Empat tahun setelah tinggal di Filipina, saya berkesempatan untuk berlibur ke kampung halaman. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Perubahan tak bisa dihindari dan kenyataan yang harus saya hadapi dan rasakan.
Untuk melihat sejauh mana perbedaan yang terjadi, saya memanfaatkan media TV. Mulai dari iklan, berita, dan bahkan sinetron saya lahap dalam waktu seminggu terakhir. Tujuannya bukan untuk menghibur diri tetapi melihat sejauh mana perkembangan yang terjadi.
Terus terang, saya sudah hampir tiga tahun tak Menonton TV. Sebabnya, awalnya karena tuntutan situasi di mana TV saya rusak, dan kemudian hal itu menjadi bagian yang sulit saya lepaskan dari kebiasaan saya.
Menelaah acara TV di Indonesia memang menarik. Terlebih khusus acara sinetron. Saya coba menonton beberapa sinetron dan menelaah alur ceritanya, laku para pemeran, dan pelbagai sisi yang ditampilkan.Â
Saya pun sampai pada kesimpulan pada beberapa alasan untuk tidak menonton sinetron.
Pertama, aksi yang kadang konyol dan tak masuk akal.
Dalam salah satu sinetron, saya menonton salah satu aktor yang menderita kecelakaan tabrak lari. Seturut alur cerita, si korban menghadapi situasi tak sadarkan diri atau kritis.
Arti kata kritis untuk korban kecelakaan kerap kali berhubungan dengan kondisi yang mendekati kematian, situasi yang cukup sulit untuk si korban sehingga tak sadarkan diri.
Namun, yang terjadi bahwa si korban sadarkan diri dan bahkan melepaskan infusnya. Kemudian, seturut cerita yang mana si korban marah dan meninggalkan rumah sakit seperti bukan orang sakit. Bahkan, si korban menyetir mobil pulang ke rumahnya.
Melihat itu, saya anggap alur ceritanya begitu konyol dan tak masuk akal. Sebagai penonton, saya seperti diperbodoh. Tayangannya melemahkan pikiran.