Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Orang Dalam", Jalan Belakang yang Merumitkan PPDB

28 Juni 2024   13:48 Diperbarui: 28 Juni 2024   13:58 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendaftaran siswa baru. Foto: Shutterstock/benk-88 via Kompas.com


Fenomena "orang dalam" menjadi salah satu sebab yang merusak sebuah sistem kerja. Betapa bagus dan ketat sebuah sistem, kalau realitas orang dalam menjadi bagian dari kerja sistem tersebut, sistem itu pasti timpang dan tak kerja sebagaimana yang diharapkan.

Hal yang sama acap kali terjadi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Peran orang dalam itu menjadi salah satu langkah untuk menggolkan niat dan tujuan untuk bisa terdaftar atau pun mendapat jatah untuk masuk sebuah sekolah.

Wajah orang dalam itu bisa bermacam-macam. Bisa saja itu muncul dari lingkup sekolah sendiri. Bisa juga, muncul dari orang-orang yang yang memiliki kuasa dan kewenangan, tetapi bisa mempengaruhi pihak-pihak di sekolah.

Hal yang paling sering juga muncul adalah orang dalam karena faktor latar belakang seperti faktor relasi keluarga/kekerabatan, budaya atau sedaerah, dan bahkan kesamaan agama.

Fenomena orang dalam inilah yang menjadi salah satu sebab dari polemik yang terjadi selama PPDB. Dalam mana, ada yang mengikuti jalan yang telah diatur sekolah, tetapi ada yang melewati jalan belakang dengan memanfaatkan faktor orang dalam.

Parahnya, yang ikut aturan tidak diterima, tetapi yang tak ikut aturan malah mendapatkan jatah. Oleh karena itu, yang melewati jalan belakang itu bisa merusak sistem dan juga mengakibatkan polemik yang bergulir seperti tanpa ujung.

Sebab-Akibat Adanya "Orang Dalam"

Realitas orang dalam bukanlah hal baru dalam konteks sistem kerja. Hal itu seperti menjadi masalah klasik yang kerap menantang dan merugikan sistem kerja, termasuk sistem PPDB.

Sebabnya itu beragam. Salah satunya disebabkan oleh pencarian pengakuan. Menjadi orang dalam bisa mendapat pengakuan dari yang mendapat manfaat. Pengakuan itu berupa dinilai "berjasa" karena telah mendaftarkan anak dari seseorang ke sekolah yang diinginkannya.

Di balik kata berjasa itu, pengakuan lain juga berupa titel sebagai "orang baik" karena telah membantu dalam pendaftaran di sekolah. Terlebih lagi, jasa dan kebaikan itu diceritakan kepada orang lain.  

Padahal, pengakuan itu dilakukan dengan cara yang salah. Hal ini terjadi karena sikap kita yang permisif dalam membiarkan kesalahan sebagai hal yang biasa-biasa saja dan juga tak kritis bahwa hal yang dianggap baik sebenarnya dilakukan dengan cara yang salah.

Selain itu, sebab lain dari fenomena orang dalam adalah karena iklim balas jasa atau balas budi yang dikonstruksi secara salah. Hari ini, saya yang memberikan bantuan. Pada hari lain, saat saya membutuhkan bantuan, dia bisa membantu atau membalasnya.

Misalnya, jika seorang politikus atau pejabat yang memiliki pengaruh dan kewenangan dan dia menitipkan anak dari temannya atau pun seseorang untuk didaftarkan/dimasukan ke sebuah sekolah tahun ini. Di tahun pemilihan, dia bisa saja mendapat keuntungan suara dari temannya itu sebagai bentuk balas jasa dari apa yang dilakukannya.

Sikap balas budi itu sebenarnya berjalan di luar dari pada pemaknaan yang semestinya. Seharusnya, balas budi itu berupa kebaikan mesti dibalas dengan kebaikan. Kebaikan itu pun dilakukan dengan cara yang benar dan baik, dan bukannya dengan cara yang salah seperti melangkahi aturan dan merusak sistem kerja tertentu.

Polemik selama PPDB menjadi akibat dari dari salah satu sebabnya fenomena orang dalam. Sistem sudah diciptakan seperti sistem zonasi dalam pendaftaran dan seleksi ujian agar PPDB berjalan seturut aturan. Namun, sistem itu rusak lantaran keberadaan orang dalam.

Akibat lebih jauhnya adalah ketidakadilan dalam mendapatkan pendidikan. Yang tak memiliki orang dalam gagal mendapatkan pendidikan yang diidealkannya, dan yang mempunyai orang dalam secara leluasa mendapatkannya.

Untuk itu, polemik PPDB akan terus terjadi di masa-masa yang akan datang apabila karakter kita tak berubah. Fenomena orang dalam adalah bagian dari karakter yang kuat terjadi dalam konteks sosial, yang mana sudah terbiasa dengan mencari dan memanfaatkan orang dalam untuk mencapai tujuan tertentu dan secara sadar juga mau menjadi orang dalam untuk membantu orang lain.

Ketukan untuk Pendidikan Indonesia

Sebenarnya polemik PPBD yang acap kali terjadi menjadi ketukan palu keras untuk dunia pendidikan kita di tanah air. Polemik PPBD bisa membahasakan mengenai kualitas sistem pendidikan di tanah air yang belum sampai pada titik sasar yang diharapkan.

Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan lewat sistem pendidikan kita, termasuk membenarkan pola pikir dan meluruskan karakter kita pada jalur yang sebenarnya. Karenanya, fenomena orang dalam itu bisa terhapus bukan saja dengan semata-mata membangun sistem yang kuat.

Alasannya, sistem yang kuat bisa saja jebol karena orang yang mengatur dan yang menjalankan sistem tersebut belum tentu bebas dan tahan godaan untuk menjadi orang dalam.

Polemik PPBD bisa menghadapi titik akhir jika sistem pendidikan kita benar-benar mendidik para siswa yang bukan saja cerdas secara intelektual, tetapi lebih jauh dewasa dalam perihal karakter dan kepribadian.

Akan menjadi bermakna jika hasil dari proses pendidikan kita melahirkan orang-orang yang tak suka dengan jalan belakang  "orang dalam", tetapi orang yang mau melewati jalur yang kompetetif, lurus, dan benar.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun