Brasil harus angkat koper dari Copa America 2024 di Amerika Serikat setelah kalah dari Uruguay pada babak perempat final. Kekalahan dari Uruguay lewat drama adu penalti (4-2) kian membenamkan Brasil. Nama besarnya di dunia sepak bola seperti menjadi kabur.
Drama adu penalti terlihat seperti musuh besar Brasil. Kekalahan dari Uruguay lewat drama adu penalti seperti mengulangi apa yang terjadi pada Piala Dunia 2022. Saat itu, Brasil tersingkir lewat drama adu penalti pada babak perempat final kontra Kroasia.
Jalan Brasil untuk sukses di Copa America 2024, memang, diragukan sebelum turnamen tersebut. Brasil masih kalah favorit untuk angkat trofi daripada rival abadi, Argentina.
Keraguan itu disebabkan oleh performa Brasil yang belum stabil dan juga masa transisi di level pelatih yang belum meyakinkan.
Sempat rumor menguat bahwa Carlo Ancelotti dipilih oleh badan sepak bola Brasil untuk duduk di kursi pelatih akhir musim ini.Â
Namun, rumor itu sepertinya bertepuk sebelah tangan. Ancelotti terlihat lebih memilih untuk memperpanjang kontraknya dengan Real Madrid daripada mengiakan pinangan "Tim Samba".
Selain masalah pelatih, Brasil juga seperti kehilangan gaya. Gaya "Jogo Bonito". Gaya ini menekankan permainan atraktif, cepat, dan sekaligus menghibur.Â
Kebebasan dan kreativitas para pemain menjadi landasan dari pola permainan tersebut.
Gaya itu sudah diperkenalkan semenjak Pele hingga dilanjutkan di masa-masa Ronaldo, Rivaldo, Ronaldhinho dan bahkan Neymar Jr. Gaya ini sepertinya perlahan menghilang dari permainan Selecao, julukan Brasil.
Tak pelak, sebelum turnamen Copa America 2024, kapten Timnas Brasil, Danilo secara implisit mengakui bahwa timnya sudah tak lagi menekankan gaya.Â
Targetnya menang. Walaupun, target itu tercapai lewat permainan tak menarik dan tak atraktif.
Namun, kapten tim itu tak sadar bahwa gaya Jogo Bonito itu sudah mengakar kuat dalam sistem permainan Brasil. Dan, gaya itu pula yang menerbangkan Brasil pada pentas sepak bola dunia.
Kontra Uruguay di perempat final Copa America 2024, Brasil sepertinya terjebak pada pola permainan Uruguay. Sudah diprediksi bahwa laga antara kedua tim akan berlangsung sengit menimbang kualitas Uruguay di tangan pelatih Marcelo Bielsa.
Bahkan, pada tahun lalu, Bielsa mampu membawa Uruguay mengalahkan Brasil dan Argentina dalam jangka waktu yang berdekatan. Artinya, kekuatan Uruguay sudah teruji dan Uruguay pun bukan lawan yang sembarang.
Tak pelak, Brasil seperti terjebak pada persaingan ketat dan melupakan gaya permainan tim. Tak tanggung-tanggung, 41 pelanggaran tercipta dari kedua tim. 26 pelanggaran dibuat oleh Uruguay dan sisanya oleh Brasil.
Lebih jauh, kedua tim sepertinya melupakan gaya sepak bola yang kental dengan sepak bola ala Amerika Selatan yang mana lebih cepat, saling tukar serangan, dan atraktif. Yang terjadi malah bagaimana lolos ke babak selanjutnya walau bermain bertahan.
Seperti terlansir dalam Associated Press (7 Juli 2024), Bielsa yang dikenal dengan filosofi permainan dari kaki ke kaki dan menyerang mengakui bahwa cara permainan timnya kontra Brasil lebih untuk mencapai babak berikutnya.
"Saya lebih memilih sepak bola menyerang, tetapi dalam laga ini, kita menciptakan lebih banyak kesempatan dan kita bertahan dengan baik. Kita melakukan segala sesuatu yang perlu untuk sukses pada level ini," ungkap Bielsa.
Tercatat kedua tim mencatatkan peluang yang terbilang minim. Uruguay unggul dalam urusan menciptakan peluang, yang mana membuat tiga peluang mencetak gol, dan Brasil hanya menciptakan dua peluang.
Lini depan Brasil terlihat mandek dan bahkan tak memanfaatkan momen di mana Uruguay bermain hanya 10 pemain di 16 menit babak kedua. Juga, Brasil terjebak pada pola permainan provokasi ala Uruguay.
Gaya "Jogo Bonito" sepertinya lepas dari gaya permainan Brasil. Sebuah artikel tertulis di AFP (2 May 2024), berjudul "Jogo Bonito to uncertainty: Brazil's football legacy at crossroads" coba mengidentifikasi sebab dari kehilangan gaya Jogo Bonito dari permainan Brasil.
Beberapa hal yang menyebabkan Brasil mulai kehilangan Jogo Bonito. Salah satunya adalah sepak bola jalanan yang sudah makin tak terlihat. Bukan rahasia lagi jika banyak pemain Brazil yang bermula dari sepak bola yang dimainkan di jalanan.
Lebih jauh, pelatih akademi tim muda Flamengo, Victor Hugo da Silva menilai bahwa itu disebabkan oleh perubahan gaya, yang mana Brasil lebih bermain mengikuti sistem dan mengabaikan kreativitas pemain sendiri.
Da Silva juga menilai bahwa ada perubahan gaya hidup di Brasil yang mempengaruhi para pemain di tempat latihan. Gaya hidup itu berkaitan dengan penggunaan ponsel yang berlebihan hingga pola makan yang tak sehat.
Brasil yang mempunyai 203 juta penduduk mempunyai ponsel lebih banyak daripada jumlah penduduk. Selain itu, lebih dari sepertiga dari jumlah anak berusia 5 sampai 19 tahun menderita obesitas.
Belum lagi, sepak bola cenderung menjadi bagian dari bisnis dan akibatnya aksesnya lebih dekat ke orang kaya dan menjauh dari masyarakat kurang mampu.Â
Padahal, di Brasil sepak bola adalah permainan dari masyarakat, tetapi karena tuntutan bisnis, aksesnya pun makin rumit.
Gaya permainan Brasil, Jogo Bonito, mulai kabur dari permainan Brasil saat ini. Tak heran, salah satu legenda sepak bola Brasil, Ronaldo pernah berkata dia lebih suka menonton permainan tenis daripada sepak bola.
Mantan pemain Brasil yang bernama lengkap Ronaldo Nazario de Lima menyatakan bahwa dia terlihat bosan untuk duduk selama 90 menit menonton sepak bola daripada menonton pertandingan tenis selama 5 jam.
Ronaldo menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya "Jogo Bonito" Timnas Brasil yang pernah sukses menjadi juara Piala Dunia 1994 dan 2002.Â
Kata-katanya itu secara implisit menunjukkan bahwa dia sudah tak menemukan gaya asli Jogo Bonito dalam permainan Brasil yang atraktif nan penuh kegembiraan.
Salam Bola
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H