Seorang pasien, katakanlah namanya Ny Rorotan (eh kok namanya seperti nama daerah di Cilincing, Jakarta Utara, tempat pembangunan rumah DP 0 rupiah untuk yang berpenghasilan di atas 7 juta rupiah/bulan itu ya?!), 44 tahun, yang menderita batu ginjal (batu kecil-kecil yang diketahui dari hasil USG perutnya), berkata pada saya, "Dok saya tidak mau dioperasi! Saya mau pakai obat herbal saja!"
Lalu ia melanjutkan, "Dok, saya alergi obat yang namanya berakhiran LIN-LIN. Misalnya Amoksilin, dan yang namanya pakai GIN-GIN. Misalnya Antalgin!"
Sambil senyum saya bertanya, "Itu obat-obat untuk apa, Bu?
 Pasien itu menjawab, "Yang namanya pakai LIN...LIN kan antibiotik... Kalau yang namanya pakai GIN...GIN...pasti penghilang nyeri!"
Lalu saya menukas, "Lalu, kenapa ibu maunya pakai kalau obat herbal?"
Si pasien menjawab, "Kalau obat Herbal pasti aman dok,... Kan asalnya dari alam, tidak pakai bahan kimiawi seperti obat-obat dokter dan tidak membuat alergi, tanpa pakai pengawet dan tidak ada efek sampingnya! Saya minta diresepkan obat herbal, dok!"
"Ooh begitu, Bu. Nah! Karena ibu berpenyakit batu ginjal, tetapi tidak mau dioperasi, dan ingin obat herbal, saya tadinya berencana memberikan obat B*T*GIN (obat herbal penghancur batu ginjal, dalam bentuk sirup) untuk ibu!"
Ibu itu cepat menjawab, "Jangan dok! Kan sudah saya bilang saya alergi obat..GIN...!"Â
Saya menjawab, "Lha, tapi kan B*T*GIN itu obat alami! Katanya tidak pakai bahan kimiawi, pasti tidak bikin alergi dan tanpa efek samping?!"
Dalam praktik sehari-hari, memang banyak pasien yang menyatakan ia "alergi obat" dengan nama obat yang berakhiran LIN dan GIN, bukan hanya Ibu Rorotan saja.
Saya berusaha menjelaskan bahwa reaksi terhadap obat bukan hanya masalah alergi atau "keracunan obat" saja, tetapi ada banyak JENIS REAKSI YANG TIDAK DIINGINKAN SAAT MEMAKAI OBAT atau JAMU/HERBAL atau OBAT TIONGKOK.
Meskipun PASTI MEMUSINGKAN dan MEMBOSANKAN, saya tetap menyampaikan tulisan ini, karena sangat penting. Jangan sampai pasien tak mendapat obat yang diperlukannya, hanya karena salah persepsi soal alergi obat dan reaksi--reaksi lain terhadap obat, baik itu obat farmasi, obat herbal dan obat Tiongkok.
Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya karena berbagai istilah, foto dan tabel dalam tulisan ini disampaikan dalam bahasa aslinya, bahasa Inggris. Kalau terlalu rumit, saya mohon maaf. Silahkan BACA RINGKASAN dan PENUTUP....
Reaksi alergi terjadi saat sistem kekebalan tubuh menghasilkan reaksi yang tidak tepat terhadap suatu obat (disebut sebagai sensitisasi). Saat seseorang yang peka terpapar terhadap suatu obat menghasilkan suatu reaksi alergi. Ada 4 jenis reaksi alergi, yang karena rumitnya tidak diuraikan di sini.
Reaksi alergi obat, tidak berhubungan dengan dosis obat, namun memerlukan paparan obat sebelumnya.
Artinya, dengan dosis (jumlah atau berat obat) yang kecil sekalipun, misalnya 0,01 miligram, reaksi alergi sudah bisa terjadi.
Alergi obat sebenarnya adalah adverse drug reaction (reaksi yang tidak diinginkan) yang berdasarkan reaksi imunologis (reaksi sistem pertahanan tubuh), pada orang yang rentan atau "berbakat" alergi.
Fenomena alergi obat memiliki spesivisitas dan timbul kembali dengan lebih cepat disertai gejala yang lebih hebat, jika orang tersebut menggunakan lagi/mengalami paparan ulang dengan zat yang sebelumnya membuat dia mengalami reaksi alergi (alergen) pada waktu berikutnya.
Contoh reaksi alergi ialah alergi paracetamol, dengan gejala-gejala gatal, bengkak kedua kelopak mata atau bibir, dan timbulnya bercak kemerahan pada kedua sisi tubuh (kiri dan kanan).
B. Reaksi efek samping obat
Efek samping (side effect) biasanya adalah sebagai efek sekunder; bukan efek utama / primer; berupa berbagai gejala yang tidak diinginkan atau diharapkan yang terjadi; selain dari efek utama obat (efek untuk mengatasi penyakit). Efek samping dapat bervariasi untuk setiap individu, tergantung pada keadaan penyakit seseorang, pemakaian obat-obat lain secara bersamaan, waktu meminum obat (misalnya sebelum makan atau sesudah makan), usia, berat badan, jenis kelamin, etnis dan keadaan kesehatan seseorang. Efek samping sering terjadi meskipun dosis obat sudah tepat (tidak kelebihan dosis obat) dan tidak berhubungan dengan efek utama obat. Misalnya pada obat anti flu, efek utamanya menghentikan pilek, dan efek sampingnya badan lemas serta timbul kantuk.
Efek samping bisa disebabkan oleh semua jenis obat-obatan, termasuk obat dengan resep dokter, obat yang dijual bebas, obat alternatif termasuk sediaan herbal, vitamin, dan beberapa produk yang dikeluarkan oleh para naturopatis dan praktisi pengobatan komplementer lainnya (para "pakar" obat herbal).
Beberapa efek samping obat biasanya dapat diprediksi, karena mekanisme yang terjadi sudah dipahami. Misalnya iritasi pada lambung dan perdarahan saluran cerna yang bisa terjadi pada orang yang secara teratur menggunakan asetosal atau obat anti radang lainnya seperti asam mefenamat, diklofenak, dan sebagainya. Obat-obat itu mengurangi produksi prostaglandin, zat yang melindungi lambung dari asam lambung.
C. Reaksi akibat efek berlebihan dari suatu obat (adverse drug reaction).
Reaksi ini biasanya berhubungan dengan dosis atau jumlah obat yang digunakan pasien. Misalnya, seseorang yang mengonsumsi obat untuk mengurangi tekanan darah tinggi, misalnya Captopril, mungkin akan merasa pusing jika dosis obatnya berlebih (biasanya terjadi karena salah membaca aturan pakai pada label obat), sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah secara drastis. Seseorang penderita diabetes melitus dapat mengalami rasa lemas, berkeringat, mual, dan berdebar jika ia meminum obat antidiabetes secara berlebihan, sehingga kadar gula darahnya terlalu rendah. Reaksi merugikan ini biasanya dapat diprediksi, tetapi terkadang tidak terhindarkan.
Keadaan ini kerap terjadi karena orang lupa bahwa ia sudah meminum obatnya (minum obat tidak sesuai jadwal), minum obat secara berlebihan, tidak sesuai aturan pakai, atau salah membaca label obat. Dapat juga terjadi jika pasien hanya mengandalkan ingatannya (tidak membaca label obat) berdasarkan bentuk fisik obat saja, Misalnya seseorang hanya ingat warna, dan jenis sediaan obat (kapsul atau tablet), tetapi kurang ingat jadwal minum obat. Padahal mungkin dari beberapa jenis obat yang diminumnya, ada obat yang sama warna atau jenis sediaannya. Akibatnya ada jenis obat yang diminum berlebihan, sehingga menimbulkan adverse drug reaction.
Reaksi ini juga bisa terjadi jika orang tersebut sangat sensitif (peka) terhadap obat tertentu. Keadaan ini memang merupakan "bakat lahir", tetapi bukan bakat yang berdasarkan reaksi alergi atau bakat kelainan karena sistem imun tubuh.
Penyebab lain dari reaksi ini ialah adanya interaksi obat. Contohnya seseorang menggunakan dua jenis obat, misalnya obat A dan obat B. Obat A memperlambat sistem metabolisme tubuh untuk membuang sisa obat B, yang telah digunakan oleh tubuh. Karena lambat pembuangannya, maka kadar obat B akan meningkat dalam darah, sehingga orang itu mengalami takar lajak atau kelebihan dosis. Reaksi terkait dosis biasanya tidak serius tapi relatif sering terjadi.
Kemungkinan berikutnya adalah reaksi merugikan yang tak terduga: karena obat tersebut tidak konsisten dengan informasi produk atau karakteristik obat yang berlaku (kesalahan dari produsen obat).
D. Reaksi obat yang tidak diperkirakan sebelumnya (Idiosyncratic reaction).
Reaksi ini terjadi melalui mekanisme yang saat ini belum dipahami para pakar. Jenis reaksi obat yang merugikan ini biasanya tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Contoh reaksi obat yang merugikan tersebut ialah: ruam (kelainan pada kulit), ikterus (kulit dan mata berwarna kuning), anemia (kekurangan jumlah hemoglobin/pigmen sel darah merah), penurunan jumlah sel darah putih, kerusakan ginjal, dan gangguan saraf yang dapat mengganggu penglihatan atau pendengaran. Reaksi ini cenderung lebih serius, tapi biasanya terjadi pada sejumlah kecil orang saja. Orang yang terkena dampak mungkin memiliki perbedaan genetik dalam cara tubuh mereka dalam melakukan metabolisme (pengolahan biologis) obat atau kelainan dalam respons tubuhnya terhadap suatu obat tertentu.
E. Reaksi tubuh karena intoleransi obatÂ
Definisi intoleransi obat ialah: reaksi berlebihan terhadap suatu obat yang diberikan dalam dosis yang normal, dengan gejala-gejala seperti yang terjadi jika obat diberikan dengan dosis berlebihan, takar lajak (overdosis).
Intoleransi (sensitivitas) mengacu pada ambang batas (treshold level) rangsang yang sangat rendah terhadap efek samping suatu obat. Misalnya seseorang yang muntah-muntah setelah diberi obat batuk kodein, dalam dosis yang rendah. Memang kodein dapat menyebabkan muntah-muntah, tetapi biasanya muntah terjadi dengan dosis yang tinggi, misalnya 30 mg (3 tablet sediaan 10 mg) sekali minum.
Dalam prakteknya, ada banyak tumpang tindih antara istilah intoleransi dan efek samping.
F. Reaksi tubuh karena keadan alergi yang semu (Pseudo-Allergic Reaction/PAR)
Reaksi alergi semu terhadap obat adalah reaksi yang merugikan dengan tanda dan gejala yang mirip reaksi alergi obat, tetapi tanpa reaksi imunologis (reaksi sistem kekebalan tubuh) atau disebut juga "reaksi hipersensitivitas nonimun".
Beberapa reaksi alergi semu timbul dari aktivasi langsung (bukan aktivasi imunologis) sel kekebalan dan sel inflamasi, sehingga sering sukar dibedakan dari reaksi alergi. Namun, cara melakukan diagnosis, dan pencegahan reaksi kedua jenis reaksi tersebut sangat berbeda.
Reaksi alergi semu tidak dapat didiagnosis dengan tes alergi pada kulit dan tidak memburuk dengan paparan berulang-ulang dengan zat atau obat yang memicunya.
Reaksi alergi semu biasanya terjadi pada obat antiinflamasi nonsteroid, misalnya asam mefenamat, ibuprofen, natrium diklofenak. Obat lainnya ialah antibiotik golongan kinolon, kontras untuk pemeriksaan radiografi serta pelemas otot sebelum anastesi. Beberapa jenis jamu dan obat herbal, juga menunjukkan reaksi alergi semu.
G. Reaksi tubuh karena keracunan obat (drug intoxication)
Intoksikasi adalah suatu reaksi tubuh yang terjadi setelah pemakaian suatu zat dalam jumlah atau berat tertentu (baik dalam dosis tinggi maupun dalam dosis rendah) yang mengakibatkan gangguan fungsi tubuh. Biasanya toksisitas (daya atau kemampuan menimbulkan gangguan fungsi tubuh) suatu obat sudah diketahui sebelumnya. Misalnya, keracunan obat antidepresi Amitriptilin.
Istilah keracunan secara farmakologis sebenarnya lebih banyak mengacu pada reaksi tubuh akibat pemakaian suatu zat psikoaktif (mempengaruhi jiwa dan otak) dengan dosis yang berlebihan, dan reaksi tersebut segera terlihat. Meskipun demikian, keracunan suatu zat atau obat bisa terjadi setelah pemakaian lama suatu jenis obat, dalam jumlah yang sedikit, tetapi berlangsung lama, bertahun-tahun (misalnya pada pemakaian zat arsenik). Jenis-jenis reaksi tubuh terhadap obat disampaikan di bawah ini:
Beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya reaksi yang tidak diinginkan dari suatu obat, antara lain faktor pasien/pengguna obat dan faktor dari obat, seperti dalam tabel berikut:
a) Berdasarkan riwayat alergi pada pemakaian obat di waktu yang lalu secara tepat dan terperinci, termasuk gejala dan waktu terjadinya (hubungan waktu antara saat memakai obat dan terjadinya gejala, serta durasi gejala alergi. Reaksi bisa terjadi secara:Â
- Segera, misalnya pada reaksi anafilaksis, asma, kemerahan kulit, atau pembengkakan kelopak mata maupun bibirÂ
- Akselarasi, terjadi dalam 3 hari seperti gatal dan kemerahan kulitÂ
- Reaksi lebih lambat (terjadi lebih dari 3 hari setelah pertama kali memakai obat). Reaksi akhir dapat berupa sindrom mukokutan (bercak kulit, atau kulit mengelupas) atau tipe hematologis (anemia, trombositopenia/penurunan jumlah trombosit, maupun neutropenia/penurunan jumlah lekosit netrofil).
b) Alat diagnostik:
- Tes tusuk kulit mungkin membantu untuk mendiagnosis reaksi obat yang tergantung pada antibodi (yang dihasilkan oleh sistem imun / pertahanan tubuh) berupa Imunoglobulin E (IgE), walaupun kadang-kadang hasil positif untuk pengujian ini dapat terjadi akibat pelepasan histamin non-spesifik yang terlepas dari IgE (misalnya pada obat propofol, atrakurium).
- Tes radioimmunoassays (misalnya, tes radioallergosorbent (RAST)) dapat mendeteksi antibodi IgE serum terhadap obat tertentu (penisilin dan suksinil kolin) dan lateks, yang mungkin bertanggung jawab atas reaksi selama anestesi umum yang tidak terkait dengan obat-obatan. Hal ini juga untuk tes kulit.
- Triptase adalah enzim penanda (marker) degranulasi sel mast yang dapat membantu dalam diagnosis reaksi anafilaksis.
- Tes kulit (skin test): pemberian dosis kecil obat, misalnya sebanyak 0,1 cc, biasanya obat injeksi, yang disuntikan ke lapisan kulit (intra cutan), lalu dilihat di tempat suntik, apakah terjadi kemerahan dan penggelembungan kulit, sampai melebihi diameter tertentu. Umumnya hanya spesifik bagi golongan Antibiotik Penisilin dan beberapa jenis Sefalosporin.
- Tes desensitasi: Obat dalam dosis kecil, diberikan melalui infus, dengan kecepatan rendah dalam pengaliran obatnya, dan dilihat apakah ada reaksi gatal, kemerahan tubuh dan kemerahan serta bengkak, pada seluruh bagian tubuh.
- Tes provokasi: Tes ini secara oral, walaupun jarang dibutuhkan, dapat dianggap sebagai "baku emas" pemeriksaan alergi. Tes harus diawasi ketat di rumah sakit ketat dengan peralatan resusitasi lengkap
Setelah mendengar penjelasan ringkas saya, Ibu Rorotan terdiam dan tampak seperti berpikir keras. Saya merasa kasihan padanya.Â
Lalu, pelan-pelan saya menjelaskan beberapa hal yang mendasar dan mungkin dapat menjadi acuan praktis baginya, seperti yang saya tuliskan di bawah ini dalam:
Ringkasan dan Penutup
1. JANGAN TERLALU MUDAH MENGATAKAN ALERGI OBAT! Kalau memang anda mengalami reaksi yang tidak enak terhadap obat, jelaskan saja begini: saya pernah minum obat A dan mengalami reaksi X, dan Y dan Z. Apakah itu karena alergi atau efek samping, intoleransi, dan sebagainya, biarlah dokter (khususnya spesialis) yang menetapkannya.
Sebab mungkin, jika anda benar-benar alergi, Anda tidak akan dapat menggunakan obat itu seumur hidup. Tetapi, jika Anda tidak benar-benar alergi; misalnya hanya mengalami efek samping obat; Anda dapat menggunakan obat itu lagi di waktu mendatang. Anda akan terhindar dari kerugian berupa tidak bisa menggunakan obat yang sebenarnya anda perlukan hanya karena persepsi atau anggapan yang keliru tentang efek suatu obat.
2. Nama dan penggolongan jenis obat tidak bisa disamakan hanya berdasarkan persamaan bunyi lisan, atau persamaan huruf tulisannya saja. Contohnya, obat B*T*GIN ("obat ginjal") tidak sama dengan golongan Antalgin (obat anti radang, pereda nyeri). Contoh lain ialah: TeofiLIN (obat yang melebarkan saluran nafas, mengurangi sesak), berbeda dengan AmoksiLIN atau AmpisiLIN (antibiotik)
3. SEMUA OBAT, apakah itu obat herbal, tradisional, jamu, obat Tiongkok, obat India (Ayurvedha); semua yang disebut dengan FITO FARMAKA, maupun obat FARMASI; PASTI TERBUAT DARI BAHAN KIMIAWI!
SEMUA YANG DAPAT DIRASAKAN PANCA INDERA KITA DI ALAM SEMESTA INI TERDIRI DARI BAHAN KIMIAWI!
Perusahaan farmasi TIDAK MENCIPTAKAN SESUATU UNSUR KIMIA YANG BARU, tetapi hanya menggabung-gabungkan beberapa bahan di alam, yang terdiri dari zat-zat kimiawi, sama saja dengan orang yang meramu jamu dari berbagai bahan alam (yang juga merupakan bahan kimiawi)!
Pengawet?! Ya memang ada beberapa jenis obat farmasi yang diberi pengawet, PENGAWETNYA TELAH DITELITI SELAMA PULUHAN TAHUN dan dinyatakan aman. Sama seperti obat herbal atau jamu, baik yang berbentuk tablet, atau serbuk, atau sirup, atau tablet, yang beredar di pasaran. Obat-obat herbal tersebut ternyata awet dan bisa tahan sampai lebih dari 2 tahun (kemungkinan memakai pengawet juga kan?!)
SEMUA "OBAT" (baik obat farmasi maupun tradisional) BERPOTENSI MEMILIKI EFEK SAMPING YANG TIDAK DIINGINKAN atau YANG TAK TERDUGA. Semuanya BISA MENIMBULKAN KERACUNAN (tergantung dosis, fungsi organ tubuh kita, cara mengemas obat, waktu kadaluwarsa obat, dan sebagainya)
HERBAL TIDAK MENIMBULKAN KERACUNAN KARENA DARI ALAM?! SILAHKAN MINUM SARI DAUN KECUBUNG.....Pasti teler...
Lha...ganja kan dari alam?! Bisa membuat keracunan kan?!
4. Dikotomi atau pemisahan bahwa obat A adalah obat herbal dan obat B ialah obat farmasi, seringkali tidak begitu tepat.
Obat farmasi juga berasal dari ramuan tumbuh-tumbuhan. Contohnya: antibiotik, Penisilin, dibuat dari jamur Penicillinum notatum. Obat malaria seperti Kina atau Artemisin, dibuat dari tumbuh-tumbuhan. Obat yang memperbaiki fungsi hati, misalnya HP Pr*, berisi Fructus schizandrae, dibuat dari bekatul (kulit ari padi).
Sebaliknya beberapa obat herbal, dikemas dalam kapsul gelatin, yang dibuat dengan memakai teknologi farmasi modern. Perhatikan isi di dalam botol beberapa jenis obat herbal yang berbentuk kapsul, ditemukan adanya kantong serbuk putih yang terbuat dari silika (silica gel) untuk menjaga agar kapsul herbal itu tidak lembab, supaya bisa bertahan lama. Adanya silica gel sebenarnya merupakan bagian dari metode pengawetan dengan teknologi farmasi modern. Jadi sebenarnya pada obat herbal yang beredar di pasaran, tetap digunakan teknologi farmasi modern.
Oleh karena itu kita tidak bisa melakukan pemisahan atau dikotomi secara tegas antara kedua jenis obat, antara obat farmasi dan fitofarmaka (obat herbal) di pasaran.
Menurut pengertian saya, perbedaan antara obat farmasi dan tradisional adalah masalah riset, dasar ilmiah dan metodologi yang dipakai, serta inovasi produknya. Tujuan kedua jenis obat tersebut ialah sama, yaitu untuk mengatasi penyakit guna meringankan penderitaan sesama manusia.
Jadi seharusnya kita semua tidak menghakimi kedua jenis obat tersebut, karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Tinggal kita mau memilih obat yang mana, tanpa apriori, tanpa menjelekkan jenis obat yang lain.
5. Perlu diingat, bahwa obat-obatan yang disetujui oleh Badan Pengawasan obat dan Makanan (BPOM) harus AMAN - yang berarti bahwa sampai saat ini dan dalam batasan-batasan tertentu, manfaat obat tersebut lebih besar daripada risiko dan efek samping yang sudah diketahui, dan Efektif, terhadap penyakit yang akan diatasinya.
6. Perlu pengertian umum akan beberapa istilah atau terminologi berikut ini: ALERGI, EFEK SAMPING (side effect), EFEK YANG MERUGIKAN / TIDAK DIINGINKAN (adverse reaction), REAKSI IDIOSINKRASI, INTOLERANSI OBAT dan KERACUNAN OBAT, sebelum kita menyatakan diri alergi obat atau tidak. Bukan hanya Alergi dan Keracunan obat saja.
Jika anda belum dapat mengerti akan hal-hal di atas ,serahkan saja kepada tenaga kesehatan yang berkompeten.
Salam hormat dan Tabik!
Daftar bacaan
- Smith, W, Adverse drug reactions - allergy? side-effect? intolerance?, Aust Fam Physician. 2013 Jan-Feb;42(1-2):12-6.
- American Pharmacist Association, March 2014. Allergy or adverse effect: Teach patients the difference, (daring):Â http://www.pharmacist.com/allergy-or-adverse-effect-teach-patients-difference, 4 Februari 2018
- Vervloet D, Durham S, Adverse reactions to drugs,BMJ. 1998 May 16; 316(7143): 1511--1514.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H