Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kewajaran Gibran Jadi Cawapres dan Ujian Rasionalitas Pemilih

22 Oktober 2023   12:38 Diperbarui: 23 Oktober 2023   02:40 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran bertemu pengurus Partai Gelora. Foto: Dok. Partai Gelora via Kompas.com

Nama Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) menemani calon presiden Prabowo Subianto mulai mencapai titik terang. 

Hal itu tercermin lewat safari politik Gibran pada sejumlah ketua-ketua umum Partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju dan pendeklarasian secara terbuka Partai Golkar pada Gibran sebagai cawapres mendampingi Prabowo di pemilihan presiden 2024.

Realitas politik ini memantik diskursus politik yang makin hangat. Pendapat pro dan kontra pada posisi dan jalan politik Gibran yang digadang sebagai sosok kuat menjadi cawapres pendamping Probowo sangat sulit dihindari.

Ujung-ujungnya, tercipta pelbagai opini dan narasi yang sarat kepentingan politik. Bagi yang pro, Gibran dipandang sebagai sosok yang tepat maju dalam kontestasi ini lantaran bisa melanjutkan kinerja ayahnya, Presiden Joko Widodo dan juga tokoh muda yang sudah teruji dalam dunia politik lewat posisinya sebagai walikota Solo.

Namun, narasi dan opini negatif tidak kalau serunya. Persepsi tentang upaya membangun dinasti politik ala keluarga Jokowi terbangun di ruang publik. 

Persepsi ini menguat kala Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan bahwa capres atau pun cawapres bisa berumur di bawah 40 tahun asalkan yang bersangkutan mempunyai jejak politik sebagai kepala daerah seperti bupati, walikota atau pun gubernur seperti menegaskan upaya kekuasaan saat ini dalam melapangkan jalan Gibran ke pilpres 2024.

Selain itu, keraguan juga muncul pada kapasitas dan kemampuan Gibran dalam memainkan peran sebagai cawapres. Terlebih lagi, lawan politik yang akan dihadapi nantinya seperti dari pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD terbilang sudah senior untuk level perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia. Dari sisi itu, tentu saja Gibran kalah jauh. 

Kendati demikian, dalam konteks negara demokrasi, langkah Gibran tak bermasalah. Sebagai warga negara, Gibran berhak untuk maju kontestasi politik seperti Pilpres asalkan hukum legal mengijinkannya. Keputusan MK menjadi salah satu contoh keputusan legal di mana Gibran bisa menjalankan tanggung jawabnya sebagai warga negara.

Terlepas apakah Gibran adalah anak presiden ataukah tidak, yang bersangkutan berhak untuk maju dalam kontestasi politik. Toh, kalau tidak salah kita diskusi politik kita juga sempat menyinggung akan pantas atau tidak seseorang yang pernah kena kasus hukum dan maju dalam kontestasi politik. Diskusi ini tidak ada titik temu lantaran masih ada calon yang sempat tersandung kasus dan maju konteks politik.

Kalau dipikir-pikir, jalan Gibran maju ke kontestasi politik tak perlu dipersoalkan untuk konteks negara demokrasi. Toh, rakyat yang mempunyai hak untuk memilih dan menentukan pilihan.

Hemat saya, alih-alih membangun narasi dan opini yang bisa memecah bela dan mengancam persatuan negara, lebih baik fokus, pertama-tama pada pendidikan politik pada rakyat. 

Rakyat mesti dibekali pengetahuan politik agar kelak tahu dan sadar dalam membuat pilihan politik di pilpres 2024. 

Pengetahuan politik itu berupa visi dan misi yang terbungkus oleh program kerja nyata dan sesuai kebutuhan rakyat. 

Dengan ini, tidak cukup membawa ide kesinambungan program kerja pemimpin terdahulu jika hal itu tak dibarengi dengan sikap politik bekerja untuk kepentingan rakyat dan cenderung melapangkan kepentingan koalisi semata, golongan tertentu atau juga keluarga.

Sama halnya juga membawa ide perubahan tetapi ujung-ujungnya hanya mengritik pemimpin terdahulu tanpa solusi atas kritik yang tersampaikan. Jadinya, ajang kampanye politik hanya melihat kekurangan pemimpin sebelumnya dan tidak memberikan solusi politik yang mencerahkan. Menjadi masalah jika ide politiknya hanya berisi narasi menghina atau juga fitnah.

Untuk itu, di tengah dinamika politik yang terjadi saat ini, narasi pemecah belah tak boleh mendapat tempat dan waktu. Hal yang perlu mendapat ruang adalah diskusi politik dalam mengarahkan masyarakat pada pilihan yang baik dan benar.

Jika kemudian Gibran menjadi cawapres, hal itu merupakan wajah yang wajar dari dinamika politik di sebuah negara demokrasi. Yang tidak wajar jika jalan politik itu hanya untuk melapangkan kepentingan golongan atau juga mempermainkan kekuasaan demi kepentingan sentimen keluarga.

Pada akhirnya dalam kontestasi pilpres, rakyat yang akan memilih. Pilihan rakyat terlahir dari disermen atas program kerja dan narasi politik para capres dan cawapres dan bukan semata-mata bertolak dari aspek figur dan ketokohan semata.

Oleh sebab itu, daripada fokus membangun narasi keberatan, penolakan, dan sinis atas langkah politik Gibran, tiap calon dan koalisi sekiranya fokus pada kampanye politik yang sehat. Rasionalitas rakyat dalam berpolitik mesti dibangun. 

Caranya dengan menampilkan laku politik yang sehat. Cara itu pula yang bisa mengiringi opini dan pikiran politik rakyat dalam menilai mana yang mesti dipilih dan mana yang tidak.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun