Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 545 daerah pada 27 November 2024 menjadi momentum berharga bagi Indonesia yang merupakan negara demokrasi.
Hasil dari kontestasi politik terbesar itu sudah mulai nampak. Itu bisa dilihat dari perhitungan cepat yang ditampilkan oleh beberapa lembaga survei.
Hasil perhitungan cepat itu tentu saja belum menjadi konklusi akhir. Akan tetapi, itu bisa menjadi referensi dalam menilai kinerja para calon kepala daerah, para politikus, dan elemen partai selama masa kampanye.
Terlihat bahwa, walaupun bukan semua wilayah, faktor ketokohan mempunyai andil besar dalam menentukan kemenangan daripada kerja mesin partai.
Memang, ada satu faktor lain yang menentukan kemenangan di kontestasi pilkada yakni faktor status incumbent, yang mana yang bersangkutan sudah dikenal oleh rakyat, kapasitasnya sudah teruji dan dirasakan secara langsung oleh pemilih.
Pada kesempatan ini saya coba menelisik pada bagaimana faktor ketokohan sangat berperan penting dalam memberikan efek pada elektabilitas daripada peran partai politik.
Faktor ketokohan itu tak hanya berkaitan dengan sosok yang maju di kontestasi pilkada, tetapi juga sosok yang berada di belakang layar, yang mana sosok itu cukup berpengaruh kuat dalam menaikkan elektabilitas politik dan memberikan dukungan secara terbuka serta langsung.
Saya ambil contoh pada pilkada di provinsi Jakarta dan Jawa Tengah. Dua provinsi itu seperti menjadi area pertempuran politik antara PDI-P dan partai-partai lain. Paling tidak, dua daerah tersebut seperti menjadi perpanjangan lanjut arena pertempuran politik yang terjadi pada pilpres 2024.
Di Jakarta, PDIP dan Hanura mengusung pasangan calon (paslon) Pramono Anung-Rano Karno. Sejauh perhitungan cepat Litbang Kompas per 28 November 2024, suara Pramono-Rano unggul dengan jumlah suara 49.49 persen
Di tempat kedua, paslon Ridwan Kamil-Suswono mendapat jumlah suara dengan 40.02 persen. Kamil-Suswono didukung oleh 15 partai politik.