Juga, pengikut yang benar tercermin lewat kesetiaan antara kata-kata dan perbuatan. Apa yang tersampaikan adalah cerminan dari bahasa hati, dan hal itu mesti diungkapkan lewat perbuatan nyata.Â
Signifikansi ini bisa dikaitkan pada konteks para pemimpin yang terpilih pada pemilu 2024.
Setelah penetapan hasil pemilu 2024, kita sudah mengetahui siapa yang duduk di posisi pemimpin kita. Tentu saja, kita berharap agar apa yang mereka janjikan selama masa kampanye bisa diwujudnyatakan saat mereka sudah duduk di kursi jabatan.Â
Pada titik ini, ujian terbesar dari para pemimpin yang terpilih adalah untuk menunjukkan sosok yang benar dalam rupa kesesuaian antara janji dan perbuatan mereka sebagai pemimpin.Â
Oleh sebab itu, mereka tak boleh terjebak atau masuk lingkaran pemimpin yang berwajah plastik. Dalam mana, berkampanye hanya untuk mendapatkan suara dan tak memenuhi janji politik saat sudah terpilih dan duduk di kursi kekuasaan.Â
Model kepemimpinan seperti ini menjadi salah satu koreksi besar yang mau direnungkan pada Minggu Palma. Kita perlu menjauhi tipe diri yang penuh kepalsuan dan berupaya menunjukkan jati diri yang benar.Â
Jangan sampai menggebu-gebu di masa kampanye semata demi kepentingan elektoral semata, namun semangat untuk memimpin menjadi lemah saat menghadapi konteks hidup rakyat.
Tuhan Yesus yang memilih keledai sebagai tunggangan masuk ke kota Yerusalem guna memberikan pesan bahwa menjadi pemimpin tak bergantung pada materi, tetapi sikap dan perlakuan pada sesama. Hal yang sama juga untuk pemimpin yang terpilih.
Menjadi pemimpin yang benar tak bergantung pada penampilan dan ekspresi luar. Tetapi lebih dari itu, jati diri sebagai pemimpin bergantung pada komitmen dan kesetiaan dalam melayani sesama.
Minggu Palma menjadi momentum untuk berefleksi. Siapakah kita sebagai pengikut Tuhan?
Kita perlu menunjukkan jati diri kita yang benar dalam setiap konteks hidup kita. Sebagai pemimpin, kita perlu berkomitmen dan konsisten antara kata dan perbuatan kita.