Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengatur Lalu Lintas Tak Berseragam di Jakarta

28 Agustus 2023   18:09 Diperbarui: 28 Agustus 2023   18:29 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua Minggu lebih saya berada di Jakarta. Sebagai orang yang bukan penduduk Jakarta dan jarang datang ke Jakarta, saya memanfaatkan kesempatan untuk berjalan-jalan ke beberapa tempat wisata selama berada di Jakarta.

Konsep Jakarta sebagai ibukota negara selalu menarik untuk dilihat. Apalagi, saya datang dari wilayah Timur, tepatnya di Pulau Flores yang mana sangat jarang datang ke Jakarta. Makanya, saat datang ke Jakarta, kecenderungannya adalah mencari tempat yang hanya dilihat di TV hanya untuk sekadar jalan-jalan.

Dalam perjalanan ke beberapa tempat, selain menghadapi dan bahkan menikmati situasi macet, saya memerhatikan salah satu situasi yang memantik rasa ingin tahu. Ada di beberapa titik tertentu di Jakarta berdiri pengatur lalu lintas, namun mereka tak mengenakan pakaian seragam resmi sebagaimana pengatur jalan umumnya.

Ada yang mengenakan celana panjang dan berjaket. Ada pula yang bercelana pendek dan bersandal. Macam-macam rupa dari penampilan mereka. Intinya mereka tak mengenakan pakaian seragam resmi. Dengan kata lain, mereka muncul karena inisiatif pribadi tetapi mempunyai kepentingan yang menguntungkan. 

Ya, sangat sulit mencari dan menemukan orang yang mau sukarela mengatur lalu lintas. Apalagi kondisi udaranya panas dan berpolusi.

Peran pengatur lalu lintas ini adalah mengatur laju kendaraan di tempat-tempat tertentu. Umumnya tempat-tempat yang tampaknya bisa terjadi kecelakaan lantaran posisi dan kondisi area jalanan.

Misalnya, jalur jalan sempit yang mana pengendara mobil dari berbeda arah sulit untuk melihat satu sama lain. Agar tak terjadi kecelakaan, orang-orang itu akan mengatur lalu lintas agar tak terjadi kecelakaan.

Peran mereka sangat bermanfaat. Paling tidak menjauhi kecelakaan karena rute yang agak rumit terbaca dan diketahui oleh sopir berkat arahan dan tuntunan pengatur jalan.

Menariknya, mereka akan mendapatkan sejumlah uang dari para sopir. Jumlahnya tak tetap. Bergantung si sopir. Bahkan, ada sopir yang tak memberikan apa-apa. Para pengatur jalan ini tak mempersoalkannya dan protes.

Di sini, para pengatur jalan ini memang mempunyai peran yang cukup bermanfaat untuk kelancaran lalu lintas. Sistem kerja mereka juga sepertinya tak dipersoalkan oleh para pengemudi. Artinya, pemandangan itu sudah lama dan sudah diterima dalam keseharian di jalanan.

Para pengatur lalu lintas itu berada di tempat itu pasti mempunyai alasan tertentu. Boleh jadi, mereka melihat hal itu sebagai kesempatan dan peluang ekonomi. Dalam arti, dengan upaya mereka mengatur jalanan, mereka akan mendapat ganjaran sejumlah uang dari pengemudi yang bermurah hati.

Tentu saja, mereka setia berada di tempat itu dalam mengatur lalu lintas karena merasakan dan mendapatkan keuntungan ekonomi tertentu dari para sopir yang sempat memberikan sejumlah uang.

Pendek kata, pengatur jalan tak berseragam itu merupakan jenis pekerjaan. Lalu, bagaimana kalau mereka diakui secara resmi?

Efek dari pengakuan itu adalah mereka mendapatkan seragam resmi sebagai pengatur jalanan. Konsekuensi lanjutnya mereka mendapatkan gaji tertentu, mereka mendapat jam kerja, dan para pengemudi di jalanan pun tak berkewajiban memberikan uang kepada mereka.

Hal ini pasti rumit dan perlu pendalaman. Pasalnya, ketika sudah mendapat seragam dan pengakuan resmi, ada kecenderungan bekerja karena aturan semata. Bolos jam kerja juga bisa saja terjadi. Prinsipnya, biar tak kerja atau bolos masih dapat gaji.

Keuntungan jika mereka tak diakui adalah mereka akan tetap bekerja untuk mengatur jalanan karena itu menjadi ladang mendapatkan pendapatan. Mau tak mau, mereka akan bekerja untuk mengatur jalanan lantaran melihat peluang ekonomi.

Hemat saya, peran mereka sangatlah penting. Sejauh mereka tak memaksakan pengemudi untuk memberikan bayaran, posisi mereka patut dihargai dan dipertahankan.

Namun, jika mereka menjadikan hal itu sebagai jalan pemaksaan kehendak mereka seperti bentuk pemalakan, maka hal itu sangatlah salah. Keberadaan mereka pun layaknya perlu dievaluasi.

Pengatur jalan tak berseragam yang saya lihat di kota Jakarta adalah fenomena sosial. Tuntutan ekonomi mendorong orang untuk mencari cara agar bisa bekerja dan mendapatkan keuntungan ekonomi, termasuk menjadi pengatur lalu lintas.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun