Bahkan, pengkotak-kotakan itu juga menghadirkan sistem tersendiri. Apabila mau masuk ke dalam kelompok yang telah tercipta, si individu mesti melewati beberapa tantangan. Tantangan itu kadang dibarengi dengan kekerasan.Â
Selain itu, sistem yang menciptakan kekerasan tercipta oleh sistem yang luput dari pantauan sekolah. Ada sistem yang sudah dibangun oleh para siswa sendiri di lingkungan sekolah, tetapi hal itu luput dari pantauan para guru.Â
Misalnya, sistem senioritas di antara para siswa. Siswa yang lebih senior membangun kelompok dan kekuatan tertentu di dalam sekolah.Â
Yang senior melihat yunior sebagai obyek yang mesti tunduk pada pola permainan senior. Ketika ada penolakan, kekerasan bisa saja terjadi.Â
Selain pola senioritas, juga muncul sistem pertemanan berdasarkan latar belakang. Para siswa membangun pertemanan berdasarkan tempat asal dan menguatkan identitas itu dalam relasi di antara para siswa.
Sistem pertemanan itu bermuara pada sistem perkoncohan. Ada kelompok, atau tepatnya bisa disebut sebagai "geng" di dalam lingkup sekolah.Â
Kelompok itu membangun sistem tertentu yang menuntut anggotannya untuk melakukan hal tertentu, termasuk aksi kekerasan apabila ada "gangguan" dari pihak lain atau pun melihat pihak lain sebagai ancaman.Â
Bahkan, kalau mau masuk kelompok tersebut perlu melewati "ritus" tertentu, yang tak jarang menghadirkan kekerasan.Â
Solusi
Mengatasi persoalan kekerasan tak hanya cukup diselesaikan dengan menghukum oknum yang melakukan aksi kekerasan. Seyogianya, perlu mencari akar yang terdalam dari persoalan kekerasan tersebut.Â
Salah satunya, pihak sekolah mengevaluasi sistem yang terbangun di lingkup sekolah. Apakah sistem di sekolah benar-benar bebas dari peluang terciptanya senioritas, pengelompokan, dan perkoncohan?Â