Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia bisa memberikan pelbagai pesan moral. Pesan-pesan itu bisa ditarik garisnya mulai dari pandangan-pandangan Paus Fransiskus selama menjadi pemimpin tertinggi Agama Katolik di Vatikan mulai Maret 2013.
Salah satu pesan yang paling aktual dan relevan untuk konteks saat ini, termasuk di Indonesia adalah kepedulian Paus Fransiskus pada lingkungan hidup.Â
Ide Paus Fransiskus tentang kepedulian pada lingkungan hidup itu tertuang pada salah satu ensiklik yang berjudul "Laudato Si" yang secara harafiah berarti "Terpujilah Engkau".
Sekadar catatan tambahan, pemilihan nama Fransiskus yang melekat pada Paus bukannya tanpa alasan. Sebenarnya, nama asli Paus Fransiskus adalah Jorge Mario Bergoglio.
Seturut tradisi gereja Katolik, ketika seseorang terpilih sebagai Paus, dia memilih nama tertentu yang bisa bertolak dari karakternya dan juga berdasar pada landasan dalam masa kepemimpinannya.
Nama Fransiskus dipilih oleh Paus Fransiskus yang bernama asli Kardinal Jorge Mario Bergoglio lantaran bertolak dari tokoh kudus, St. Fransiskus Asisi. St. Fransiskus Asisi dikenal sebagai sosok yang sederhana, mempunyai kepedulian besar pada lingkungan hidup, dan aktif dalam dialog antar agama.
St. Fransiskus Asisi bahkan menyebut tumbuhan dan hewan sebagai saudara. Maknya, di Gereja Katolik, St. Fransiskus Asisi dinobati sebagai orang kudus pelindung kelestarian alam. Â
Sifat-sifat St. Fransiskus Asisi itu sudah dihidupi oleh Paus Fransiskus sewaktu masih bermisi di Argentina. Dan, hal-hal itu juga dilanjutkan dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam masa kepemimpinannya sebagai pemimpin agama Katolik.
Terang saja, Ensiklik "Laudato Si" menjadi buah dari komitmen Paus Fransiskus. Ensiklik yang diluncurkan pada tahun 2015 ini secara umum menggarisbawahi tentang kepedulian pada bumi. Bumi dinilai sebagai rumah bersama (common home).
Perhatian dan kepedulian itu menjadi tanggapan nyata pada realitas bumi yang dihantui oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan.
Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini menjadi tanggung jawab moral manusia. Manusia mengeksploitasi lingkungan tetapi tak bertanggung jawab dengan aksinya tersebut. Manusia menghancurkan lingkungan hidup demi kepentingan bisnis, tetapi tak begitu peduli pada efek negatif yang terjadi untuk lingkungan itu sendiri dan mahkluk di sekitarnya.
Oleh sebab itu, lewat ensklik itu Paus Fransiskus mengajak setiap orang untuk peduli pada kesehatan lingkungan. Alam harus dijaga dan diperhatikan. Kesehatan alam perlu dipulihkan, walau dengan aksi-aksi kecil dan sederhana.
Seruan itu pun berbuah pada pelbagai aksi dari pelbagai gereja Katolik di belahan dunia, termasuk di Indonesia. Gerakan atas nama "Laudato Si" menjadi upaya Gereja Katolik untuk menjawabi undangan Paus Fransiskus.
Bahkan, ada komunitas yang melakukan penghijauan area tertentu di komunitasnya dan menamai tempat itu dengan Taman Laudato Si (Laudato Si Farm).
Oleh sebab itu, sikap Gereja Katolik Indonesia, dalam hal ini, Komisi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang menolak untuk mengolah tambang terbilang tepat. Sikap itu bisa membahasakan mengenai satu kaki gereja Katolik di Indonesia dengan seruan kepedulian Paus Fransiskus tentang kepedulian pada lingkungan hidup.
Ya, pada tahun 2024 ini, salah satu topik yang mencuat ke ruang publik di Indonesia yakni tentang peraturan pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2024, yang mana dalam salah satu pasalnya (Pasala 83A PP) menyebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan keagamaam bisa mengelola tambang batubara (bdk. kompas. id 26 Agustus 2024). Â
Peraturan pemerintah itu menuai pro dan kontra. Di balik sikap itu, persoalan tambang masih menjadi salah satu isu yang kerap ditolak lantaran tak sepenuhnya memberikan kesejahteraan.
Malahan, tambang menjadi salah satu faktor yang menyumbang kerusakan lingkungan. Apalagi, hal itu tak dilakukan tanpa mekanisme yang bertanggung jawab. Juga, orang-orang yang terlibat di dalamnya tak mempunyai pengetahuan yang memadai dalam mengolah pertambangan.
Seperti terlansir dalam Kompas. com (23 Juni 2024), Kardinal Ignasius Suharyo yang berlaku sebagai Uskup Agung Jakarta menyatakan ketegasan gereja Katolik dalam mengelolah izin tambang yang diajukan oleh pemerintah.
Salah satu pendasaran dari penolakan itu adalah soal kapasitas dan keahlihan, yang mana KWI menilai bahwa pengolahan tambang bukanlah domain dari KWI, atau lingkup agama Katolik.
Tanggapan Gereja Katolik dalam menyikapi pemberian ijin pengolahan tambang itu sangatlah benar. Sangat tidak baik ketika Gereja Katolik memasuki wilayah kerja yang bukan menjadi kapasitasnya.
Kalau dipaksakan, besar kemungkinan ketimpangan bisa terjadi. Atau juga, langkah itu seperti ungkapan "senjata makan tuan". Dalam mana, ketimpangan yang terjadi dalam kesalahan pengolahan bisa saja menjadi alat untuk menjerumuskan nama gereja ke dalam jurang.
Lebih jauh, sikap Gereja Katolik di Indonesia juga menegaskan satu komitmen dengan seruan pemimpin tertinggi, Paus Fransiskus tentang kepedulian pada lingkungan hidup. Lingkungan hidup perlu dipulihkan dan bukannya terus dieksploitasi. Ini juga bisa menjadi salah satu pesan Paus Fransiskus yang berkunjung di Indonesia dari 3-6 September 2024.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H