[caption caption="Doc. Pribadi"][/caption]
DP Anggi No. 72
“(Mungkin) jatuh cinta itu sederhana. Sesederhana ketika kita menginginkan pelangi, namun untuk melihatnya saja, kita harus melewati hujan dan panas yang silih berganti.”
Hari ini, adalah September di tahun kedua. Di antara kabut asap yang sempat menyelimuti, aku terus saja merajut kesibukan dan menyerahkan diri pada kesepian. Bukan menyepikan diri, hanya saja aku benar-benar merasa belum menemukan diriku yang utuh. Kesibukan pun, sengaja kupadatkan agar hatiku tak selalu bertanya, “Bagaimana rasanya jatuh cinta?”
Aku mendengar dari teman-teman sejak pendidikan dasar, perguruan tinggi hingga kini bekerja, jatuh cinta hanya indah awalnya, nelangsa akhirnya. Jatuh cinta bisa berkali-kali dan patah hati pun lebih dahsyat dari itu. Aku sempat membayangkan, jika hati itu adalah ban. Bagaimana bisa ban yang itu dibocorkan berkali-kali lalu ditambal-tambal lagi? Seperti apa bentuk ban itu?
Perempuan yang disibukkan oleh cinta—menurutku, selalu ingin berada didekat orang yang ‘katanya’ ia cintai. Tetapi, yang membuatku bingung adalah, perempuan ini selalu minta untuk dihampiri. Maksudku, mereka jarang sekali bicara lebih dulu sebelum lelaki bicara. Mereka takkan mengungkapkan rindu secara langsung melainkan dengan sindiran saja. Mereka menjadi lebih aneh, lebih aneh daripada saat mereka belum disibukkan cinta. Bukankah cinta itu, ‘katanya’ saling memberi dan menerima? Kenapa ini maunya menerima saja?
Sedangkan lelaki yang jatuh cinta, kerap melakukan pengorbanan yang tak masuk akal. Mereka berkorban seolah-olah memang itulah cintanya. Itulah istrinya. Itulah satu-satunya perempuan yang padanya kehidupan akan ia jalani bersama. Tetapi, setelah beberapa bulan atau tahun, mereka melakukan pengorbanan serupa dengan perempuan yang berbeda. Bukankah cinta itu, ‘katanya’ saling setia?
Lalu, di pelajaran cinta selanjutnya, aku mencoba memahami, bagaimana dua orang yang katanya jatuh cinta tidak memiliki ikatan apa-apa. Bukankah ‘pacaran’ adalah ikatan yang tanpa ikatan? Setahuku, tidak ada status “pacaran” di kolom KTP. Yang ada, kalau tidak menikah ya lajang (bahasa KTP-nya sih kawin dan belum kawin). Mungkin, ini jugalah yang menyebabkan mereka yang mengaku jatuh cinta, seiring berjalannya waktu mudah saja untuk berpisah.
Aku pernah sangat ingin menanyakan kepada ibu bagaimana ibu dan bapak bisa jatuh cinta. Cinta yang seperti apakah yang membuat ibu dan bapak langgeng. Bahkan, ibu tetap merawat bapak yang sakit-sakitan dan sulit berjalan. Namun, ibu kerap mengatakan pundaknya, punggungnya, leher hingga kepalanya sakit. Aku pikir itu hanyalah pegal-pegal biasa. Aku cuma bisa memijat ibu sepulang jam kantor. Sesampainya dirumah, aku kira saat itu ibu hanya kecapean dan butuh istirahat hingga membiarkannya tertidur di samping bapak. Namun, ternyata ibu pergi. Ibu meninggalkan kami semua. Termasuk bapak dan kesedihan yang sejak dua tahun lalu hingga hari ini masih menggantung jelas di kedua matanya.
***
Di musim kabut asap ini, hujan seolah hadiah yang dinantikan para hamba yang telah beberapa kali menghujani sajadah dan mengunggah banyak doa. Sore itu, hujan yang deras membuat Pamanku sedikit kuyup sebab ingin menjemput Bibi. Jika ke kantor, aku selalu minta tolong kepada Bibi untuk menjaga bapak sampai aku pulang. Jadilah paman mengantar-jemput bibi setiap sore. Sambil menunggu hujan reda, kami membicarakan banyak hal. Pembicaraan terus terasa hangat sampai pada suatu topik yang membuatku merasa canggung. Apalagi kalau bukan soalan jodoh.
“Paman, jangan buat aku merasa bersalah dengan menyinggung soalan ini,” ucapku.
“Apa yang salah?”
“Aku merasa bersalah sebab di usia yang hampir kepala tiga masih melajang. Aku merasa bersalah sebab jika memikirkan itu aku juga selalu kepikiran sama bapak. Siapa yang merawatnya saat aku sibuk dengan diriku dan masa depanku. Sebab bapaklah aku berada di masa depan yang akan berlalu ini,”
“Duh.. kamu ini. Sudah dewasa kok pikirannya sempit. Tidak perlu merasa bersalah. Lelaki mapan berkepala tiga itu tidak buruk. Kalau kamu bekerja, istrimu yang menjaganya. Toh kami juga akan sering-sering ke sini. Seorang wanita, jika engkau berikan cinta yang tulus, ia akan memberikan semuanya kepadamu. Percayalah... kamu hanya harus membuka pintu yang terpaksa ditutup dan dipalang itu.” Lanjut Pamanku. Mendengar hal itu, bibi jadi senyum-senyum sendiri.
Aku terus memikirkan ucapan paman. Jujur saja, aku belum pernah mempelajari wanita secara utuh. Aku selalu menggabungkan beberapa variabel yang terus kusatukan dengan cinta itu. Ketika aku mencoba memisahkan masing-masing variabel, aku menemukan sesuatu yang mungkin tak semua orang memikirkannya.
Setiap kali aku memiliki waktu yang agak senggang, aku turut memikirkan bagaimana caranya aku bisa jatuh cinta tanpa patah hati dan terluka. Tanpa penolakan yang menyakitkan. Tanpa menghamburkan uang dan foya-foya. Tanpa embel-embel perselingkuhan yang tidak jelas. Dan tanpa ikatan yang mudah lepas.
***
“Aku mencintaimu...” ucapku suatu malam kepada seseorang yang usianya lebih muda enam tahun dariku. Inilah kalimat cintaku yang pertama. Rasanya, sangat mendebarkan hingga sulit berkata-kata. Namun, yang lebih, lebih, dan lebih mendebarkan adalah ketika menggenggam tangan lelaki—yang menjadi walinya saat aku memutuskan untuk menerima perjodohan yang diusahakan paman setelah berbulan-bulan memikirkan kata-kata pamanku. Aku percaya cinta itu bisa ditumbuhkan. Sebab menurutku cinta itu cinta, ia takkan menjadi cinta jika tak memiliki ikatan yang benar-benar mengikat dua orang hamba.
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H