Kesehatan finansial menjadi salah satu hal penting dalam kehidupan kita setiap hari. Kesehatan finansial itu bisa dibangun lewat perencanaan anggaran (budgeting) yang tepat sasar, seimbang dan sesuai dengan kebutuhan.
Juga, hal itu dibarengi dengan sikap dan keputusan yang berani dan jujur tentang kondisi keuangan yang dimiliki. Tak perlu malu dan ragu untuk memyampaikan ketidakmampuan kita dari sisi finansial.
Ada salah satu istilah yang popular di awal tahun 2024, yakni "Loud Budgeting". Istilah itu sepertinya menjadi tren yang mulai dihidupi oleh kelas menengah di tengah himpitan dan tuntutan ekonomi yang makin ketat.
Seturut laporan, CNBC news (29 Februari 2024), istilah loud budgeting viral pada awal tahun 2024 lewat sebuah video di salah satu akun TikTok yang seturut tanggal 16 Januari 2024 mencapai 1,4 juta penonton.
Loud budgeting berarti teknik untuk mengamankan uang termasuk dengan cara menolak kesempatan bersosialisasi seperti makan di luar bersama teman dan bepergian ke tempat tertentu dengan mengatakan alasan di balik keputusan tersebut.
Loud budgeting lebih condong pada mengukur kekuatan finansial antara kebutuhan dan keinginan semata. Ketika apa yang ditawarkan itu sebagai kebutuhan, maka kita boleh mengucurkan sejumlah uang.Â
Jika sebaliknya, kita perlu untuk mengontrol diri dan berani untuk menolak untuk mengucurkan uang.
Ketika memahami istilah loud budgeting ini, ternyata saya juga pernah menghidupinya. Pada bulan April lalu, kami sekomunitas di tempat kerja berencana melakukan piknik.
Seperti biasa, anggaran selama piknik tersebut dibicarakan di dalam kelompok. Setelah melihat perkiraan anggaran per individu, saya memilih untuk tidak mengikuti kegitan itu.
Alasannya karena anggarannya terbilang besar bila dibandingkan dengan pendapatan bulanan saya. Kira-kira hampir seperempat dari pendapaan bulan.
Makanya ketika yang mengorganisir kegiatan tersebut bertanya alasan saya tak ikut, saya menyampaikan bahwa saya tak memiliki anggaran seperti yang telah diperkirakan untuk kepentingan piknik tersebut.
Sudah beberapa kali saya lakukan hal tersebut. Termasuk di tempat kerja ketika menghadapi teman kerja dan bawahan.
Ketika teman kerja dan bawahan meminta anggaran tertentu, pertimbangan paling pertama adalah kesediaan anggaran dan sekaligus tujuan dari penggunaan anggaran yang diminta.
Kejujuran saya itu menyelamatkan dan mengamankan keuangan pribadi dan juga di tempat kerja.Â
Paling tidak, saya bisa mengamankan keuangan demi kebutuhan yang lebih utama daripada memanfaatkan untuk hal-hal yang waktunya relatif singkat dan kadang nilainya tak bertahan lama.
Sikap saya itu ternyata bagian dari loud budgeting. Dalam mana, tak perlu malu untuk menyampaikan penolakan pada hal-hal tertentu apabila anggaran keuangan pribadi tak mencukupi dan memadai.
Hemat saya, sikap loud budgeting perlu dibangun agar menjaga kesehatan anggaran. Seperti yang saya sampaikan di atas, kita tidak perlu malu untuk jujur menyampaikan kondisi keuangan kita sekaligus
Daripada kita menghadapi ketimpangan finansial, lebih baik kita perlu jujur dengan kondisi finansial yang kita miliki. Â
Kadang kala kita terjebak pada mentalitas gengsi. Mentalitas itu nampak mau menyamai kemampuan finansial orang lain, padahal kenyataannya tak bisa memenuhi seperti yang diharapkan. Akibatnya berutang guna menjawabi mentalitas gengsi tersebut.
Atau juga, kita terlalu melihat faktor kesenangan semata tetapi memaksakan kemampuan finansial yang kita miliki.Â
Efeknya bisa berupa ketidakseimbangan antara hal-hal yang benar-benar sebagai kebutuhan dengan hal-hal yang memberikan kesenangan untuk sementara waktu. Â
Oleh sebab itu, kita perlu jujur dengan diri sendiri dan dengan orang lain tentang kondisi keuangan kita. Daripada kita tinggal dalam beban batin karena ketidakjujuran, lebih baik kita secara terbuka menyampaikan kondisi keuangan kita yang sebenarnya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H