Krisis pangan menjadi topik yang disoroti beberapa hari terakhir. Persoalan perubahan iklim yang ikut mempengaruhi masa bercocok tanam hingga berdampak pada kualitas hasil panen adalah realitas yang bisa menghadirkan krisis pangan.
Situasi ini, paling tidak menurut observasi pribadi, sudah mulai pelan-pelan terasa di rumah saya. Beberapa kali, adik saya mengeluh lantaran harga beras makin naik. Selain itu, kebanyakan beras yang dijual juga berasal dari luar daerah kami.
Situasi itu cukup menantang apabila harga beras naik atau juga persediannya berkurang. Mau tidak mau, perlu beralih pada pilihan lain agar anggaran keluarga tidak membengkak dan roda kehidupan keluarga tetap berjalan.
Misalnya, mengonsumsi pangan lokal seperti jagung, ubi atau pun pisang. Lebih jauh, memanfaatkan lahan kosong sebagai tempat untuk menanam pangan lokal.
Di tempat saya, Manggarai, Flores, ubi, jagung, dan pisang menjadi makanan yang gampang dijumpai. Konon sebelum beras familiar seperti saat ini, ubi, pisang, dan jagung jadi makanan pokok dan harian masyarakat.Â
Tantangannya sekarang adalah bagaimana agar pangan lokal itu menjadi bagian penting dari kehidupan keluarga. Ternyata perealisasian hal itu tidak gampang karena derasnya bahan makanan dari luar yang dijual dalam bentuk kemasan atau pun diolah tetapi sebagian besar bahannya dari luar daerah kami.
Saya ambil contoh dengan memperhatikan tingkah laku kedua keponakan saya. Kebetulan di samping rumah kami, ada kebun kecil.Â
Lalu, orangtua kami menanam beberapa jenis ubi. Kalau musim hujan tiba, orangtua akan menanaminya dengan jagung dan sayur-sayuran.
Kadangkala untuk menemani minum sore, ibu akan memasak ubi kayu atau ubi tatas. Namun, kedua keponakan saya tidak begitu tertarik atau berminat untuk makan ubi. Malahan, ketika ditawarkan, mereka menolaknya dan menilainya tidak enak.
Berbeda kalau yang disiapkan itu gorengan dan kue kemasan yang dibeli di kios atau di toko. Mereka begitu semangat untuk mengonsumsi itu daripada makan ubi.