Kuasa dan jabatan adalah dua hal yang bertalian. Kita berkuasa karena kita berada pada jabatan tertentu. Karena jabatan, kita mempunyai otoritas untuk memberikan perintah dan melakukan sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh pihak lain.
Namun, kita perlu sadar bahwa kuasa dan jabatan kerap kali sementara. Tak kekal. Bergantung pada waktu dan masa.
Misalnya, jabatan politik sebagai presiden dan wakil presiden. Hanya lima tahun atau pun kalau terpilih untuk dua periode, seturut konstitusi hanya 10 tahun. Setelah itu, mesti ganti jabatan dan turun dari kekuasaan.
Tentu saja, hal itu tak gampang. Kadang muncul post power syndrome yang mana ada situasi tak rela untuk kehilangan jabatan dan beralih pada situasi yang berbeda. Sindrom itu lebih berkaitan dengan kondisi psikologis karena merasa kehilangan, sepi dan depresi lantaran kehilangan atau turun dari posisi penting.
Belum lagi, situasi di mana terbiasa dengan banyak orang yang dekat dan mendampingi sewaktu berada di jabatan tinggi mulai perlahan menghilang satu demi satu setelah tanpa jabatan. Pendek kata, teman menjadi sedikit. Perhatian pun demikian.
Untuk itu, perlu disposisi batin dalam menerima kenyataan pensiun, turun dari lingkaran kekuasaan dan ganti jabatan. Paling pertama, perlu kerendahan dan keterbukaan hati dalam menerima kenyataan bahwa jabatan kita bisa diganti dan kekuasaan bisa beralih ke tangan lain.
Kita harus menerima realitas bahwa kita duduk jabatan dan memegang kekuasaan tertentu hanya untuk sementara waktu. Kalau masa jabatan itu sementara karena dibatasi aturan seperti konstitusi, masa jabatan dan kuasa itu bisa sementara waktu karena faktor usia.
Kesadaran itu bisa menjadi salah satu fondasi dalam mengantisipasi post-power syndrome. Hemat saya, sebenarnya situasi syndrom post-power perlu diantisipasi sejak dini.
Antisipasi itu dimulai sejak memegang jabatan tertentu dan berupa kesiapan diri dalam menghadapi kenyataan tak lagi berada pada jabatan tinggi. Beberapa hal yang perlu dilakukan agar tak terjebak pada kondisi post power syndrome.