umumnya ketika merasa fobianya menimbulkan masalah dalam hidupnya sehari-hari, seperti F ini misalnya.