Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Asas Keberlanjutan dalam Kurikulum Pendidikan

24 Oktober 2024   21:25 Diperbarui: 24 Oktober 2024   21:42 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu satu slogan kampanye dari pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah keberlanjutan. Slogan itu mengacu pada upaya pemerintahan yang baru untuk melanjutkan rekam jejak, terlebih khusus hal-hal positif yang telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan wakilnya, Mahruf Amin.

Dari kaca mata politik, slogan itu bisa dipakai untuk menaikkan elektabilitas dan mendapatkan simpati pemilih dari kubu Jokowi. Bukan rahasia lagi jika Jokowi memiliki magnet politik yang bisa menarik banyak pemilih. Dengan "memboncengi" nama Jokowi atau pun menggunakan slogan keberlanjutan dari masa kerja Jokowi, Prabowo-Gibran bisa mendapatkan simpati dari pengikut Jokowi.

Pada akhirnya, Prabowo-Gibran dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024 lalu. Tentu saja, rakyat menanti program kerja sekaligus janji politik yang mereka sampaikan dalam kampanye politik. Lebih jauh, publik juga berharap slogan keberlanjutan menjadi asas yang tak terpisahkan dari masa pemerintahan Prabowo-Gibran untuk lima tahun kedepan.

Tentu saja, keberlanjutan itu bukan saja soal pembangunan infrastruktur. Akan tetapi, keberlanjutan sistem kerja dalam pemerintahan itu sendiri, yang mana dinilai sukses dan bermanfaat untuk masyarakat. Program kerja yang efektif dan efesien perlu dilanjutkan dan ditingkatkan supaya aspek manfaatnya makin berakar kuat dalam konteks masyarakat.

Salah satu sektor yang perlu mendapatkan perhatian adalah pendidikan. Kerap kali terjadi pergantian di kementerian pendidikan berbarengan dengan langkah pergantian kurikulum. Boleh dibilang, trennya adalah ganti menteri, ganti kurikulum.

Pada pemerintahan Prabowo-Gibran, sektor pendidikan terpecah dalam tiga kementerian. Sebelumnya di era pemerintahan Jokowi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dipimpin oleh Nadiem Makarim berada dalam satu atap. Kemendikbudristek kemudian dilebur ke dalam tiga kementerian yakni kementerian pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, dan Kementerian Kebudayaan.

Peleburan itu bisa menjadi tantangan dalam melanjutkan tren keberlanjutan. Tiga kementerian belum tentu memiliki aras dan pola pikir yang satu dan sama dalam membangun antara satu bidang dengan bidang yang lain. Ketiga kementerian itu bisa saja melihat dari kaca mata berbeda pada pola kerja kementerian sebelumnya, termasuk kurikulum pendidikan. Akibatnya, asas keberlanjutan bisa saja sulit terlaksana.

Hemat saya, asas keberlanjutan di dunia pendidikan sangatlah diperlukan. Salah satu program kurikulum yang popular di era Menteri Nadiem Makarim yakni Kurikulum Merdeka. Di balik kurikulum merdeka itu ada juga slogan merdeka belajar dan sekolah merdeka.

Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbudristek mendefinisikan kurikulum merdeka sebagai "kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi."

Di balik kurikulum merdeka, guru mendapatkan keleluasaan dan kebebasan untuk menentukan perangkat ajar. Perangkat ajar itu dipilih berdasarkan kebutuhan pembelajaran dan peserta didik. Pendek kata, ideal kurikulum merdeka adalah keleluasaan guru dan murid untuk belajar seturut kemampuan dan konteks yang dimiliki. Fondasinya, tiap siswa diyakini memiliki bakat, kemampuan, dan daya tangkap berbeda. Guna mengakomodasi perbedaan itu, guru bisa mencari cara atau perangkat pengajaran yang bisa membantu para siswa untuk leluasa mengeluarkan kemampuan mereka.

Tentu saja, perlu evaluasi mendalam tentang efesiensi dan efektivitas penerapan kurikulum merdeka yang baru menjadi kurikulum nasional pada tahun 2024 ini. Barangkali salah satu evaluasinya bahwa kurikulum merdeka barangkali cocok untuk konteks tertentu, yang mana konteksnya dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, kondisi finansial mencukupi, dan lingkungan yang mendukung.

Menjadi tantangan ketika kurikulum itu diberlakukan pada wilayah yang memiliki keterbatasan tertentu. Mulai dari keterbatasan fasilitas di sekolah, kondisi keuangan yang menunjang guru dalam mengadakan fasilitas pendukung pembelajaran hingga kondisi keuangan peserta didik. Bagaimana pun, kurikulum itu sangat memerlukan fasilitas yang bisa mengakomodasi guru dan peserta didik untuk mengejawantakan secara leluasa pelajaran lewat media tertentu dan dalam konteks tertentu.

Asas keberlanjutan sekiranya perlu berlaku ketika kurikulum merdeka jika memang cocok untuk konteks Indonesia secara umum. Tujuannya agar hal itu tak kembali membebankan pelaku pendidikan, terlebih khusus guru dan peserta didik. Ya, pergantian kurikulum kadang membebankan para guru dan siswa. Beban itu tak membuat guru dan murid fokus pada satu tujuan lantaran disibuki dengan proses adaptasi dan pengenalan dengan kurikulum yang baru.

Belum lagi soal anggaran. Pastinya, pembentukan tiga kementerian membutuhkan dana yang besar. Hal yang sama juga berlaku apabila terjadi perubahan dan penerapan kurikulum yang baru.

Alih-alih mengubah kurikulum yang sudah dan sementara berjalan, kementerian yang terkait coba melakukan evaluasi tentang kelebihan dan kekurangan kurikulum yang sudah ada. Kelebihannya dipertahankan, dan kekurangannya patut dibenahi dan ditambahi. Kekurangan yang membebankan guru dan murid perlu diteliti secara mendalam agar kurikulum itu benar-benar membebaskan guru untuk mengajar dan membantu para siswa untuk memahami apa yang diajarkan.

Pastinya, ide dari kurikulum merdeka belum mengakar secara kuat di lanskap sekolah. Hal itu bisa salah satunya pada penerapannya yang belum terlalu lama dan juga dibarengi kualitas guru yang belum terlatih dengan model kurikulum merdeka tersebut. Untuk itu, proses pembinahan dan pelatihan guru tentang kurikulum merdeka sekiranya terus dilanjutkan sembari mengecek kekurangannya, daripada menghadirkan model kurikulum yang baru dan menghadirkan pelatihan yang baru untuk para guru.

Asas keberlanjutan sekiranya berlaku dalam dunia pendidikan. Kurikulum merdeka, terlebih khusus sisi-sisi positifnya untuk dunia pendidikan di Indonesia perlu dipertahankan. Sekiranya itu tak boleh diubah secara total lantaran ada pergantian di pucuk pimpinan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun