[caption id="attachment_290094" align="aligncenter" width="300" caption="@Yogzan | http://kumpulan-fotografi.blogspot.com/"][/caption]
*
Tubuh yang tergeletak itu
Dijamah malam sejak matahari tenggelam hingga subuh
Melaur mendekap tubuh yang pejal tersebab udara malam
Entah, telah berapa pasang mata berlalu-lalang lalu memaki dalam diam
.
Pada subuh dengan embun yang turun satu-satu
Tetes-tetes halus itu direguk mulut-mulut yang menunggu
Yang itu, ya! Oleh semut yang berbaris-baris itu
Entah sedang mereguk, atau bisa saja berwudu
.
Ah, andai tubuh itu terbangun tanpa menunggu semburat cahaya menusuk mata
Dan andai tubuh itu memantul padanya ketaatan para semut merah
Ia takkan lelap hingga mendengar suara bising kendaraan penguasa
Ah, pengusaha—sama saja
.
Tak lama, kesiur angin menghantar aroma tanah basah
Basah oleh embun yang hanya sebentar bertahan di kelopak-kelopak saga
Debu-debu bersembunyi di bawah tikar sunyi
Menanti fajar yang segera memudar lalu berhamburan kembali
.
Tubuh itu, menggeliat karena tiba saatnya untuk terjaga, ia usap-usap mata
Matahari belum muncul jua
Tanggung, katanya
Ia kembali menyulam mimpinya
.
Demikianlah
Meski pantulan ketaatan terpaut di mana-mana
Rangkulan kasih-Nya bahkan dirasa biasa
Nikmat malam dan siang terlipat begitu saja karena alasan yang (selalu) sama; rasa lapar masih merumah
Lama sekali tak mengigau…
Pondokan Ikhlas, Panam 14 Januari 2013
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H