Dinamika politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di tanah air berubah. Perubahan itu bermula dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat ambang batas pencalonan di pilkada dari jalur partai.
Sontak saja, keputusan MK itu ikut menggoyangkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Perlu diketahui bahwa koalisi itu terdiri dari 12 partai politik yakni, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Garuda, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Secara umum, KIM plus itu berada di bawah payung kepemimpinan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Pembentukan KIM Plus tak hanya bertujuan untuk menguatkan konsolidasi di tingkat pusat, tetapi juga upaya untuk menyatukan kekuatan di level daerah lewat Pilkada dalam satu kesatuan koalisi.
Akan tetapi, upaya itu terlihat tak terealisasi sejak keluarnya putusan MK. KIM plus tampak rapuh.
Pasalnya, beberapa partai di dalam lingkaran KIM plus memilih untuk mengusung calonnya sendiri dan bahkan Partai Golkar bersanding Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang nota bene bukan bagian dari KIM Plus untuk mengusung Cagub dan Cawagub Banten.
Kerapuhan KIM Plus bisa disebabkan oleh perbedaan kepentingan. Bukan tak mungkin, target dari partai-partai menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo-Gibran hanya demi kepentingan kekuasaan pada level pusat semata, dan bukan untuk level Pilkada.
Bagaimana pun, pada level daerah, tiap partai memiliki kekuatan politik tertentu. Misalnya, langkah PKB mengusung Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim dan keluar dari lingkaran KIM Plus pada Pilkada di Jawa Timur karena memang basis politik PKB yang terbilang kuat untuk konteks Jatim.Â
Bahkan, calon yang diusung oleh PKB itu berpeluang akan melawan calon dari KIM Plus, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elstianto Dardak.
Tentu saja, dari kaca mata politik, realitas perubahan dukungan di Pilkada menunjukkan dinamika politik yang makin menarik dan mencair. Isu Pilkada yang berpeluang melawan "Kotak Kosong" pun mulai menguap lantaran partai-partai politik yang berada dalam koalisi besar keluar dari lingkaran tersebut dan membangun poros baru.
Lebih jauh, jalan partai-partai yang berada di bawah KIM Plus untuk mengusung calonnya sendiri menandakan kedaulatan partai. Bagaimana pun, tiap partai politik pasti mempunyai target tersendiri dan mesin politik dalam mencapai tujuan kemenangan dari sebuah kontestasi.
Oleh sebab itu, sangat disayangkan ketika kekuatan partai tersebut disandera demi kepentingan koalisi semata. Jadinya, mesin kerja partai bisa saja menjadi macet atau pun gampang diombang-ambingkan satu kekuasaan politik semata.Â