Mohon tunggu...
DP Anggi
DP Anggi Mohon Tunggu... Fleelance Writer & Ilustrator -

Raudah-Raudah Sajadah (2013), Hati yang Lillah Mencintai (2016), Diari Kecil di Jalan Cinta-Mu (2016) ❤Puisi❤Ilustrasi❤Doodling❤crocheting❤painting

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Meraih Makna Cinta

2 Oktober 2015   11:48 Diperbarui: 2 Oktober 2015   11:48 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Di musim kabut asap ini, hujan seolah hadiah yang dinantikan para hamba yang telah beberapa kali menghujani sajadah dan mengunggah banyak doa. Sore itu, hujan yang deras membuat Pamanku sedikit kuyup sebab ingin menjemput Bibi. Jika ke kantor, aku selalu minta tolong kepada Bibi untuk menjaga bapak sampai aku pulang. Jadilah paman mengantar-jemput bibi setiap sore. Sambil menunggu hujan reda, kami membicarakan banyak hal. Pembicaraan terus terasa hangat sampai pada suatu topik yang membuatku merasa canggung. Apalagi kalau bukan soalan jodoh.

“Paman, jangan buat aku merasa bersalah dengan menyinggung soalan ini,” ucapku.

“Apa yang salah?”

“Aku merasa bersalah sebab di usia yang hampir kepala tiga masih melajang. Aku merasa bersalah sebab jika memikirkan itu aku juga selalu kepikiran sama bapak. Siapa yang merawatnya saat aku sibuk dengan diriku dan masa depanku. Sebab bapaklah aku berada di masa depan yang akan berlalu ini,”

“Duh.. kamu ini. Sudah dewasa kok pikirannya sempit. Tidak perlu merasa bersalah. Lelaki mapan berkepala tiga itu tidak buruk. Kalau kamu bekerja, istrimu yang menjaganya. Toh kami juga akan sering-sering ke sini. Seorang wanita, jika engkau berikan cinta yang tulus, ia akan memberikan semuanya kepadamu. Percayalah... kamu hanya harus membuka pintu yang terpaksa ditutup dan dipalang itu.” Lanjut Pamanku. Mendengar hal itu, bibi jadi senyum-senyum sendiri.

Aku terus memikirkan ucapan paman. Jujur saja, aku belum pernah mempelajari wanita secara utuh. Aku selalu menggabungkan beberapa variabel yang terus kusatukan dengan cinta itu. Ketika aku mencoba memisahkan masing-masing variabel, aku menemukan sesuatu yang mungkin tak semua orang memikirkannya.

Setiap kali aku memiliki waktu yang agak senggang, aku turut memikirkan bagaimana caranya aku bisa jatuh cinta tanpa patah hati dan terluka. Tanpa penolakan yang menyakitkan. Tanpa menghamburkan uang dan foya-foya. Tanpa embel-embel perselingkuhan yang tidak jelas. Dan tanpa ikatan yang mudah lepas.

***

“Aku mencintaimu...” ucapku suatu malam kepada seseorang yang usianya lebih muda enam tahun dariku. Inilah kalimat cintaku yang pertama. Rasanya, sangat mendebarkan hingga sulit berkata-kata. Namun, yang lebih, lebih, dan lebih mendebarkan adalah ketika menggenggam tangan lelaki—yang menjadi walinya saat aku memutuskan untuk menerima perjodohan yang diusahakan paman setelah berbulan-bulan memikirkan kata-kata pamanku. Aku percaya cinta itu bisa ditumbuhkan. Sebab menurutku cinta itu cinta, ia takkan menjadi cinta jika tak memiliki ikatan yang benar-benar mengikat dua orang hamba.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun