Mohon tunggu...
Decky Ferdiansyah
Decky Ferdiansyah Mohon Tunggu... -

Seorang suami dan ayah dari 4 orang anak, sedang belajar menulis..

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Vaksin Palsu, Salah Siapa?

30 Juli 2016   13:38 Diperbarui: 30 Juli 2016   13:52 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sungguh menarik tema diskusi yang diusung oleh tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) edisi Selasa 19 Juli 2016 di stasiun televisi Tv One, yaitu “vaksin palsu, bagaimana dengan obat?”. Kasus penemuan vaksin palsu oleh Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI (Bareskrim Mabes Polri) telah membuka tabir yang bertahun-tahun tertutup. Betapa tidak, praktek pembuatan, pendistribusian dan penggunaan vaksin palsu oleh oknum-oknum tenaga kesehatan telah dilakukan secara massif, rapi dan bertahan lama. Dari penyelidikan awal oleh pihak Bareskrim Mabes Polri, terungkap bahwa praktek haram ini telah berjalan sejak tahun 2003 sampai sekarang. Artinya selama kurun waktu tersebut, sudah ribuan vaksin palsu dibuat, diedarkan dan digunakan disarana-sarana pelayanan kesehatan. Sungguh ini merupakan tragedi kemanusiaan. Apalagi yang menjadi korban adalah bayi-bayi  dan anak-anak yang kelak akan menjadi pewaris bangsa besar ini. Bagaimana nasib bangsa ini kedepan ada dipundak mereka. Merekalah aset terbesar bangsa ini.

Jika kita menelisik lebih lanjut tentang regulasi obat dan vaksin, maka sebenarnya ada banyak sekali regulasi dan prosedur yang sangat ketat terkait hal tersebut. Leading sector pemerintah adalah Kementerian Kesehatan sebagai regulator dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) sebagai operator. Ada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan lain sebagainya. Selain itu masih terdapat banyak regulasi setingkat Peraturan Pemerintah (PP),  Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dan juga Peraturan Kepala Badan POM. Hal ini diatur agar obat dan vaksin yang digunakan untuk pelayanan kesehatan dapat terjamin ketersediaaan, keamanan dan mutunya demi mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Maka yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kasus vaksin palsu ini masih terjadi dan dalam jangka waktu yang sangat lama? Siapakah yang salah? Apa solusi kedepannya agar hal seperti ini tidak terjadi lagi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar timbul ditengah-tengah masyarakat. Apalagi masyarakatlah yang menjadi korban dari kejadian ini semua. Yang lebih menyedihkan, korban secara langsung menimpa bayi-bayi dan anak-anak. Sungguh sepertinya sudah habis bahasa untuk mengungkapkan keprihatinan atas tragedi ini. Dimana peran negara selama ini?

Dalam diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) edisi Selasa 19 Juli 2016 di stasiun televisi Tv One, terungkap paparan Kementerian Kesehatan RI dan Badan POM RI bahwa terdapat dua jalur produksi dan distribusi peredaran obat dan vaksin, yaitu jalur distribusi legal dan jalur distribusi ilegal. Jalur distribusi legal melibatkan produsen/pabrik pembuat vaksin, distributor  yang berbadan hukum dan berizin resmi yaitu Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan pengguna yaitu rumah sakit, klinik, dan apotek. Pada jalur ini tidak ditemukan adanya vaksin palsu. Yang menjadi masalah adalah produksi dan distribusi vaksin palsu pada jalur ilegal. Karena ilegal, maka tidak ada data resmi yang dapat menjadi pegangan. 

Aspek produksi vaksin palsu pada jalur ini dilakukan secara sembarangan dan tidak mengikuti aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Bagaimana mungkin vaksin yang langsung disuntikkan ke tubuh bayi dan anak-anak dibuat dalam skala produksi rumah tangga, menggunakan fasilitas seadanya dan dilakukan oleh tenaga yang tidak berwenang dan berkompeten untuk hal itu. Apalagi wadah-wadah vaksin yang digunakan adalah wadah sisa limbah dari vaksin yang berasal dari rumah sakit - rumah sakit swasta. Terungkap bahwa kandungan yang ada dalam vaksin palsu tersebut sangat berbeda dengan yang tertera pada kemasannya. 

Selain diproduksi secara sembarangan, vaksin-vaksin palsu tersebut diedarkan juga melalui jalur ilegal dan penanganan selama distribusipun dilakukan tidak tepat. Padahal distribusi vaksin harus memenuhi aturan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Rantai dingin (cold chain) harus selalu dijaga sesuai dengan suhunya. Hal ini untuk tetap menjaga keamanan dan kualitas vaksin itu sendiri. Maka sekalipun masa kadaluarsanya masih panjang, vaksin yang tidak dijaga rantai dinginnya akan mudah sekali rusak. Ada indikator tertentu yang bisa dilihat pada kemasannya bila suatu vaksin telah rusak. Vaksin rusak seperti ini sekalipun diproduksi dengan benar, tidak dapat digunakan lagi untuk pelayanan kesehatan.

Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dipenjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan itu adalah tenaga kefarmasian. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (asisten apoteker). Tenaga kefarmasianlah yang diberi kewenangan oleh regulasi dalam hal produksi, distribusi dan pengadaan obat dan vaksin.

Pengalaman penulis sebagai apoteker ketika mengunjungi fasilitas pabrik obat dan vaksin, maka akan ditemukan banyak sekali aspek-aspek CPOB yang sangat ketat, dilakukan oleh tenaga-tenaga yang kompeten dan diawasi oleh Badan POM. Hal ini dilakukan untuk memastikan kualitas (quality assurance) produk obat dan vaksin yang dibuat. Penanggungjawab quality assurance dipabrik obat haruslah seorang apoteker. Hal ini selain  sesuai dengan regulasi yang ada, juga dikarenakan bahwa apotekerlah yang berkompeten dalam hal tersebut. Seorang apoteker dididik dan dilatih untuk memastikan bahwa produk obat dan vaksin yang dibuat harus aman dan berkualitas. Karena produk-produk tersebut langsung dimasukkan kedalam tubuh manusia untuk kepentingan pengobatan. Jika tidak dilakukan oleh tenaga yang tidak berkompeten, maka obat dan vaksin tidak akan aman dan berkualitas dan dapat mengancam keselamatan jiwa orang yang menggunakannya.

Pada fase distribusi obat dan vaksin juga harus diisi seorang apoteker sebagai penanggungjawab. Ketika sebuah produk obat dan vaksin diproduksi dengan aspek CPOB yang ketat, maka perlakuan yang sama harus diterapkan ketika obat dan vaksin melewati fase distribusi yaitu dengan menerapkan aspek CDOB yang ketat. Maka distributor resmi yang boleh mengedarkan vaksin ini harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat. Fasilitas distribusi dan penyimpanan yang dimiliki harus terlebih dahulu diperiksa oleh Kesehatan Kesehatan dan Badan POM sebelum mereka mendapatkan izin pendistribusian. Dan untuk memastikan aspek ini terpenuhi adalah seorang apoteker yang diberi kewengan untuk itu. Maka tepatlah peran apoteker sebagai penanggungjawab sebuah distributor obat.

Menjadi benarlah apa yang diungkap oleh Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nurul Falah Eddy Pariang dalam tayangan diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) tersebut. Bahwa jikalau dari aspek produksi, distribusi dan pengadaan obat dan vaksin di sarana-sarana kesehatan dilakukan oleh apoteker, maka tidak akan ditemukan obat dan vaksin palsu. Mengapa ditemukannya kasus vaksin palsu ini? Karena pengelolaannya tidak dilakukan oleh apoteker. Ditambah lagi dengan adanya oknum tenaga kesehatan yang tergiur dengan keuntungan dari penjualan dan penggunaan vaksin ilegal. Terlebih oknum-oknum tenaga kesehatan itu tidak percaya dengan vaksin produksi PT. Biofarma yang merupakan satu-satunya produsen vaksin milik pemerintah. Padahal kebutuhan vaksin untuk program imunisasi pemerintah telah dijamin cukup tersedia oleh pemerintah dengan didukung oleh PT. Biofarma. 

Perencanaan kebutuhan vaksin imunisasi secara nasional telah disusun secara detail dan akurat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi se Indonesia dan juga Kementerian Kesehatan RI. Bahkan data cakupan imunisasi nasional dari Kementerian Kesehatan RI untuk seluruh balita yang ada telah mencapai angka 93 persen. Porsi terbesar dari cakupan imunisasi ini ada pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Bagaimana dengan fasilitas pelayanan kesehatan swasta? Inilah yang menjadi titik lemah dan temuan vaksin palsu yang diungkap oleh pihak kepolisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun