Wartawan juga manusia. Ya, mungkin semua pihak sepaham. Punya kebiasaan khilaf . Tapi ada alasan tertentu mengapa oknum wartawan jadi 'lasak' di lapangan. Yang jelas, semua itu terkait tuntutan hidup. Tingkat kesejahteraan para kuli tinta di Indonesia ini masih jauh dari harapan. Kalau ditanya ke pemilik (pengusaha) media, jawabannya pun seenak perutnya. ''Bisa eksis terbit saja pun, sudah syukur.'' Duh!
Memang, tak banyak yang seperti Kompas (gramedia grup/level media cetak) dan detik.com (level media online) Â yang sekelas kontributor di pelosok daerah pun diberi honor dengan nominal yang memadai.
Banyak wartawan di Indonesia yang terbiasa 'berdikari' alias mencari sendiri. Katakanlah sekadar menunggu relis dari pemerintah atau perusahaan, atau mencari celah untuk menabuh genderang perang terhadap mafia, cukong dan bandar. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Ini yang fatal!
 Karena biasanya bandit, jarang untuk berpikir panjang. Mereka suka berbuat nekat, apalagi kalau sudah terusik dan terdesak.
Tidak ada niat untuk menggurui dua lembaga bergengsi di atas. Tapi, harapannya Dewan Pers dan PWI mampu mencetak orang-orang yang siap pakai dan profesional. By the way, ada nggak wartawan yang tahan lapar? Semoga!
Tjimahi, 27.06.2021
Penulis, penikmat masalah sosial dan perkotaan. Kini tinggal di Cimahi, Bandung-Jawa Barat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI