Percaturan politik di Filipina pada beberapa bulan terakhir berada pada tensi tinggi. Tensi tinggi itu memuncak dengan pernyataan wakil presiden Sara Duterte-Carpio yang mengancam membunuh Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr., istrinya dan ketua DPR Filipina jika dirinya terbunuh.
Di balik ancaman itu, Sara Duterte juga menilai bahwa negara Filipina akan masuk ke neraka karena dipimpin oleh seorang yang tak tahu bagaimana menjadi presiden dan juga seorang pembohong.
Terang saja, ancaman Sara menarik perhatian banyak pihak. Media massa baik dalam negeri maupun media asing menyoroti pernyataan dari anak mantan Presiden Rodrigo Roa Duterte tersebut. Kabar terakhir menyebutkan bahwa imbas dari ancaman itu, wapres Filipina dipanggil oleh biro investigasi Filipina.
Tentu saja, pernyataan Sara Duterte itu tak terlahir begitu saja. Hal itu disebabkan oleh dinamika politik di Filipina, yang terjadi dan melibatkan di antara kedua belah pihak.
Ferdinand Marcos Jr dan Sara Duterte merupakan tandem pada pemilihan presiden di tahun 2022. Keduanya berasal dari keluarga politik dan mewakilkan dua wilayah besar di Filipina. Menariknya, kedua ayah dari presiden dan wakil presiden saat ini merupakan mantan presiden Filipina.
Ferdinand Marcos Jr berasal dari wilayah utara Pulau Luzon yang penduduknya identik dengan sebutan "Ilocano" dan bahasa keseharian juga "Ilocano". Sementara Sara Duterte berasal dari wilayah Selatan Filipina, tepatnya di Pulau Mindanao. Mereka berbahasa "Bisaya" dan termasuk salah satu kubu besar di Filipina.
Perkawinan politik antara Marcos dan Duterte seperti persatuan dua keluarga dan wilayah politik besar di Filipina. Tak elak, keduanya unggul besar pada pilpres 2022 atas saingan-saingan politik.
Sistem pilpres di Filipina berbeda dengan konteks Indonesia. Di Indonesia, pasangan calon berada satu paket dan dipilih sekaligus dalam satu paket tersebut. Di Filipina, baik presiden dan wakil presiden terpilih terpisah, sehingga peluang menang atau pun kalah dari salah satu pihak sangat terbuka.
Makanya, kerap kali terjadi pemilihan tandem politik lebih pada faktor untuk menaikkan elektabilitas daripada kesamaan ide politik dan dukungan partai politik. Itu menyata lewat kemenangan besar tandem Duterte dan Sara. Dua rumpun wilayah besar saling mendukung antara satu sama lain.
Kebetulan saya tinggal di wilayah Ilocano, bagian Utara Filipina. Sewaktu pilpres kali lalu, seruan "Solid North" yang merujuk pada kesolidan untuk memilih Ferdinand Marcos Jr di pilpres menjadi salah satu landasan kuat. Konsekuensi lanjutnya, sikap itu juga berujung pada dukungan penuh untuk Sara Duterte menjadi wapres. Akibatnya, kedua belah pihak menang besar di wilayah Ilocano.
Seperti biasa, awal kepemimpinan, relasi politik di antara kedua belah pihak berjalan akur dan harmonis. Bahkan, baik presiden maupun wakil presiden mendapatkan jabatan di kabinet. Marcos Jr., selain sebagai presiden juga memegang kendali departemen pertanian. Lalu, Sara memegang jabatan menteri di departemen pendidikan.
Pembagian jatah itu tentu saja bagian dari kontrak dan bagi-bagi kekuasaan ala dunia politik. Namun, tak disangka pembagian itu malah menjadi salah satu biang dari kekacauan di antara kedua belah pihak.
Bermula dari dugaan penyalahgunaan anggaran di departemen pendidikan untuk kepentingan politik. Dugaan itu bermuara pada jalan komisi di DPR Filipina memanggil Sara guna mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya di Departemen Pendidikan.
Dugaan itu berujung pada keputusan Sara mengundurkan diri dari kursi menteri pendidikan. Pengunduran diri itu pun menjadi akhir koalisi antara Sara dan Marcos.
Di tambah lagi sekelumit persoalan politik yang menimpa keluarga Duterte pada beberapa bulan terakhir. Ayah Sara, mantan presiden Rodrigo Duterte periode sebelumnya dipanggil ke komisi DPR dan Senat untuk mempertanggungjawabkan masalah tentang "ekstra judicial killing" yang terjadi pada masa pemerintahannya.
