Mohon tunggu...
Pandapotan Silalahi
Pandapotan Silalahi Mohon Tunggu... Editor - Peminat masalah-masalah sosial, politik dan perkotaan. Anak dari Maringan Silalahi (alm) mantan koresponden Harian Ekonomi NERACA di Pematangsiantar-Simalungun (Sumut).

melihat situasi dan menuliskan situasi itu

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

HPN dan Wartawan Receh?

9 Februari 2018   09:13 Diperbarui: 9 Februari 2018   09:33 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PUNCAK peringatan Hari Pers Nasional (HPN) digelar hari ini Jumat 9 Februari 2018 di Padang-Sumatera Barat. Bicara tentang HPN, otomatis bicara tentang pers (media massa). Bicara tentang Pers atau media massa otomatis pula bicara tentang wartawan yang merupakan salah satu perangkat penting dalam perusahaan pers, media massa itu sendiri.

Ada yang menarik dari talk show yang digelar TVRI Sumut, Kamis (8/2/2018) kemarin. Inti permasalahannya, ternyata proses rekrutment wartawan di perusahaan media massa kini sudah banyak yang instant, serba cepat, tanpa memahami betul karakteristik dan kode etik jurnalistik itu sendiri. Akibatnya banyak yang salah kaprah.

Setiap perusahaan pers biasanya punya motto tersendiri. Namun akibat salah kaprah dalam hal rekrutment wartawannya, misi umum untuk pembangunan maupun mencerdaskan kehidupan bangsa yang digunakan banyak media massa, justru tidak fokus dari motto perusahaan itu. Akibatnya masyarakat yang dirugikan.

Sering kita temukan di sejumlah media massa (cetak) terutama di Sumatera Utara, pemberitaanya tidak berimbang. Sebuah berita yang disajikan kepada pembaca (masyarakat) sejatinya harus berimbang, memenuhi kriteria dan tidak menyesatkan.

Saya mau ambil contoh: ''Oknum Kepala Dinas Diminta Copot dari Jabatannya''. Dalam sajian berita itu, dipaparkan diduga oknum Kepala Dinas dimaksud jadi 'biang kerok' terhambatnya pembangunan di daerah itu. Celakanya, di dalam pemberitaan itu, tidak ditemukan konfirmasi dari oknum Kepala Dinas dimaksud. Biasanya, media cetak di Sumut selalu menyebut begini: Ketika dikonfirmasi, oknum Kepala Dinas itu sedang tidak berada di kantornya. Atau ketika dikonfirmasi melalui telepon, oknum Kepala Dinas itu tidak menjawab, bahkan konfirmasi SMS pun tidak berbalas.

Hal-hal seperti ini terkesan menyudutkan satu pihak. Ada pihak-pihak yang dirugikan di sana. Idealnya, si wartawan harus berupa maksimal menemui oknum Kepala Dinas untuk konfirmasi, bagaimanapun caranya.

Sekadar berbagi cerita dari ayah penulis, almarhum Maringan Silalahi. Saat meninggal dunia, beliau kebetulan masih tercatat sebagai koresponden resmi Harian Ekonomi NERACA, salah satu media cetak terbitan ibukota Jakarta. Beliau yang ditugaskan di Kota Pematangsiantar (Sumatera Utara) selalu bercerita, setiap berita yang disajikan ke masyarakat itu harus memenuhi persyaratan konfirmasi. Itu patokan yang harus diikuti. Bagaimana pun caranya. Termasuk menongkrongi rumahnya, apabila beberapa kali pejabat itu tidak pernah bisa ditemui di kantornya.

Artinya apa? Beliau yang jadi koresponden NERACA di daerah dengan latar belakang pendidikan otodidak pun tahu, setiap berita harus memenuhi kriteria konfirmasi sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dalam berita maupun peristiwa yang disajikan.

Nah, saat ini banyak wartawan yang sehari-hari meliput berita di lapangan sering menyajikan berita tanpa konfirmasi. Mungkin pembaca sepakat dengan ini.

Secara pribadi, penulis pun tak terlalu faham mengapa bisa terjadi seperti itu. Namun yang jelas menurut beberapa nara sumber di TVRI Sumut yang ditayangkan LIVE itu, kesalahan bertumpu pada proses rekrutment yang salah. Bagi perusahaan media yang mapan, biasanya proses rekrutmen tidak instant. Bahkan bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Penulis teringat ketika KOMPAS Gramedia Grup yakni Tribun Medan ekspansi ke Sumatera Utara beberapa tahun lalu, proses rekrutment wartawan/redaktur surat kabar ini tidak instant. Para calon wartawan dan redaktur diberi pelatihan (pembinaan) yang cukup sebelum diturunkan ke lapangan. Waktunya, bisa hingga tiga bulan. Hasilnya positif, pemberitaan Tribun Medan di Sumatera Utara hingga kini masih diterima masyarakat.

Saya tidak berniat menghakimi media massa manapun yang menerapkan sistem rekrutmennya serba instant itu. Namun yang jelas, hasil produktivitas si wartawan itu dipercaya bakal tidak maksimal, tidak profesional bahkan kemungkinan mental mereka bakal jadi wartawan (maaf) receh. Hingga kini, saya masih meyakini itu!

Jadi, untuk media di Sumatera Utara, selamat ber-HPN. Ini hanya sekadar masukan untuk perusahaan pers di daerah ini. Semoga.! (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun