MUMPUNG masih suasana Hari Pers Nasional (HPN). Media massa saat ini sering mencekoki masyarakat dengan informasi yang tidak memenuhi standar maupun kaidah-kaidah jurnalistik. Sejatinya laporan yang sampai ke masyarakat harus akurat, tidak hoax, jauh dari unsur pornografi dan porno aksi. Faktanya, masyarakat masih sering menerima berita seperti itu. Kenapa?
Penyampaian berita yang disajikan media online abal-abal itu tentu saja merugikan masyarakat. Seiring dengan kemajuan teknologi, berita apapun sangat cepat sampai ke tangan pembacanya. Sekali share di media sosial, maka ada ribuan masyarakat yang menerima berita-berita dimaksud.
Kini tinggal peran serta masyarakat untuk memilah-milah, apakah berita itu penting atau bermanfaat. Jika dirasa tidak penting, maka sebaiknya pembaca bijak untuk menghindarinya.
Memang, keberadaan media abal-abal saat ini terbilang bak cendawan tumbuh di musim hujan. Hal itu kemungkinan dipengaruhi akibat kebebasan yang diberikan pemerintah namun tidak memperketat pengawasannya. Orang-orang dengan mudah membuat media secara khusus media online tanpa memenuhi persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan Dewan Pers. Namun bisa ditebak, didirikannya sebuah media abal-abal masih sarat dengan kepentingan-kepentingan. Biasanya mereka ini membuat media dengan mencantumkan nama-nama seperti KPK, BIN, Tipikor, ICW dan lain sebagainya.
Penulis tidak mengulas bagaimana menghentikan pemberitaan yang disiarkan melalui media abal-abal itu. Untuk masyarakat luas, dipandang perlu mengenali ciri-ciri media abal-abal dimaksud.Â
Setidaknya menurut versi Dewan Pers, perusahaan yang baik harus memuat alamat redaksi yang jelas dan berbadan hukum. Selain itu, media yang baik pasti mencantumkan nama penanggung jawab dan struktur organisasi perusahaan itu. Hal terpenting, media yang baik memiliki tim reportase, orang-orang yang menyajikan pemberitaan dari lapangan.
Terakhir, media yang baik, bukan abal-abal, tentu menyajikan bahasa yang standar, tidak tendensius, apalagi sampai menjelek-jelekkan, memfitnah pihak-pihak tertentu.
Nah, dengan mengenali ciri-ciri itu, masyarakat luas sudah akan lebih memahami dan membedakan mana sebenarnya media abal-abal, mana pula media yang benar-benar profesional menjalankan fungsinya. Karena bukan tidak mungkin, sebuah media mencantumkan alamat redaksinya, tapi setelah dicek keberadaannya, ternyata di situ cuma rumah makan atau ruko yang dijadikan salon. Selamat menilai! (***)
Medan, 9 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H