Persoalan "ekstra judicial killing" berkaitan dengan kebijakan pada era Presiden Duterte yang menyatakan perang pada penggunaan dan penyebaran obat terlarang. Hanya saja, kebijakan itu dinilai telah menghilangkan banyak nyawa tanpa pengadilan yang legal dan prosedural.
Persoalan demi persoalan di tingkat nasional itu tentu saja menjadi pukulan telak untuk keluarga Duterte. Belum lagi, upaya kongres untuk meminta salah satu kepala staf dari Sara Duterte, Zuleika Lopez mempertanggungjawabkan beberapa hal yang berkaitan dengan kerjanya bersama Wapres Sara Duterte. Akan tetapi, Lopez menderita sakit dan itu diduga karena tekanan yang terjadi.
Persoalan politik di Filipina mempunyai sebab, salah satunya dari fondasi politik yang kurang kuat pada relasi politik yang terbangun antara presiden dan wapres. Kalau mau ditelusuri ke belakang, perkawinan politik antaran Duterte dan Sara terjadi lebih karena faktor untuk menaikkan elektabilitas daripada kesamaan ideologi politik.
Pasalnya, mantan Presiden Duterte sendiri pernah mengritik sendiri Marcos Jr. Bahkan, mantan presiden tersebut menilai Marcos sebagai pemimpin yang lemah. Makanya, tak sedikit yang memprediksi bahwa relasi politik antara kedua belah pihak sulit terjadi.
Namun, namanya kekuasaan politik selalu menggiurkan dan sulit ditolak. Tawaran dari Marcos bagi Sara untuk menjadi tandem politik diiakan dan jadilah kedua kubu bersatu di pilpres 2022. Kendati dua kubu bersatu, mantan Presiden Duterte tak pernah secara terbuka mendukung Marcos.
Lebih jauh, sistem yang dibangun di Filipina memiliki titik lemah. Pasalnya, kedua tandem kadang terbangun bukan karena sokongan politik yang kuat, tetapi karena faktor daerah dan latar belakang tertentu.
Makanya, tantangan lanjutnya terjadi kecenderungan di mana tiap sosok berupaya untuk menonjolkan diri dan melampaui batas tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Kadang kala, ada tendensi wapres menonjolkan diri sebagai upaya kampanye untuk meraih kursi presiden di pilpres berikutnya. Masalahnya jika langkah politik itu malah merusak kebijakan presiden atau pun menodai langkah politik presiden.
Tensi tinggi antara presiden dan wakil presiden di Filipina bukan sekali ini terjadi. Sebelumnya, ayah Sara Duterte, Presiden Rodrigo Duterte tak mempunyai relasi yang harmonis dengan wapres Leni Robredo yang kemudian menjadi lawan kuat Ferdinand Marcos pada Pilpres 2022.
Situasi politik di Filipina bisa membahasakan titik lemah dari sistem politik dan organisasi politik yang terbangun. Hal itu sangat sulit dihindari apabila sistemnya tak dibenahi, dievaluasi, dikoreksi dan bahkan kalau perlu diubah.
Tensi tinggi politik di Filipina juga menjadi pelajaran berharga untuk konteks politik di Indonesia. Pertikaian politik antara pemimpin (presiden) dan wakilnya (wapres) bisa saja terjadi apabila tak berfondasi pada sokongan politik yang satu dan kuat.
Dalam arti, koalisi partai yang mendukung presiden dan wapresnya perlu mempunyai satu suara dalam mendukung antara keduanya. Bukan sebaliknya lebih cenderung untuk berpihak pada presiden, dan mengabaikan wapres.
Juga, kerja sama antara presiden dan wapres harus tampak pada distribusi tugas yang merata. Dalam arti, tak boleh ada dua "bintang" yang bersinar di puncuk kepemimpinan. Seyogianya, hanya satu bintang, yang mana sinarnya dimunculkan oleh kerja sama antara presiden dan wakil presiden hingga anggota kabinet.
Oleh sebab itu, tandem politik bisa roboh apabila fondasinya politiknya tak kuat dan juga lemahnya kesadaran politik dari tiap pihak tentang batas-batas tanggung jawab yang diemban. Paling tidak, tidak ada upaya untuk mengangkangi tugas dari masing-masing bidang kerja.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI