Dua belas musim, Bayern Muenchen mendominasi Bundesliga Jerman. Tak elak, ungkapan Bundesliga sebagainya liga-nya Muenchen mengiang ke ruang publik.
Dominasi Muenchen itu tak lepas dari strategi apik dan sistem kerja organisasi klub. Salah satu dari sekian sistem kerja Muenchen yang familiar adalah dengan mencaplok pemain hingga pelatih dari tim-tim pesaing di Bundesliga.
Ketika ada pemain yang lagi naik daun di tataran Bundesliga, Muenchen tak ragu untuk membeli pemain tersebut. Jadinya, Muenchen menguat dan klub-klub pesaing terus berada di bawah bayang-bayang Muenchen.
Rupanya, teknik itu tak berlaku pada musim ini. Bayer Leverkusen berhasil mengakhiri dominasi Muenchen di Bundesliga dengan menjadi juara setelah pekan ke-29.Â
Kepastian Leverkusen jadi jaura terjadi setelah tim berjuluk Werkself (skuat pabrik) menang besar 5-0 atas tamunya Werder Bremen. Padahal, masih ada lima laga tersisa di Bundesliga pada musim ini.
Sontak saja, saat peluit akhir laga ditiup, suporter Leverkusen yang memadati dengan tak henti-hentinya beryel-yel di stadion BayArena langsung berlari ke lapangan dan merangkul para pemain dan pelatih.
Untuk pertama kalinya dalam 120 tahun sejarah dari klub yang berada di bagian utara Rhine-Westhphalia itu menjadi juara Bundesliga Jerman.
Sensasi Bayer Leverkusen
Leverkusen menjadi buah bibir pecinta sepak bola pada musim ini. Sensasi tak hanya didasari oleh langkah Leverkusen yang berhasil mengkudeta takhta Bundesliga dari Muenchen, tetapi catatan apik yang sudah dan sementara ditorehkan pada musim ini.
Leverkusen masih menjadi satu-satunya klub yang belum terkalahkan di daratan Eropa. 43 laga belum terkalahkan membuat Leverkusen masuk jajaran klub-klub elit di Eropa.
Selain karena performa apik dan konsisten Leverkusen di Bundesliga, juga Leverkusen sementara berada di partai final piala DFB Pokal. Di partai final, Leverkusen akan bertemu tim dari divisi dua, Kaiserslautern. Di atas kertas, satu kaki Leverkusen sebenarnya sudah satu kaki di panggung juara dari Piala DFB Pokal tersebut.
Di kompetesi Eropa, Leverkusen sementara menuliskan sejarahnya. Leverkusen bermain di perempat final Piala Eropa.
Pekan lalu, tim yang dilatih oleh pelatih muda (42 tahun) Xabi Alonso itu menang 2-0 atas West Ham di leg pertama. Nama Leverkusen sepertinya juga masuk dalam daftar favorit untuk mengangkat trofi "kelas dua" di benua Eropa tersebut.
Deretan capaian dan peluang kesuksesan yang ditorehkan Leverkusen musim ini membuat banyak mata tertuju ke tim yang berperingkat ke-6 pada musim lalu. Ruang ganti hingga performa di lapangan hijau diulas dan disoroti. Bahkan, pelatih dan pemain pun sudah masuk daftar target klub-klub besar.
Ya, Xabi Alonso sempat masuk radar klub-klub besar seperti Liverpool, Bayern Muenchen, dan Real Madrid. Tiga klub ini melekat kuat dengan pelatih asal Spanyol tersebut lantaran pernah menjadi bagian dari ketiga klub sewaktu masih aktif sebagai pemain.
Namun, Alonso menyatakan komitmennya untuk bertahan dengan Leverkusen pada musim depan. Pilihan Alonso itu, di satu sisi, sangatlah tepat lantaran secara umum mesin kerja Leverkusen belum terlalu panas.
Memilih untuk bertahan menjadi salah satu kesempatan bagi Alonso melihat dan mengukur sejauh mana dia bisa mengatur dan mempertahankan dinamika tim dan mentalitas juara. Pada saat yang bersamaan, Alonso juga bisa mengukur kualitas pribadinya sebagai pelatih. Â
Di sisi lain, kata "Tidak" dari Alonso pada pinangan dari klub-klub besar seperti menyia-nyiakan peluang yang sudah di depan mata. Kesempatan untuk terbang lebih tinggi dengan klub-klub besar seperti disia-siakan.
Alonso rupanya tak silau dengan kilau tim-tim besar. Bertahan dengan Leverkusen menjadi pilihan di mana Alonso mau menuliskan namanya sebagai salah satu pelatih tersukses dan legenda Leverkusen. Terang saja, nama Alonso pun sudah diabadikan sebagai salah satu nama jalan di kota Leverkusen.
Alonso telah mengubah Leverkusen dalam dua tahun terakhir. Pelatih yang terlahir pada 25 November 1981 ini menerima pinangan Leverkusen pada 5 Oktober 2022 saat Leverkusen berada di zona degradasi.
Tanpa pengalaman melatih tim senior, Alonso yang direkrut dari Real Sociedad B langsung menunjukkan kualitasnya. Leverkusen mengakhiri musim dengan berada di posisi ke-6 klasemen Bundesliga.
Puncaknya pada musim ini. Pelatih yang doyan dengan taktik 3-4-2-1 itu menciptakan keseimbangan pada permainan Leverkusen. Dalam formasi itu, Xabi menekankan kontrol bola saat melakukan serangan secara langsung.
Sementara itu, saat Leverkusen tak menguasai bola, dua gelandang sayap digeser ke belakang untuk menopang formasi tiga bek. Jadinya, saat lawan datang menguasai bola, lini belakang Leverkusen seperti dikawan dengan lima bek.
Formasi itu mampu mengeluarkan kemampuan terbaik pemain seperti J. Frimpong dan Alex Grimaldo. Kedua pemain ini bisa beroperasi di sisi tengah, tetapi kemudian menjadi bek sayap. Dari sisi pertahanan, Frimpong dan Grimaldo memberikan efek solid di lini belakang.Â
Di sisi penyerangan, kedua pemain ini mampu menjadi senjata rahasia Alonso dalam hal mencetak gol dan assist. Kedua bek sayap ini tercatat sudah menciptakan lebih dari 20 gol dan assist untuk Leverkusen pada musim ini.Â
Tak hanya itu, Alonso juga mampu memadukan duo gelandang senior, Grani Xhaka dan gelandang muda asal Jerman F. Wirtz. Xhaka yang didatangkan dengan cuma-cuma dari Arsenal ini mampu memberikan efek kepemimpinan di lini tengah dan menjadi salah satu mesin dari pola permainan Xabi Alonso.
Sensasi Leverkusen tercipta karena Xavi Alonso mampu menciptkan taktik yang tepat dan menemukan pemain yang cocok dengan taktiknya itu. Dengan ini, tak butuh uang banyak untuk mendapatkan kesuksesan lantaran beberapa pemain yang bersinar di Leverkusen pada musim ini didapatkan dengan cuma-cuma. Dengan taktik yang tepat dan diramu dengan semangat kerja tim yang kuat, hasil positif bisa tercapai.
Trofi Bundesliga menjadi trofi pertama yang masuk kabinet Leverkusen pada musim ini. Peluang untuk meraih trebel pada musim ini sebenarnya terbuka untuk Leverkusen asalkan tetap mempertahankan konsistensi yang sama dan juga tak terlalu berlarut pada euforia yang salah.
Akhir Dominasi Muenchen
Dominasi Muenchen selama 12 musim di Bundesliga, di satu sisi, menunjukkan kualitas dan prestasi klub tersebut. Di sisi lain, dominasi itu seperti menciptakan rasa bosan dan jenuh. Seperti tak ada warna baru yang membuat banyak mata untuk menikmati Bundesliga Jerman. Â
Namun, ketika dominasi itu berakhir, warna Bundesliga pun ikut mendapat perhatian. Ternyata, tak ada yang kekal untuk performa sebuah tim.
Konsistensi Leverkusen hingga ke tangga juara tak lepas dari ketidakstabilan Muenchen. Pemecatan pelatih muda Julian Nagelsmann jelang pertengahan musim lalu cukup mengejutkan dan menjadi awal dari ketidakstabilan Muenchen.
Pilihan Muenchen pada Thomas Tuechel memang tak salah lantaran mantan pelatih Chelsea itu mempunyai rekam jejak yang kuat di Bundesliga Jerman sewaktu melatih Borussio Dortmund. Namun, tantangan Tuechel di Muenchen sangat berbeda.
Mulai dari situasi ruang ganti yang tak seluruhnya sepakat dengan pemecatan Nagelsmann hingga langkah klub yang mulai melangkah jauh dari kebijakan sebelumnya.
Nagelsmann masih mendapat simpati dari para pemain senior di Muenchen. Karenanya, pemecatannya musim lalu ikut mempengaruhi mental tim. Terang saja, Muenchen yang konsisten di masa Nagelsman perlahan-lahan tampil melempem.
Belum lagi, langkah Muenchen yang tak segan untuk berbelanja pemain di liga-liga top Eropa. Edisi terakhir adalah kegesitan Muenchen membeli Harry Kane dari Tottenham Hotspur. Biasanya, Muenchen lebih cenderung mencari pemain dari Bundesliga. Namun, langkah itu mulai ditinggalkan, lebih memilih untuk mencari pemain dari luar liga.
Upaya itu tentu saja berdampak pada klub sendiri. Muenchen harus beradaptasi dengan karakter para pemain yang berasal dari klub-klub yang tak sesuai dengan karakter permainan tim. Gaya gegenpressing yang identik dengan klub-klub Bundesliga seperti Muenchen pun ikut beradaptasi dengan gaya permainan tertentu.
Dominasi Muenchen di Bundesliga berakhir pada musim ini. Sebenarnya, tanda-tandanya sudah mulai kelihatan pada musim lalu.
Beruntung, di laga terakhir di Bundesliga musim lalu, Dortmund meraih hasil imbang di laga terakhir, dan di saat yang bersamaan Muenchen meraih kemenangan. Akibatnya, Muenchen yang keluar sebagai juara dengan jumlah poin yang sama. Hanya saja, Muenchen unggul head to head kontra Dortmund dan jumlah gol.
Tanda-tanda musim lalu itu tak disikapi dengan serius. Muenchen malah getol membeli Harry Kane guna menguatkan lini depan. Kane mampu menjadi top skorer sementara Bundesliga, tetapi kehadirannya tak serta merta memberikan keseimbangan untuk permainan tim.
Muenchen tak terbangun oleh satu orang pemain semata. Seperti gaya permainan timnas Jerman, Muenchen yang sudah menjadi simbol sepak bola Jerman terbangun oleh permainan tim yang bermain berdasarkan sistem kerja organisasi yang jelas dan pasti.
Sistem itu lenyap pada musim ini. Akibatnya, takhta di puncak dikudeta oleh Leverkusen yang ditunggangi oleh pelatih muda dan juga mantan pemain Muenchen selama tiga musim.
Selamat untuk Leverkusen, Bundesliga tampak hidup di mata pecinta sepak bola!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H