Pendidikan merupakan upaya untuk membentuk karakter manusia. Dalam bahasa bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejatinya menjadi proses untuk memanusiakan manusia.Â
Konsep pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia itu nampak pada upaya menghargai di antara sesama manusia terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki.Â
Untuk menciptakan upaya memanusiakan manusia, perlu adanya kasih dan cinta di antara individu yang berada di dalam konteks sekolah. Konsekuensi lanjutnya, upaya itu bisa menjauhkan aksi kekerasan yang merupakan wujud perendahan pada sesama.Â
Kekerasan di sekolah merupakan noda paling kotor untuk dunia pendidikan. Juga, kekerasan di sekolah berjalan terbalik dari esensi mendasar dari konsep pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia.Â
Lantas, mengapa kekerasaan di sekolah tetap terjadi? Mengapa persoalan itu seperti tak ada ujungnya?
Hemat saya, salah satu alasannya adalah sistem yang terbangun di dalam sekolah, baik itu yang diciptakan oleh sekolah atau pun yang luput dari pantauan sekolah. Sistem itu seperti melapangkan atau pun menciptakan peluang terjadi kekerasan di lingkup sekolah.Â
Sekolah barangkali menciptakan sistem yang mengkotak-kotakan antara para siswa/i. Pengkotak-kotakan itu bisa saja berdasar pada kriteria akademik, kemampuan tertentu, dan bahkan latar belakang para siswa.Â
Misalnya, membagi para siswa berdasar kualitas rangking atau pun nilai. Atau juga, membedakan siswa berdasarkan pada kemampuan akademis.Â
Namun, secara tak sadar pengkotak-kotakan itu malah menimbulkan gap antara siswa hingga ekslusivitas antara para siswa. Siswa yang berada dalam satu kelompok merasa siswa yang tak sekelompok sebagai yang berbeda walaupun berada dalam satu sekolah.Â
Pengelompokan itu juga bisa menghadirkan persaingan dan juga upaya resistensi apabila ada individu atau pun pihak lain yang mau menantang kelompok tertentu.Â