Plagarisme menjadi salah satu persoalan besar dalam dunia akademi. Hal itu disebabkan pelbagai hal, termasuk mentalitas siswa yang sudah terbiasa sejak bangku SMP dan SMA meng-copy paste karya orang lain seolah menjadi karya sendiri.
Beberapa hari lalu saya diminta untuk mengecek karya tulis siswa SMA. Karya tulis mereka itu menjadi salah satu prasyarat kelulusan mereka dari bangku SMA.
Yang mengejutkan ketika membaca alur kalimat yang begitu runut dan teratur laiknya bukan tulisan anak SMA. Belum lagi, pilihan kata yang terbilang "tinggi" untuk konteks anak SMA. Saya pun curiga jangan sampai apa yang tertulis merupakan hasil copy paste dari karya orang lain di internet.
Ternyata dugaan saya benar setelah mengeceknya di internet. Satu paragraf dan bahkan ada yang satu halaman yang mencopy-paste secara langsung karya orang lain. Kecenderungannya mereka hanya menempel ide demi ide dari karya orang lain yang ada di internet dan kemudian membentuk satu artikel pengantar.
Tentu saja, itu menjadi sebuah kekecewaan yang mengecek karya tulis tersebut sekaligus alarm tentang kualitas anak didik. Gegara hanya mau mengejar target dan mendapatkan hasil, mereka mengambil jalan pintas lewat cara plagiat atau sistem copy paste.
Alih-alih meluapkan kemarahan, saya pun mengambil langkah agar kesalahan yang sama tak dilakukan.
Pertama, sebagai pengecek karya tulis, kita sekiranya tak boleh malas atau pun menerima begitu saja hasil karya siswa. Perlu serius mengecek dengan seksama tentang orisinalitas dari karya yang ditulis.
Sebagai guru atau pengecek karya tulis siswa, kita perlu memberikan waktu untuk membaca tulisan mereka. Tak sekadar memberikan nilai dan mengambil kesimpulan sepintas.
Bahkan, kita perlu melakukan riset lebih jauh tentang keabsahan dari tulisan mereka. Jangan sampai apa yang kita baca dan nilai merupakan produk dari orang lain dan bukan produk mereka.
Kedua, kita tak begitu saja menolak karya tulis mereka ketika ditemukan plagiat.
Akan tetapi, kita perlu memiliki metode agar mereka bisa diarahkan untuk tak melakukan hal yang sama. Paling tidak, mereka harus sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan tak diperkenankan di sekolah.
Untuk itu, karya tulis yang sama perlu diolah lagi dengan menggunakan kata-kata dan pemikiran mereka sendiri. Di sini, para siswa perlu dituntun bagaimana meformulasikan ide mereka dan mengkaitkannya dengan ide orang lain.
Setelah itu meminta mereka untuk memberikan kembali tulisan yang telah diperbaharui agar dicek untuk memastikan apa yang dilakukan sudah benar-benar merupakan hasil karya mereka.
Ketiga, perlu melatih siswa untuk menulis.
Kemampuan menulis perlu menjadi bagian tak terpisahkan dari seorang siswa yang berada di SMP dan SMA. Targetnya tak perlu muluk, misalnya tak perlu mulai satu halaman atau pun beberapa halaman. Mulai dengan beberapa kalimat. Misalnya, menulis mulai dengan lima kalimat tentang komentar mereka pada pelajaran dan topik tertentu di akhir setiap mata pelajaran.
Lebih jauh, ujian juga lebih pada soal esai daripada pilihan ganda dan penghafalan. Dalam format ujian pun para siswa diminta untuk menformulasikan pikiran mereka ke dalam kalimat. Contohnya, jawaban mereka minimum lima kalimat.
Hal itu menjadi cara agar menjadi praktis yang bisa mengasah dan membiasakan para siswa dalam membuat tulisan. Kadang kala, siswa memilih jalan pintas seperti sistem meng-copy paste lantaran tak mempunyai kemampuan untuk memformulasikan ide ke dalam kalimat atau pun paragraf.
Padahal, kalau diperbiasakan lewat latihan demi latihan dari setiap guru di kelas, hal itu bisa instrumen untuk membentuk kebiasaan siswa dalam menulis. Seperti yang saya sampaikan, mulai dari hal-hal yang sederhana dan tak perlu langsung dengan hal yang berat. Latihan itu, hemat saya, tak menyulitkan siswa membuat karya tulis lantaran sudah terbiasa dengan menulis.
Lebih jauh, para siswa sudah melek dengan teknologi dan semangat untuk menulis dengan tangan ikut terpengaruh. Oleh sebab itu, menulis langsung dengan tangan perlu dikembalikan sebagai budaya di ruang kelas dan dibentuk menjadi kebiasaan sebagai upaya untuk membentuk kebiasaan siswa dalam menulis.
Mentalitas copy paste para siswa di sekolah menengah sangatlah memperihatinkan. Itu bisa menjadi salah satu tanda yang mengarah pada perbuatan plagiarisme ketika sudah sampai pada pendidikan tinggi atau awal mengambil jalan pintas dalam menulis lewat cara perjokian.
Oleh sebab itu, pihak sekolah, terlebih khusus guru perlu mempunyai cara untuk membangun kebiasaan menulis bagi para siswa pada level sekolah menengah. Harus dimulai dari ruang kelas dan seyogianya menjadi kebiasaan rutin para siswa.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H